Minggu, 23 Februari 2020

MATERI 7 - 12, KELAS 4,5,6 AJENGAN MASUK SEKOLAH (AMS)

Ajengan Masuk Sekolah (AMS)
Pertemuan Ke 7
Kelas 4, 5, 6
Materi :
1. Dasar Perintah Cinta Pada Kebenaran
2. Manfaat Cinta Pada Kebenaran
3. Akibat Tidak Cinta Kebenaran
> Indikator Perilaku Siswa :
1. Selalu Minta Maaf Bila Berbuat Salah
2. Memaafkan Orang Yang Menyakitinya
3. Tidak Malu Mengakui Kebenaran Orang Lain.
> Sumber Materi : Qur'an, Hadits, Ijma, Qias, Tarikh.
Cinta Kepada Kebenaran adalah Fitrah
( Tafsir Surah al Hujurat :7-8 )
Allah –subhanahu wata’ala- berfirman :
وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللَّهِ لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِنَ الْأَمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ (7) فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَنِعْمَةً وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
”Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti (kemauan) mu dalam beberapa urusan, maka kamu benar-benar akan mendapat kesusahan, akan tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan Allah menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus. Sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana" (QS. Al Hujurat : 7-8)
Makna Ayat :
Ayat ini turun kepada para shahabat nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk mengingatkan mereka tentang keberadaan Rasulullah di tengah-tengah mereka.
Berkata Syeikh Nashir as Si’di -rahimahullah- : ”Agar kalian wahai sahabat mengetahui bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- berada ditengah-tengah kalian. Dia adalah Rasul yang mulia, seorang yang berbuat baik, memberi petunjuk, serta menginginkan kebaikan untuk kalian dan memberi nasihat kepada kalian padahal kalian menghendaki kejelekan dan bahaya terhadap diri kalian yang tidak disetujui oleh Rasulullah” (Taisir kalimirrahman hal 800)
Itulah sifat Rasulullah yang patut kita ketahui agar kita mengagungkan beliau, beradab dengannya, serta mentaati perintahnya. Kenapa ?
Kata Imam ibnu katsir -rahimahullah- :”karena beliau –shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah orang yang paling mengetahui apa yang baik untuk kita, dan orang yang paling penyanyang kepada kita daripada kita sendiri. Pendapat beliau –shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang kita lebih sempurna daripada pendapat kita sendiri.
Allah berfirman :
لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِّنَ الأمر لَعَنِتُّمْ
“Kalau ia menuruti (kemauan) mu dalam beberapa urusan, maka kamu benar-benar akan mendapat kesusahan”(QS. Al Hujurat : 7)
Maksudnya jika Rasulullah mengikuti semua kemauan kalian, maka itu akan mengantarkan kepada kesulitan dan kesusahan. Sebagaimana firman Allah –ta’ala- :
وَلَوِ اتبع الحق أَهْوَآءَهُمْ لَفَسَدَتِ السماوات والأرض وَمَن فِيهِنَّ
“Andaikata kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya” (QS. Al Mu’minun : 71)
(Lihat kitab Taisiirul ‘Aliy al Qadiir Likhtishar tafsir Ibni Katsir hal. 2382)
Jadi jika sesorang menuruti hawa nafsunya dan tidak mau menudukkan hawa nafsunya kepada perinta Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan di timpa kesulitan, kesedihan, kegalauan, dan tentunya kesesatan.
Kemudian Allah berfirman :
وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ
“akan tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan Allah menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan” (QS. Al Hujurat : 7)
Allah menjadikan para sahabat dan orang-orang beriman cinta kepada keimanan. Keimanan kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Ini disebabkan Allah –ta’ala- telah menjadikan iman itu indah dalam hati orang beriman. Allah menanamkan bibit cinta kepada kebenaran dan mendahulukan kebenaran daripada yang lain. Iman itu indah dan manis bagi mereka yang diberi taufiq untuk merasakannya. Sebagaimana sabda Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- dari Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu- bahwa Rasulullah bersabda :
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ ، وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ ؛ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga perkara yang barangsiapa memilikinya, maka ia akan merasakan manisnya iman. Yaitu jika ia menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selainnya, dan ia mencintai seseorang yang ia tidak cintai kecuali karena Allah, serta ia tidak senang kembali kepada kekufuran sebagaimana ia benci dilemparkan ke dalam neraka” (HR. Bukhari)
Itulah fitrah manusia yang Allah tanamkan kepada hati-hati manusia, yakni suka kepada kebenaran dan mencintainya. Jika manusia tidak dipengaruhi oleh syaithan dan hawa nafsunya, maka manusia akan selalu berada dalam fithtrahnya. Sebagaimana Firman Allah :
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama yang lurus; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. arRum : 30)
Dan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda :
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Tidaklah seorang anak kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya orang Yahudi, Nashrani, atau Majusi” (HR. Bukhari)
Fitrah adalah Islam, yaitu manusia diciptakan dalam keadaan berada diatas fitrahnya. Dan diantara fitrah yang Allah tanamkan ke dalam hati manusia adalah mencintai kebenaran. Berkata Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- :”Allah -subhanahu wa ta’ala- menciptakan hamba-Nya diatas fitrah, dimana dalam fitrah itu ada kebenaran lalu ia benarkan, mengetahui kebatilan lalu ia dustakan, mengetahui perkara yang bermanfaat dan mencintainya, serta mengetahui bahaya dan membencinya. Dan ia mengenalnya dengan fitrahnya (Kitab Dar u ta’arudil ‘aqli wan naqli 8 : 463)
Lalu Allah –subhanahu wata’la- melanjutkan firman-Nya :
أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ (7) فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَنِعْمَةً وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (8)
“Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus. Sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. Al Hujurat : 7-8)
Mereka yang telah Allah hiasi hatinya dengan keimanan, lalu ia mencintai keimanan tersebut, dan Allah menjadikan mereka benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan, mereka itu adalah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus. Yaitu jalan yang menjadikan ilmu dan amal mereka menjadi benar sehingga mereka istiqamah di atas agama dan jalan yang lurus.
Dan lawannya adalah orang-orang yang melampaui batas, yaitu orang-orang yang Allah jadikan ia mencintai kekufuran, perbuatan fasiq, dan dosa. Dan dosa itu adalah dosa mereka. Karena ketika mereka berbuat fasiq, maka Allah mencap hati mereka (dengan kefasikan). Allah berfirman :
فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“maka ketika mereka berpaling, maka Allah memalingkan hati-hati mereka. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasiq” (QS. Ash Shaf : 5)
Jadi ketika mereka tidak beriman kepada kebenaran yang datang kepada mereka pertama kali (mereka mendengarnya), maka Allah membalik hati-hati mereka sehingga mencintai kesesatan.
Lalu firman Allah :
فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَنِعْمَةً وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (8)
“Sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. Al Hujurat : 8)
Maksudnya, itulah kebaikan yang mereka dapatkan karena keutamaan dan kebaikan dari Allah kepada mereka, bukan dikarenakan kemampuan mereka atau kekuatan mereka untuk mendapat hidayah. Jadi Allah melakukan itu semua sebagai keutamaan dan kenikmatan.
Dan Allah Maha mengetahui, yaitu mengetahui siapa yang berhak mendapat hidayah dan siapa yang berhak mendapat kesesatan. Dan Maha Bijaksana, bijaksana dalam firman-Nya, perbuatan-Nya, dalam Syari’at-Nya, serta taqdir-Nya.


Ajengan Masuk Sekolah (AMS)
Pertemuan Ke 8
Kelas 4, 5, 6
Materi :
1. Dasar Sikap Adil
2. Manfaat Sikap Adil
3. Akibat Tidak Adil.
> Indikator Perilaku Siswa :
1. Adil Memperlakukan Teman
2. Berani Menyuarakan Ketidak Adilan
3. Mengajak Teman Agar Bersikap Adil.
> Sumber Materi : Qur'an, Hadits, Ijma, Qias, Tarikh.
Allah Perintahkan Kita untuk Berlaku Adil
ADA perkara yang kita anggap biasa dan sepele namun ternyata itu termasuk kezaliman yang sangat besar. Sebaliknya bisa jadi sesuatu yang kita anggap sebagai nilai keadilan yang sangat tinggi tapi ternyata masih ada keadilan lain yang lebih tinggi dan lebih berhak untuk dibela.
Allah Memerintahkan Kita untuk Berbuat Adil
Di dalam Al-Qur’an Allah menyatakan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil. Berbuat adillah karena ia lebih mendekati ketakwaan. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Maa’idah: 8)
“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang menegakkan kebenaran, menjadi saksi karena Allah” Syaikh Abu Bakar Al Jazaa’iri hafizhahullah mengatakan, “Artinya (Allah memerintahkan untuk) menegakkan keadilan dalam hal hukum dan persaksian…” (Nidaa’atur Rahman, hal. 86)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan, “…Setiap kali kalian bersemangat menegakkan keadilan dan bersungguh-sungguh untuk menerapkannya maka hal itu akan membuat kalian semakin lebih dekat kepada ketakwaan hati. Apabila keadilan diterapkan dengan sempurna maka ketakwaan pun menjadi sempurna.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 224)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan tentang hakikat keadilan. Beliau menerangkan bahwa makna adil adalah menunaikan hak kepada setiap pemiliknya. Atau bisa juga diartikan dengan mendudukkan setiap pemilik kedudukan pada tempat yang semestinya (silakan lihat Huquuq Da’at Ilaihal Fithrah wa Qararat Haa Asy Syari’ah, hal. 9)
Dengan demikian inti pengertian adil ialah masalah hak dan kedudukan. Segala sesuatu memiliki hak dan kedudukan.
Sampai orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin pun memiliki hak keamanan di dalam Islam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa membunuh orang kafir mu’ahad maka tidak akan bisa mencium aroma surga.” (HR. Bukhari).
Hukum Tidak Adil Dalam Islam dan Dalilnya
Islam mengajarkan umatnya untuk memiliki dan meneladani setiap sifat Rasulullah SAW sebagaimana kisah teladan nabi Muhammad. Dan salah satu sifat Rasul yang patut kita teladani adalah mampu bersikap adil. Adil ialah mampu menempatkan segala sesuatunya tepat pada tempatnya. Allah juga telah menyerukan tentang menjadi adil dalam Al Quran.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ بِٱلْقِسْطِ شُهَدَآءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمْ أَوِ ٱلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ ۚ إِن يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَٱللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلْهَوَىٰٓ أَن تَعْدِلُوا۟ ۚ وَإِن تَلْوُۥٓا۟ أَوْ تُعْرِضُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (Q. S. An Nisa: 135)
Bersifat adil dalam Islam dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yakni :
> Berlaku adil kepada Allah SWT, yakni menjadikan Allah satu-satunya Tuhan yang memiliki kesempurnaan dengan mengikuti setiap perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
> Berlaku adil terhadap diri sendiri, yakni menempatkan diri pribadi pada tempat yang baik dan benar. Diri kita harus terjaga dan terpelihara dalam kebaikan dan keselamatan, tidak menganiaya diri sendiri dengan menuruti hawa nafsu yang akibatnya dapat mencelakakan diri sendiri.
> Berlaku adil terhadap orang lain, yakni menempatkan orang lain pada tempat dan perilaku yang sesuai, layak, benar memberikan hak orang lain dengan jujur dan benar serta tidak menyakiti dan merugikan orang lain sebagaimana diri kita ingin diperlakukan.
> Berlaku adil terhadap makhluk lain, yakni memberlakukan makhluk Allah SWT yang lain dengan layak dan sesuai dengan syariat Islam dan menjaga kelestarian dengan merawat dan menjaga kelangsungan dengan tidak merusaknya. Misalnya tidak mengganggu dan menyakiti hewan maupun tanaman di sekitar kita.
Hukum tidak adil dalam Islam adalah dilarang karena telah jelas perintah untuk berbuat adil kepada siapa pun dan kapan pun.
إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا۟ ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعًۢا بَصِيرًا
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q. S. An Nisa: 58)
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda,” Ada tujuh golongan yang dinaungi Allâh dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya:
(1) Pemimpin yang adil,
(2) seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allâh,
(3) seorang yang hatinya bergantung ke masjid,
(4) dua orang yang saling mencintai di jalan Allâh, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya,
(5) seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allâh.’ Dan
(6) seseorang yang bershadaqah dengan satu shadaqah lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan tangan kanannya, serta
(7) seseorang yang berdzikir kepada Allâh dalam keadaan sepi lalu ia meneteskan air matanya.” (HR Bukhari Muslim)
فَلِذَٰلِكَ فَٱدْعُ ۖ وَٱسْتَقِمْ كَمَآ أُمِرْتَ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ ۖ وَقُلْ ءَامَنتُ بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِن كِتَٰبٍ ۖ وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ ۖ ٱللَّهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ ۖ لَنَآ أَعْمَٰلُنَا وَلَكُمْ أَعْمَٰلُكُمْ ۖ لَا حُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ ۖ ٱللَّهُ يَجْمَعُ بَيْنَنَا ۖ وَإِلَيْهِ ٱلْمَصِيرُ
Artinya: “Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: “Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nya-lah kembali (kita)”. (Q. S. Asy Syuura: 15)
Rasul juga telah memerintahkan untuk berbuat adil karena orang yang adil adalah orang yang mendapatkan keberuntungan. Rasulullah SAW bersabda: “sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil di sisi Allah akan berada di pundak cahaya di sebelah kanannya, yaitu orang yang adil adalah mereka yang berlaku adil dalam mengambil keputusan hukum dan berlaku adil dalam mengambil keputusan hukum dan berlaku adil terhadap sesuatu yang diamanatkan kepadanya.” (H.R. Muslim)
Bagitu pula dengan hukuman bagi mereka yang melakukan perbuatan dosa atau terlarang. Maka diwajibkan untuk berlaku adil kepada siapa pun pelakunya.
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَآ أَنَّ ٱلنَّفْسَ بِٱلنَّفْسِ وَٱلْعَيْنَ بِٱلْعَيْنِ وَٱلْأَنفَ بِٱلْأَنفِ وَٱلْأُذُنَ بِٱلْأُذُنِ وَٱلسِّنَّ بِٱلسِّنِّ وَٱلْجُرُوحَ قِصَاصٌ ۚ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِۦ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهُۥ ۚ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ
Artinya: “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (Q. S. Al Maidah: 45)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَـَٔانُ قَوْمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ ۚ ٱعْدِلُوا۟ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q. S. Al Maidah: 8)

Ajengan Masuk Sekolah (AMS)
Pertemuan Ke 9
Kelas 4, 5, 6
> Materi :
1. Dasar Perintah Anti Korupsi
2. Manfaat Anti Korupsi
3. Akibat Korupsi.
> Indikator Perilaku Siswa :
1. Mampu Menahan Keinginan Yang Tidak Perlu
2. Tidak Suka Mencuri
3. Malu Bila Berbuat Korupsi.
> Sumber Materi : Qur'an, Hadits, Ijma, Qias, Tarikh.
Pendidikan Anti Korupsi dalam Al-Qur’an
Pemberantasan korupsi bukanlah suatu pekerjaan yang mudah untuk dilakukan, khususnya di Indonesia. Jika ditinjau dari beberapa penyebab yang ada, maka pemberantasan dan pencegahannya pun harus dilakukan tindakan yang serius, dan kerja sama yang baik antara pemerintah, aparat penegak hukum dan seluruh masyarakat untuk bersama-sama memberantas korupsi.
Dalam hal ini, perlu kiranya mencari landasan teologis mengenai Korupsi agar masyarakat memiliki kesadaran untuk menghindarinya. Meskipun faktanya tidak sedikit pelaku korupsi adalah orang yang memahami agama.
Di dalam Al-Qur’an ada beberapa ayat yang berkaitan dengan korupsi. Salah satunya yang tercantum di dalam QS. Ali Imran 161:
وَمَا كَانَ لِنَبِىٍّ أَنْ يَغُلَّ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ ٱلْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ
“Dan tidak mungkin seorang Nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barangsiapa berkhianat, niscaya pada hari kiamat dia akan membawa apa yang dikhianatkannya itu. Kemudian setiap orang akan diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi.”
Dalam ayat tersebut ada poin yang dapat diambil;
> Pertama, pentingnya mengetahui teori tentang korupsi. Banyak membaca, mempelajari Al-Qur’an, mengetahui korupsi ; sebab, akibat maupun jenisnya.
> Kedua, menanamkan kejujuran dan keadilan. Tidak menggunakan kekuasaan untuk korupsi.
> Ketiga, pembentukan karakter anti korupsi. Segala usaha menjaga diri agar tidak terjerumus dalam korupsi (Tazkiyah).
> Keempat, keseimbangan antara balasan dan perbuatan merupakan aturan ilahi.
> Kelima, pendidikan dengan hikmah dan terakhir kembali kepada Al-Qur’an sebagai pedoman utama kehidupan.
Dalam ayat lain Allah berfirman:
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِن جَآءُوكَ فَٱحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ وَإِن تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَن يَضُرُّوكَ شَيْئاً وَإِنْ حَكَمْتَ فَٱحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِٱلْقِسْطِ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram (Seperti uang sogokan dan sebagainya). Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.”
Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan al–suht adalah harta haram. Ibn Khuzaim Andad, seperti yang dikutip oleh Al-Qurthubi, menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan al-suht adalah bila seseorang makan karena kekuasaanya. Itu lantaran dia memiliki jabatan di sisi penguasa, kemudian seseorang meminta sesuatu keperluan kepadanya, namun dia tidak mau memenuhi kecuali dengan adanya suap (risywah) yang dapat diambilnya.
Jika kembali dicermati, ayat tersebut menjelaskan praktek korupsi seperti yang terjadi pada konteks kekinian.
Adapun isyarat pendidikan anti korupsi dari ayat tersebut adalah tentang pentingnya mengetahui indikasi kebohongan yang dilakukan para koruptor untuk mengamankan perkara mereka. Seperti upaya orang-orang Yahudi dalam mempermainkan hukum sesuai kepentingan mereka, bahkan memojokkan Rasulullah sebagai hakim sebagaimana dalam ayat tersebut.
Berikutnya menumbuhkan rasa percaya diri dan keimanan kepada Allah (spiritual question) kecerdasan spiritual. Meyakini tidak akan hancur dan jatuh apabila meninggalkan korupsi.
Biasanya ketika seseorang sudah merasa ketakutan akan kehilangan jabatan ataupun pengaruhnya, selalu berusaha menutupinya walaupun harus menyuap mahal untuk.
Dalam ayat lain Allah Swt juga berfirman dalam Q.S. al-Maidah (5) ayat 38
وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقْطَعُوۤاْ أَيْدِيَهُمَا جَزَآءً بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِّنَ ٱللَّهِ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan sebuah riwayat yang bersumber dari Abdullah bin Amr, ia mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan seorang wanita yang mencuri maka datanglah orang yang kecurian itu dan berkata pada Nabi saw. “Wahai Nabi, wanita ini telah mencuri perhiasan kami.”
Maka wanita itu berkata “Kami akan menebus curiannya.” Nabi bersabda, “Potonglah tangannya!” Kaumnya berkata, “Kami akan menebusnya dengan lima ratus dinar.” Maka Nabi Saw. pun bersabda, “Potonglah tangannya!” Maka dipotonglah tangan kanannya. Kemudian wanita itu bertanya. “Ya Rasul, apakah ada jalan untuk aku bertobat?” Jawab Nabi saw, “Engkau kini telah bersih dari dosamu sebagaimana engkau lahir dari perut ibumu”. Kemudian turunlah ayat tersebut.
Dari ayat tersebut memberikan pelajaran tentang pentingnya penegakan hukum yang adil dan tegas. Selain itu juga perlu membangun kekuatan iman sehingga tidak tergoda dengan limpahan harta untuk mengkhianati hukum tersebut. Rasulullah bersabda: “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun, keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan Engkau lemah.
Kekuatan yang dimaksud dalam hal ini adalah kekuatan iman, kekuatan dalam menjaga ketaatan kepada Allah, menjauhi larangannya. Menjaga diri dalam memperoleh yang halal dan menjauhi haram. Kekuatan iman akan mendorong seseorang mampu menghadapi godaan nafsu-setan; menahan diri dari berbuat maksiat; menahan diri dari perbuatan sia-sia; dan menahan diri dari pebuatan yang merugikan orang lain seperti korupsi.
Kekuatan iman mendorong seseorang mampu membaca situasi dan kondisi dengan benar. Kekuatan iman membuat pemiliknya mampu membaca tipu-daya musuh-musuh Allah terhadap umat Islam. Kekuatan iman pula yang menjadikan seseorang tidak takut kepada siapa pun selain Allah.
Ayat ini juga mengajarkan tentang pentingnya tazkiyatun nafs. Pembersihan diri. Baik dari sendiri, dengan berani mengakui kesalahan dan menerima hukuman. Ataupun dari orang lain, ketika hukum telah dilaksanakan dan orang yang bersangkutan mau bertaubat, maka patut untuk dihargai, sebagaimana Rasulullah berkata kepada perempuan tersebut : “Engkau kini telah bersih dari dosamu sebagaimana engkau lahir dari perut ibumu”.
Pesan terakhir ayat ini adalah agar umat Islam menyiapkan generasi berkarakter kuat (perkasa) dan bijaksana dalam menghadapi segala persoalan. Karena itulah Allah menutup ayat yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap pencuri yang berusaha menyuap tersebut.

Ajengan Masuk Sekolah (AMS)
Pertemuan Ke 10
Kelas 4, 5, 6
> Materi :
1. Dasar Perintah Sikap Tanggungjawab
2. Manfaat Sikap Tanggungjawab
3. Akibat Tidak Bertanggungjawab
> Indikator Perilaku Siswa :
1. Selalu Melakukan Tugas Dengan Baik
2. Berani Menanggung Resiko
3. Berani Bertanggungjawab.
> Sumber Materi : Qur'an, Hadits, Ijma, Qias, Tarikh.
Ayat Al-Quran Tentang Tanggung Jawab
Tanggung jawab adalah perbuatan dimana seseorang berani menanggung apa yang telah diucapkan dan dilakukan. Sikap tanggung jawab ini tentunya sangat penting bagi kehidupan di dunia, baik dalam hal beribadah ataupun hubungan sosial. Tanpa adanya rasa tanggung jawab maka sudah pasti kehidupan akan berantakan.
Islam sendiri juga mengajarkan kita untuk mengutamakan sikap tanggung jawab. Hal ini terbukti dari banyaknya ayat-ayat Al-Quran yang membahas konsep tanggung jawab. Mulai dari tanggung jawab manusia terhadap Sang Khalik, tanggung jawab terhadap orang tua, pasangan, dan sesama muslim lainnya.
Untuk lebih lengkapnya, berikut ayat Al-Quran tentang tanggung jawab.
An-Naml ayat 18
حَتَّىٰ إِذَا أَتَوْا عَلَىٰ وَادِ النَّمْلِ قَالَتْ نَمْلَةٌ يَا أَيُّهَا النَّمْلُ ادْخُلُوا مَسَاكِنَكُمْ لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمَانُ وَجُنُودُهُ وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ
“Hingga apabila mereka (rombongan Nabi Sulaiman) sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari” (QS.an-Naml:18)
Ayat diatas membahas tentang seekor semut yang berseru kepada teman-temannya untuk berlindung dari bahaya. Ayat ini mengajarkan kepada kita tentang sikap tanggung jawab terhadap sesama manusia untuk saling mengingatkan dalam kebaikan dan keselamatan.
Ash-Shaffat ayat 102
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قالَ يا بُنَيَّ إِنِّي أَرى‏ فِي الْمَنامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ ما ذا تَرى‏ قالَ يا أَبَتِ افْعَلْ ما تُؤْمَرُ سَتَجِدُني‏ إِنْ شاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرينَ
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (QS.ash-Shaffat:102)
Ayat diatas menjelaskan tentang bagaimana Nabi Ibrahim a.s mengajarkan sikap tanggung jawab terhadap anaknya, Ismail a.s. Beliu menanyakan bagaimana pendapat Ismail tentang mimpinya. Lalu Ismail memilih menuruti perintah Allah Ta’ala yang mana Ia berarti memiliki rasa tanggung jawab terhadap Sang Maha Kuasa.
Al Mudtastsir ayat 38
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
“Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya” (QS. Al-Mudatstsir: 38)
Yaasiin ayat 12
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Yaasiin 12).
Ayat ini juga menunjukkan bagaimana nanti di akhirat Allah Ta’ala menunjukkan catatan perbuatan manusia di dunia. Dan perbuatan mereka akan dimintai pertanggung jawaban.
Az-zariyat ayat 19
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian.” (QS. Az zariyat: 19)
Ayat ini mengajarkan kita untuk bersedekah kepada orang-orang yang membutuhkan. Sebab dalam harta kita terdapat bagian (hak) bagi kaum miskin.
Al Baqarah ayat 195
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Baqarah: 195)
Ayat ini menjelaskan tentang tanggung jawab manusia untuk bersedekah.
At-Taubah ayat 60
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60)
Ayat diatas menjelaskan tentang orang-orang yang berhak menerima zakat.
Al-Maidah ayat 38-39
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barang siapa bertobat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Maidah: 38-39)
Ayat diatas menjelasakan tentang sikap orang-orang yang gemar mencuri, mereka harus mempertanggung jawabkan perbutannya dengan menerima hukuman dipotong tanganya.
Al Imran ayat 159
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS.Al-Imran: 159)
Ayat diatas menjelaskan tentang sikap seorang mukmin yang sebaiknya berlaku lemah lembut, memaafkan dan mengutmakan musyarawarah dalam mengambil keputusan.
An-Nisa’ ayat 59
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’ : 59)
Ayat diatas menjelaskan tentang kewajiban umat islam untuk mentaati perintah Allah Ta’ala dan Rasul Muhammad Shalla Allahu ‘Alaihi wa Sallam, dengan berpegang teguh terhadap Al-Quran.
AN-Nahl ayat 14
“Dan Dia-lah Allah yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl: 14)
Ayat diatas menunjukkan tanggung jawab manusia untuk mencari nafkah dan bersyukur kepada Allah Ta’ala.
Al-Luqman ayat 14-15
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. Al-Luqman” 14-15)
Ayat diatas menjelaskan tentang tanggung jawab manusia untuk berbuat baik kepada orang tua.
At-Tahrim ayat 6
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)
Ayat diatas menjelaskan tentang tanggung jawab seorang suami untuk melindungi keluarganya dari api neraka, caranya dengan mendekatkan mereka pada agama.
An-Nisaa’ ayat 19
“Dan gaulilah mereka (isteri-isterimu) dgn cara sebaik-baiknya.” (QS. An Nisa 19)
Ayat diatas menjelaskan tentang tanggung jawab suami untuk bersikap baik kepada istrinya.
Al baqarah ayat 233
“Para ibu bendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tabun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tabun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu bila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketabuilah bahwa Allah Mahamelihat apa yangkamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 233)
Ath-Thalaaq ayat 7
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang telah Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaaq: 7).
Demikianlah ayat-ayat Al-quran tentang tanggung jawab. Semoga kita bisa menjadi manusia yang bertanggung jawab sehingga tidak merugikan orang lain dan tidak menimbulkan catatan dosa.

Ajengan Masuk Sekolah (AMS)
Pertemuan Ke 11
Kelas 4, 5, 6
> Materi :
1. Dasar Perintah Menghargai Kemanusiaan
2. Manfaat Menghargai Kemanusiaan
3. Akibat Tidak Menghargai Kemanusiaan
> Indikator Perilaku Siswa :
1. Tidak Pelit Untuk Memuji
2. Tidak Suka Menghina Manusia
3. Tidak Membeda Bedakan Teman..
> Sumber Materi : Qur'an, Hadits, Ijma, Qias, Tarikh.
Islam Menjunjung Tinggi Nilai Kemanusiaan
I اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، اَلَّذِى خَلَقَ اْلإِنْسَانَ خَلِيْفَةً فِي اْلأَرْضِ وَالَّذِى جَعَلَ كُلَّ شَيْئٍ إِعْتِبَارًا لِّلْمُتَّقِيْنَ وَجَعَلَ فِى قُلُوْبِ الْمُسْلِمِيْنَ بَهْجَةً وَّسُرُوْرًا. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَهُوَعَلَى كُلِّ شَيْئ ٍقَدِيْرٌ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًاعَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَنَبِيَّ بَعْدَهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمـَّدٍ سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَأَفْضلِ اْلأَنْبِيَاءِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَاِبه أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْدُ، فَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْااللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
Islam hadir di bumi dengan membawa penekanan pada prinsip tauhid sebagai pegangan utama hidup. Ia menjadi tonggak dari keseluruhan sikap manusia, khususnya umat Islam, dalam menjalani tidak hanya ibadah tapi juga muamalah (hubungan sosial). Tentang muamalah, tauhid mengajarkan pengesaan mutlak kepada Allah dan pengakuan bahwa hanya Allah yang mahaagung dan mahasempurna. Dari sini kita temukan kaitan yang sangat dekat antara prinsip ketuhanan dan kemanusiaan. Sebab, tauhid secara tidak langsung meniscayakan adanya kesetaraan bagi manusia karena derajat dan kelas paling tinggi hanya milik Allah.
Pembedaan derajat dan kelas pada tataran manusia bersifat semu di hadapan Allah subhanahu wata’ala. Karena itu, tidak ada satu pun yang berhak mengklaim diri memiliki derajat lebih mulia hanya karena berasal dari ras atau asal-usul primordial tertentu. Klaim semacam itu pernah dilakukan iblis pada awal penciptaan manusia, dan akhirnya iblis terhempas dari surga dan menjadi makhluk terkutuk selama-lamanya. Mula-mula Allah perintahkan para malaikat, termasuk iblis, untuk bersujud kepada Nabi Adam sebagai tanda hormat. Perintah penghormatan itu ditaati seluruh malaikat, tapi iblis dengan penuh kesombongan membangkang dari perintah tersebut.
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ. قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ “Allah berfirman, ‘Apakah yang menghalangimu bersujud (kepada Adam) ketika Kuperintahkan kepadaMu?’ Iblis menjawab, ‘Kami lebih baik daripada dia: Engkau ciptakan aku dari api, sedang dia Kauciptakan dari tanah’.” (QS al-A’raf: 12)
Manusia dan kemanusiaan menjadi perhatian yang serius dalam Islam. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pertama kali mensyiarkan agama ini, kondisi negeri Arab sedang dirundung kebejatan moral dan pelecehan nilai-nilai kemanusiaan yang parah. Perang dan pertumpahan darah lantaran fanatisme antarsuku terjadi di mana-mana. Kaum perempuan dinjak-injak martabatnya—bahkan berkembang perilaku mengubur hidup-hidup bayi perempuan karena dianggap tak berguna dan memalukan keluarga.
Perjudian dan eksploitasi ekonomi terhadap kaum miskin melalui riba marak. Dengan demikian betapa berat misi Nabi kala itu. Beliau tidak hanya hendak membersihkan paganisme atau penyembahan terhadap berhala, tapi juga menata moral masyarakat Arab yang dilanda kelangkaan rasa kemanusiaan yang akut. Tentang misi ini, Rasulullah pernah mendeklarasikan diri bahwa beliau diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak.
Perhatian Islam terhadap manusia dan kemanusiaan ini eksplisit dalam Islam. Al-Qur’an Surat al-Isra’ ayat 70 menyebut, “walaqad karramnâ banî âdam (dan telah Kami muliakan anak cucu Adam/manusia). Ayat menggunakan redaksi karramnâ (Kami [Allah] muliakan) yang berarti bahwa manusia mulia bukan saja karena ada manusia lain yang memuliakan tapi memang Allahlah yang memuliakannya.
Pesan kemanusiaan lain juga sangat jelas disampaikan Rasulullah dalam haji wada’ pada tahun ke-10 hijriah. Saat itu Rasulullah seperti memberi isyarat melalui pidato tentang tanda-tanda bahwa beliau akan meninggalkan dunia ini. Para sahabat yang peka akan tanda-tanda itu tak kuasa membendung tangis dan haji wada’ itu pun diwarnai banjir air mata dan kesan yang mendalam. Di tengah suasana haru biru tersebut, sebuah pesan substansial keluar dari lisan Rasulullah:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلاَ إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلاَ لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلاَلِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلاَ لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلاَ أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى. رواه أحمد والبيهقي والهيثمي "Wahai manusia, ingatlah, sesungguhnya
Tuhanmu adalah satu, dan nenek moyangmu juga satu. Tidak ada kelebihan bangsa Arab terhadap bangsa lain. Tidak ada kelebihan bangsa lain terhadap bangsa Arab. Tidak ada kelebihan orang yang berkulit merah terhadap orang yang berkulit hitam. Tidak ada kelebihan orang yang berkulit hitam terhadap yang berkulit merah. Kecuali dengan taqwanya.." (HR. Ahmad, al-Baihaqi, dan al-Haitsami).
Pidato Rasulullah tersebut pengandung pesan yang mendalam atas nilai-nilai kemanusiaan. Beliau memulainya dengan seruan “yâ ayyuhan nâs” (wahai manusia). Rasulullah tentu tahu bahwa pada momen haji wada’ mayoritas—bahkan mungkin semuanya—yang ada di hadapan beliau adalah orang mukmin. Tapi Nabi tidak menggunakan redaksi “yâ ayyuhal ladzîna âmanû” (wahai orang-orang beriman). Hal ini menandakan bahwa substansi ajaran yang beliau pidatokan bersifat universal, berlaku untuk seluruh manusia.
Pidato tersebut keluar lebih dari 10 abad sebelum deklarasi Hak Asasi Mansia (HAM) oleh PBB pada 1948. Hadits Nabi tersebut menegaskan kembali tentang prinsip tauhid, juga tentang muasal bapak yang satu (yakni Nabi Adam), baru disusul peringatan tentang prinsip kesetaraan manusia. Lagi-lagi ini meneguhkan logika yang di awal tadi disampaikan bahwa berangkat dari tauhid, pengakuan terhadap kesetaraan manusia muncul. Manusia bersumber dari satu leluhur yang dimuliakan Allah sehingga tidak boleh seorang pun membuat klaim keistimewaan bangsanya, rasnya, bentuk fisiknya, asal daerahnya, dibandingkan orang lain. Soal derajat kemuliaan, Islam memberi kriteria khusus, yaitu takwa. Artinya, segenap prestise manusia diukur oleh dan dikembalikan kepada Allah subhanahu wata’ala. Hal ini juga senada dengan seruan lain dalam Al-Qur’an: يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ
"Wahai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu sekalian dari seorang pria dan seorang wanita dan kami menjadikan kamu berbagai bangsa dan suku, agar kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantaramu di sisi Allah ialah orang yang saling bertaqwa". (Q.S. al-Hujarat:13).
Pesan lainnya dalam haji wada’ yang tak kalah pentingnya adalah imbauan Rasulullah untuk membuktikan diri sebagai mukmin dan muslim yang baik dengan menjamin hak-hak hidup dan ekonomi orang lain, dan tentu saja dengan senantiasai meningkatkan ketaatan dan manjauhi larangan-larangan Allah. Imam Ahmad menriwayatkan hadits yang berbunyi: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ : أَلا أُخْبِرُكُمْ بِالْمُؤْمِنِ ؟ الْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ ، وَالْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ النَّاسُ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ ، وَالْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ ، وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ الْخَطَايَا وَالذُّنُوبَ
Artinya: “Nabi SAW bersabda saat haji wada’, ‘Maukah kalian kuberitahu pengertian mukmin? Mukmin adalah orang yang memastikan dirinya memberi rasa aman untuk jiwa dan harta orang lain. Sementara muslim ialah orang yang memastikan ucapan dan tindakannya tidak menyakiti orang lain.
Sedangkan mujahid adalah orang yang bersungguh-sungguh dalam keta’atan kepada Allah SWT. Sedangkan orang yang berhijrah (muhajir) ialah orang yang meninggalkan kesalahan dan dosa.”
Mari kita selalu panjatkan doa agar kita tetap menjadi manusia yang berbudi luhur, manusia yang menghormati kemanusiaan dirinya dan orang lain, dan manusia yang berserah diri kepada Allah. Semoga Allah selalu membimbing kita semua untuk tetap dalam jalan keridhaan-Nya. بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم

Ajengan Masuk Sekolah (AMS)
Pertemuan Ke 12
Kelas 4, 5, 6
> Materi :
1. Dasar Perintah Sikap Teladan
2. Manfaat Sikap Teladan
3. Akibat Tidak Bersikap Teladan
> Indikator Perilaku Siswa :
1. Selalu Menjadi Teman Lainnya
2. Disiplin Waktu
3. Disiplin Berpakaian.
> Sumber Materi : Qur'an, Hadits, Ijma, Qias, Tarikh.
Rasulullah Sebagai Suri Tauladan yang Luar Biasa
Allah Subhanahu Wata’ala ingin menjadikan kekasih-Nya (Muhammad) sebagai suri tauladan yang baik bagi umat manusia sekalian alam
SIAPA yang tidak mengenal dengan sesosok manusia yang ummi, pembawa dan pencerah terhadap peradaban manusia? Siapa lagi kalau bukan Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassallam namanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam memang merupakan figur yang pantas dipuji oleh siapa pun.
Sebab, beliau memiliki kesempurnaan, baik itu sifat, perilaku maupun tutur kata. Banjiran pujian terhadap beliau tak akan pernah lekang dimakan oleh zaman, bahkan sejak zaman para sahabat sekalipun pujian itu tetap mengalir sehingga sekarang.
Perbincangan mengenai sosok ini tidak pernah membosankan dan tak akan pernah habis-habisnya. Walaupun selalu diperingati mengenai diri beliau setiap tahun, bahkan masih ada pembicaraan-pembicaraan yang belum terungkap dan belum terlukiskan dari kehidupan beliau.
Kemuliaan dan kekaguman terhadap kepribadian Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassallam tidak hanya diapresiasi oleh orang Muslim saja. Sebaliknya, orang non-Muslim sekalipun tidak terlepas dari kekaguman mereka di saat mereka mempelajari kehidupan Rasulullah. Pengetahuan dan kajian mengenai beliau pasti benar, selama seseorang itu berpegang teguh kepada prinsip yang objektif.
Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam seringkali dipanggil oleh Allah Subhanahu Wata’ala dengan panggilan yang mesra di dalam Al-Qur’an. Seperti kalimat yā ayyuhā “ yā ayyuhannabiy ” (wahai Nabi); yā ayyuha al-muddaththir dan yā ayyuha al-muzzammil (wahai orang yang berselimut!), dan seterusnya. Kalau pun beliau dipanggil nama, nama tersebut pastilah diiringi dengan gelar. Seperti firman Allah: Muhammadun ‘ Rasūlulu’Llāh ‘ [Nabi Muhammad itu adalah utusan Allah, Qs. al-Fatḥ: 29], wa mā Muhammadun illā ‘ Rasūl ‘ [Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, Qs. Āli ‘Imrān: 144], wa mubasysyiran ‘birāsūlin’ ya’tī min ba‘dī ismuhū Aḥmad [Nabi Isa As berkata: ..…..dan memberikan kabar gembira dengan kedatangan seorang Rasul yang akan datang sesudahku yang bernama Ahmad, Qs al-Shaf: 6), dan lain sebagainya.
Hal yang demikian sangat berbeda dengan para utusan-utusan (nabi-nabi) Allah Subhanahu Wata’ala yang lain. Toh bagaimana pun juga, ini bukan mengindikasikan bahwasannya beliau dianak emaskan atau dimanjakan, sehingga terbebas dari teguran-teguran ketika berbuat salah. Sebagaimana diketahui bahwa Rasulullah juga tidak terlepas dari teguran-teguran, baik itu berupa teguran yang keras maupun yang lembut. Namun, ketika beliau mendapat teguran, Allah Swt telah mendahulukan teguran tersebut dengan kalimat “afa’Llāhu ‘anka”, yaitu Allah telah mengampuni kesalahannya terlebih dahulu [lihat Qs. al-Tawbah: 43].
Alih-alih beliau memberikan izin kepada orang supaya tidak pergi berperang [sebelum jelas keuzurannya] sebagaimana dijelaskan di dalam ayat di atas tadi, pun tidak terhindar dari sebuah teguran. Barangkali perihal pemberian izin ini telah melampaui keotoritasan pengetahuan Rasulullah. Bahkan lebih daripada itu, perkara ‘kecil’ yang lumrah dan tidak bisa dihindari oleh siapa pun, apalagi di dalam kehidupan manusia dewasa ini, seperti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam berlaku ‘sinis’ (bermuka masam) kepada orang buta yang datang kepadanya. Perlakuan sinis pun tidak terlepas dari sebuah teguran.
Untuk konteks kekinian bagi kita, sikap yang hanya sekedar ‘bermuka masam’ kepada orang lain sudah dianggap dan sudah merupakan sikap yang baik. Inilah bedanya antara manusia biasa dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam, karena beliau diberi wahyu. Semua sikap dan kepribadian Rasulullah selalu dalam kontrol Allah Subhanahu Wata’ala . Jadi, apabila terdapat perilaku yang kurang baik, beliau ditegur, mestinya bersikap lebih baik lagi. Karena Allah Subhanahu Wata’ala ingin menjadikan kekasih-Nya sebagai suri tauladan yang baik bagi umat manusia sekalian alam.
Atas dasar itu, ‘Abbas al-‘Aqqād dalam hal ini mengklasifikasi sifat manusia menjadi empat macam. Di antaranya adalah pemikir, ahli ibadah, pekerja, dan seniman. Seorang pemikir jarang yang menjadi pekerja (seperti kuli bangunan, supir taksi, tukang ojek dan lain-lain). Dan sebaliknya, pekerja jarang yang menjadi pemikir. Orang yang ahli ibadah (barangkali kesibukan atau aktivitasnya di masjid atau musolla saja) pun tidak bisa menjadi pemikir. Dan ahli ibadah juga, jarang yang menjadi seniman. Tetapi, Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam bahkan melampaui itu semua. Dengan demikian, tidaklah heran kalau di dalam diri beliau terdapat suri tauladan yang baik yang patut dicontoh. Namun, yang dituntut dari kita adalah hendaknya meneladani beliau dengan cara yang cerdas. Wa’Llāhu a‘lam biṣṣawāb
Di antara sifat terpuji Rasulullah, ada 4 sifat yang mesti kita ajarkan kepada anak-anak kita sejak dini:
Shiddiq (Jujur) Jujur adalah sikap menyatakan sesuatu sesuai dengan fakta. Kejujuran Rasulullah SAW sangat terkenal, tidak hanya diakui teman dekatnya, bahkan diakui oleh musuhnya. Ali r.a meriwayatkan bahwa Abu Jahal berkata kepada Rasululullah SAW, ”Kami tidak mengatakan engkau dusta. Namun, kami menganggap dusta ajaran yang engkau bawa.” Beliau selalu jujur dalam perkataan dan perbuatan benar. Anak-anak juga seperti itu. Dalam situasi apapun, sifat kejujuran harus dimiliki. Tanda anak hebat adalah jujur. Sebagai contoh, seorang anak anak, sebut saja namanya Odi ditanya oleh guru. ”Kamu tadi pagi salat Subuh atau tidak?” Odi menjawab dengan berbohong, ”Iya Bu, saya salat Subuh tadi pagi.” Ibu guru melanjutkan, ”Jam berapa kamu salat?” Odi berbohong lagi, ”Jam 05.00 Bu.” Ibu guru bertanya lagi, ”Salat sama siapa kamu?” Odi terpaksa berbohong lagi, ”Sama mama, papa, dan adek, Bu.” Hanya karena berbohong sekali, Odi terpaksa berbohong lagi dan lagi karena guru terus bertanya. Jadi kita tidak boleh berbohong karena berbohong sekali pun dapat menibulkan kebohongan-kebohongan yang lain dan menyebabkan kita mendapatkan banyak dosa.
Amanah (Dapat Dipercaya) Amanah merupakan sikap yang dapat di percaya. Apabila suatu urusan dipercayakan kepadanya maka dia akan melaksanakan urusan tersebut dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana Rasulullah SAW diberikan amanah untuk menyampaikan ajaran Islam kepada umat manusia melaksanakan tugas itu dengan sebaik-baiknya mesti taruhan nyawa, jiwa, dan raga. Rasul tidak gentar untuk menjalankan amanah itu. Ketika kita berjanji kepada teman, orangtua, saudara, bahkan kepada musuh sekalipun kita harus tetap menepati janji. Jika kita mengingkarinya berarti tidak dapat dipercaya. Misalkan, Odi diberikan amanah oleh guru untuk memeberitahu teman-temannya yang lain untuk mengerjakan tugas. Tetapi dia tidak menyampaikannya. Berarti Odi termasuk orang-orang yang tidak dapat dipercaya.
Tabligh (Menyampaikan) Sifat tabligh yang artinya menyampaikan, yaitu sifat wajib Nabi menyampaikan seluruh ajaran yang diterima dari Allah SWT berupa wahyu kepada umat manusia agar menjadi pedoman hidup. Rasulullah SAW menyampaikan seluruh ajaran yang diterimanya dari Allah SWT bahkan sampai yang hal yang terkecil pun sehingga umat manusia mempunyai pedoman dalam kehidupannya. Kewajiban mencontoh dan menerapkan salah satu sikap Rasulullah yaitu menyampaikan amanah yang ia dapat kepada orang yang berhak menerima dan tidak satupun tidak sampai kepada alamatnya. Misalkan, Odi disuruh ibunya untuk menyampaikan dan memberikan titipan uang kepada ibu pemilik warung. Tetapi dia tidak memberikan uang tersebut, malah menggunakannya untuk jajan. Berarti Odi tidak menyampaikan amanah yang diberikan oleh ibunya kepadanya.
Fathonah (Cerdas) Sifat fathonah merupakan sifat yang pasti dimiliki. Kita pahami betapa sulitnya tugas yang di emban Rasulullah SAW sehingga wajib memiliki sifat cerdas. Rasulullah saw terkenal sebagai seorang yang cerdas dan pandai, serta sangat arif dan bijaksana. Dalam mengambil keputusan didasari dengan pertimbangan dan pemikiran matang. Tugas orangtua sebagai pendidik harus mengondisikan agar anak rajin belajar agar menjadi anak cerdas dan pandai. Termasuk di dalamnya mendampingi dan memfasilitasi berbagai kebutuhan penunjang belajar. Jadi dengan meneladani sifat cerdas Rasul, kita dapat melewati berbagai rintangan dalam kehidapan sehari-hari. Terutama anak-anak.
Keempat sifat dari Rasulullah yang dipaparkan di atas, merupakan akhlak yang perlu ditanamkan kepada anak sejak dini. Terlebih dalam situasi seperti saat ini ketika banyak anak bergaul tidak wajar. .

terimakasih atas respon anda. admin

Tidak ada komentar:

ERA TASHAWWUF SOCIETY 6.0

Sosialisasi : GENERASI BARU ABAD 21 ERA TASHAWWUF SOCIETY 6.0 (Ki Ageng Sapujagat Al Kajorani Al Jawi) > Revolusi Industri 4.0 mengg...