Minggu, 23 Februari 2020

MATERI 1 - 6, KELAS 4,5,6 AJENGAN MASUK SEKOLAH (AMS)

Ajengan Masuk Sekolah (AMS)
Pertemuan Ke 1
Kelas 4, 5, 6
Materi : Keutamaan Ta'awun (Kerja Sama) dalam Kebaikan
NASIHAT UNTUK MENJAGA UKHUWAH DAN TA'AWUN DALAM KEBAIKAN KARENA ALLAH, KEUTAMAAN KERJA SAMA
◈ Al-Imam Abu Hamzah Asy-Syaibani rahimahullah, beliau pernah ditanya, “Siapakah ikhwan fillah itu?” Maka beliau menjawab:
▸➀ “Mereka adalah orang-orang yang senantiasa mengerjakan ketaatan-ketaatan kepada Allah -ﷻ-
▸➁ dan mereka adalah orang-orang yang selalu melakukan ta'awun di atas perintah Allah -ﷻ-.”
※ Ta'awwun bisa menjadi sebab terwujudnya kecintaan dan kebersamaan
◈ Imam Abul Hasan al-'Amiri rahimahullah mengatakan, “Ta'awun di atas perintah Allah dan perintah Rasul -ﷺ- adalah sesuatu yang menuntut terjadinya kesepakatan pandangan / kesatuan pikiran yang mendatangkan sesuatu yang diinginkan dan menghasilkan kecintaan.”
◈ Bahkan Rasulullah dan para shahabat ikut terlibat bergotong-royong memindahkan tanah dari satu tempat ke tempat lain dan membersihkan area untuk pembangunan Masjid Nabawy. Area yang hendak dibangun Masjid Nabawi saat itu terdapat bangunan yang dimiliki oleh Bani Najjar.
Rasulullah -ﷺ- berkata kepada Bani Najjar, “Wahai Bani Najjar, berilah harga bangunan kalian ini?” Orang-orang Bani Najjar menjawab, “Tidak, demi Allah. Kami tidak akan meminta harga untuk bangunan ini kecuali hanya kepada Allah.”
■ Antara Sebab Yang Bisa Mewujudkan Ta'awun
[1] Menjalin ukhuwah Imaniyyah, ukhuwah Islamiyyah - Allah telah memberi jaminan, bahwa yang mampu mengikat persaudaraan itu hanyalah orang-orang yang beriman.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Sesungguhnya hanyalah orang-orang beriman itu (bisa saling) bersaudara, ...” [QS Al-Hujurat: 10]
Ketika orang-orang beriman mampu mewujudkan persaudaraan, maka mereka juga akan bisa mewujudkan ta'awun di tengah-tengah mereka.
[2] Keikhlasan dan kejujuran - Dua perkara inilah yang dapat mengarahkan kita kepada berbagai bentuk kebaikkan, yang bisa menjauhkan kita dari kepentingan-kepentingan peribadi serta melindungi kita dari hawa nafsu yang jelek.
[3] Menjauh dari sikap fanatik dan hizbiyyah - Dua perkara inilah yang merusak dakwah, yang merusak hubungan antara da'i ilallah serta bisa yang menghancurkan ummat. Ta'awun dan kerjasama dalam bentuk apapun tidak akan pernah terwujud jika orang-orang yang mengupayakan ta'awunnya terjangkiti dua penyakit ini.
[4] Belajar dan memahami mu'amalah yang baik - Mu'amalah dengan Rabb kita, kemudian mu'amalah dengan diri kita sendiri dan berikutnya mu'amalah dengan sesama kita. Dengan mempelajari dan memahami semua ini, kita bisa memposisikan diri kita agar bisa mewujudkan ta'awun dengan saudara-saudara kita.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا أَنْصَارَ اللَّهِ كَمَا قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ لِلْحَوَارِيِّينَ مَنْ أَنْصَارِي إِلَى اللَّهِ ۖ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنْصَارُ اللَّهِ ۖ
Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penolong-penolong (agama) Allah sebagaimana Isa putra Maryam telah berkata kepada shahabat-shahabatnya yang setia, “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?” Shahabat-shahabatnya yang setia itu berkata, “Kamilah penolong-penolong (agama) Allah,” ... [QS As-Saf, 14]
■ Dalam Perkara Apa Saja Kita Membutuhkan Ta'awun
[1] Ta'awun dalam menegakkan ibadah - Bahkan dalam komunitas yang paling kecil saja seperi dalam rumah tangga, sangat membutuhkan untuk saling ta'awun.
[2] Ta'awun dalam thalabul ilmi dan urusan dakwah - Saling memberi perhatian, membantu dari sisi tenaga, berbagi faidah ilmu dan mengajarkan ilmu, memberikan buah pikiran yang berguna utk dakwah, memberikan infaq untuk mewujudkan fasilitas menuntut ilmu atau menolong saudaranya yang dalam kesulitan (kehabisan bekal) agar bisa terus melanjutkan thalabul ilminya dll.
■ Keutamaan Ta'awun
[1] Meringan sebuah pekerjaan/amalan yang besar yang sulit dikerjakan secara sendirian.
[2] Akan timbul pada setiap orang perasaan membutuhkan terhadap sesama saudaranya, sadar bahwa dia tidak mungkin menjadi kuat tanpa bantuan dari saudaranya.
[3] Merupakan bukti cinta kebaikkan untuk sesama saudaranya.
[4] Merupakan buah dari sekian buah keimanan kepada Allah -ﷻ-.
[5] Merupakan landasan kemajuan dan keberhasilan.
[6] Kebersamaan & ta'awun akan menghilangkan perasaan hasad dan dengki dalam diri seseorang.
[7] Merupakan salah satu jalan yang menghantarkan kepada Ridha Allah dan Jannah-Nya.
■ Waspadai Dari Segala Bentuk Ta'awun Yang Menyelisihi Kitabullah Dan Sunnah Rasululah -ﷺ-
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“... dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” [QS Al-Ma'idah: 2]
Antaranya:
[1] Membantu kezhaliman - Termasuk di dalamnya siapa saja yang berjalan, bergabung, berteman, tolong-menolong dengan orang-orang yang berbuat kezhaliman dengan tujuan untuk membantu kezhalimannya serta menyebarkannya dalam keadaan tahu bahwa orang yang dibantunya seorang yang zhalim.
[2] Ta'ashub dan menyerukan Ashabiyyah - yakni seseorang membantu kaumnya, atau temannya atau saudaranya melakukan sebuah kezhaliman, kejahatan, tindakan yang keji serta memfasilitasi mereka dalam melakukan perlanggaran kepada Allah -ﷻ-.
WAHAI SAUDARAKU, JANGAN SAMPAI KITA SALING MERUSAK KEBERSAMAAN INI ... (Hasungan Untuk Saling Berta'awwun dan Bekerjasama Karena Allah)❱ Disampaikan oleh Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf hafizhahulloh■ Antara Dalil Wajibnya Untuk Saling Mewujudkan Ta'awun
(➊)
وَالْعَصْرِ . إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ . إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” [QS Al-Asr: 1-3]
Kata Syaikh Bin Baz rahimahullah, Di dalamnya mengandung ajakan untuk saling kerjasama, ta'awun dalam kebajikan dan taqwa.
(➋)
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ . وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” [QS Al-Ma'idah: 2]
Imam Ibnu Katsir daalam tafsirnya mengatakan:Allah memerintahkan kepada hamba-hambanya yang beriman untuk berta'awun dalam segala jenis kebaikkan (al-Birr)
dan memerintahkan untuk saling berta'awun dalam meninggalkan segala bentuk kemungkaran, hal-hal dosa dan kebathilan.
(➌)
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara" [QS Ali-Imran: 102]
Imam as-Sa'di rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan: "Sesungguhnya dalam kebersamaan kaum muslimin di atas agamanya dan kesatuan hati-hati mereka, hal tersebut akan memperbaiki urusan agama dan dunia mereka. Dengan adanya kebersamaan mereka dapat menyelesaikan segala persoalan dengan baik bahkan mereka juga akan mendapatkan kemaslahatan dari hasil kebersamaan itu seperti ta'awun ala birri wa taqwa."
※ Karena, ta'awun tidak akan pernah ada wujudnya jika tanpa ada kebersamaan. Kebersamaan di atas dasar apa? Tentunya kebersamaan di atas kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya -ﷺ-.
※ Perintah untuk berpegang teguh di atas tali Allah juga adalah perintah untuk saling bekerjasama di dalamnya, berta'awun di dalamnya, saling mengokohkan, saling menguatkan, saling mendukung dan saling memberikan motivasi, saling memberikan perhatian
(➍)
وَاجْعَل لِّي وَزِيرًا مِّنْ أَهْلِي . هَارُونَ أَخِي . اشْدُدْ بِهِ أَزْرِي . وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِي
“Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikankanlah dia sekutu dalam urusanku, ...”
※ Tidak ada seorangpun yang berdakwah di jalan Allah Ta'ala melainkan pasti butuh pihak-pihak yang akan diajak bekerjasama dan pihak yang bisa diajak ta'awun dengannya
Demikian pula Rasulullah ketika berdakwah di Makkah, beliau pernah berkata:
◈ Man yu'wiiniy.. “Siapa orang yang akan membantuku....?”
(➎) Nabi -ﷺ- bersabda:
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang mukmin yang satu dengan mukmin yang lain bagaikan satu bangunan, satu dengan yang lainnya saling mengokohkan.’ Kemudian beliau menganyam jari-jemarinya.” [HR. Al Bukhari & Muslim. Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu]
Berkata Imam Ibnu Baththol rahimahullah, “Ta'awunnya kaum mukminin antara sebagiannya dengan sebagian yang lain dalam urusan dunia dan urusan akhirat disyariatkan berdasarkan hadits ini.”
Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan, “Kalau melihat secara zhahir (hadits) itu hanya sekedar khobar akan tetapi sesungguhnya maknanya adalah perintah, dorongan untuk melakukan kerjasama dan ta'awun antar kaum mukminin.”
(➏) Nabi -ﷺ- bersabda
المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ، وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً، فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ القِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Seorang muslim itu saudara bagi muslim lainnya. Dia tidak menzhaliminya dan tidak membiarkannya berbuat zhalim. Barangsiapa memenuhi kebutuhan saudaranya niscaya Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barangsiapa melapangkan satu kesusahan saudaranya niscaya Allah akan melapangkan baginya satu kesulitan dari kesulitan-kesulitan pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi aib saudaranya, maka Allah akan tutupi aibnya pada hari kiamat.” [HR. Bukhari Muslim]
Al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani mengatakan, “Di dalam hadits ini ada anjuran, motivasi, dorongan untuk saling melakukan kerjasama atau ta'awun. Disamping itu juga ada anjuran agar selalu menampakkan pergaulan yang baik dan dorongan agar menjaga persatuan dan kesatuan.”
■ Hikmah Di Balik Ta'awun Di Atas Kebajikan & Taqwa
※ Ta'awun mengajarkan kepada kita agar kita memiliki “kepekaan” yang tinggi terhadap saudara kita
◈ Imam Atho' bin Abi Robah rahimahullah, beliau mengatakan, “Cari tahu tentang bagaimana keadaan saudara-saudara kalian paling tidak dalam 3 hal :
1. Apakah mereka dalam keadaan sakit? jika seandainya diketahui mereka sedang sakit maka jenguklah mereka.
2. Apakah mereka dalam keadaan sibuk (kesulitan, ed) menghadapi sesuatu yang membuat tidak nampak, tidak hadir di tengah-tengah kita? Maka jika demikian bantulah mereka.
3. Apakah saudara kita itu dalam keadaan lupa, dalam keadaan lalai sehingga tidak kelihatan batang hidungnya di tengah-tengah kita? Maka jika benar-benar demikian maka ingatkanlah mereka.”

Ajengan Masuk Sekolah (AMS)
Pertemuan Ke 2
Kelas 4, 5, 6
Materi :
1. Dasar Musyawarah Dan Mufakat
2. Manfaat Musyawarah Dan Mufakat
3. Akibat Tidak Musyawarah Dan Mufakat
> Aspek Yang Dibangun : Aspek Gotong Royong
> Nilai Aspek Yang Dibangun : Musyawarah Dan Mufakat
> Kompetensi : Membiasakan Sikap Musyawarah Mufakat Dalam Menyelesaikan Masalah
> Indikator Perilaku Siswa :
1. Suka Berdiskusi Dengan Baik
2. Bersikap Jembar Manah Dalam Mengemukakan Pendapat
3. Mengajak Teman Agar Selalu Berada Dalam Jama'ah.
> Sumber Materi : Qur'an, Hadits, Ijma, Qias, Tarikh.
MUSYAWARAH DAN MUFAKAT
Sebagai seorang muslim, kita perlu meniru cara hidup Rasulullah SAW dalam bermusyawarah, karena beliaulah suri tauladan terbaik yang paling layak dijadikan sebagai panutan dalam seluruh aspek kehidupan kita.
Berikut ini beberapa ayat Al-Qur'an tentang musyawarah yang ada di sejumlah surat dalam Al-Qur'an. Memuat tentang contoh-contoh musyawarah yang terjadi dalam beragam konteks.
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Dan para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban bagi ayah adalah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya, dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat terhadap apa yang kamu kerjakan. – (Q.S Al-Baqarah: 233)
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Maka berkat rahmat Allah lah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu, maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal. – (Q.S Ali Imran: 159)
وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ * قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Dan raja berkata, “Hadirkan dia (Yusuf) ke hadapanku, agar aku memilihnya (sebagai orang yang dekat) kepadaku.” Ketika dia (raja) telah bercakap - cakap dengannya, dia (raja) berkata, “Sesungguhnya mulai hari ini kamu menjadi seorang yang berkedudukan tinggi dan dipercaya di lingkungan kami.” (54) Dia (Yusuf) berkata, “Jadikanlah aku sebagai bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (55) – (Q.S Yusuf: 54-55)
قَالَتْ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ إِنِّي أُلْقِيَ إِلَيَّ كِتَابٌ كَرِيمٌ * إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ * أَلَّا تَعْلُوا عَلَيَّ وَأْتُونِي مُسْلِمِينَ * قَالَتْ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ أَفْتُونِي فِي أَمْرِي مَا كُنْتُ قَاطِعَةً أَمْرًا حَتَّى تَشْهَدُونِ * قَالُوا نَحْنُ أُولُو قُوَّةٍ وَأُولُو بَأْسٍ شَدِيدٍ وَالْأَمْرُ إِلَيْكِ فَانْظُرِي مَاذَا تَأْمُرِينَ * قَالَتْ إِنَّ الْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا وَجَعَلُوا أَعِزَّةَ أَهْلِهَا أَذِلَّةً وَكَذَلِكَ يَفْعَلُونَ * وَإِنِّي مُرْسِلَةٌ إِلَيْهِمْ بِهَدِيَّةٍ فَنَاظِرَةٌ بِمَ يَرْجِعُ الْمُرْسَلُونَ
Dia (Balqis) berkata, “Wahai para pembesar, sesungguhnya telah sampai kepadaku sebuah surat yang mulia.” (29) Sesungguhnya surat itu dari Sulaiman yang isinya, “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, (30) janganlah engkau berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.” (31) Dia (Balqis) berkata, “Wahai para pembesar, berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini). Belum pernah aku memutuskan suatu perkara sebelum kalian hadir dalam majelis(ku).” (32) Mereka menjawab, “Kita memiliki kekuatan dan keberanian yang luar biasa, akan tetapi keputusan berada di tanganmu. Maka pertimbangkanlah apa yang akan engkau perintahkan.” (33) Dia (Balqis) berkata, “Sesungguhnya apabila para raja menaklukkan suatu negeri, mereka tentu akan membinasakannya dan menjadikan penduduknya yang mulia menjadi hina, dan demikian pula yang akan mereka perbuat. (34) Dan sungguh, aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan membawa hadiah, dan aku akan menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh para utusan itu.” (35) – (An-Naml: 29-35)
فَمَا أُوتِيتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى لِلَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ * وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ * وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Apa saja (kenikmatan) yang diberikan kepadamu, maka itu adalah kesenangan hidup di dunia. Sedangkan apa (kenikmatan) yang ada di sisi Allah itu lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman dan hanya bertawakkal kepada Tuhan mereka, (36) dan juga (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah segera memberikan maaf, (37) dan (bagi) orang-orang yang memenuhi seruan Tuhan dan menegakkan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan jalan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepada mereka. (38) – (Q.S As-Syura: 36-38)
Itulah beberapa contoh musyawarah yang diabadikan dalam sejumlah ayat Al-Qur'an. Semoga beberapa ayat Al-Qur'an tentang musyawah tersebut bisa menjadi gambaran tentang pentingnya memutuskan suatu perkara dengan jalan bermusyawarah.

Ajengan Masuk Sekolah (AMS)
Pertemuan Ke 3
Kelas 4, 5, 6
Materi :
1. Dasar Perintah Tolong Menolong
2. Manfaat Tolong Menolong
3. Akibat Tidak Tolong Menolong Dalam Kehidupan
> Indikator Perilaku Siswa :
1. Rajin Membantu Orang Yang Membutuhkan
2. Suka Membantu Orang Tua
3. Khidmat Kepada Guuru.
> Sumber Materi : Qur'an, Hadits, Ijma, Qias, Tarikh.
PERINTAH UNTUK SALING MENOLONG DALAM MEWUJUDKAN KEBAIKAN DAN KETAKWAAN
Allah Azza wa Jalla berfirman:
ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya [al-Mâidah/5:2]
PENJELASAN AYAT
Makna al-birru (الْبِرِّ ) dan at-taqwa (التَّقْوَى )
Dua kata ini, memiliki hubungan yang sangat erat.Karena masing-masing menjadi bagian dari yang lainnya.
Secara sederhana, al-birru (الْبِرِّ ) bermakna kebaikan. Kebaikan dalam hal ini adalah kebaikan yang menyeluruh, mencakup segala macam dan ragamnya yang telah dipaparkan oleh syariat.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mendefinisikan bahwa al-birru adalah satu kata bagi seluruh jenis kebaikan dan kesempurnaan yang dituntut dari seorang hamba. Lawan katanya al-itsmu (dosa) yang maknanya adalah satu ungkapan yang mencakup segala bentuk kejelekan dan aib yang menjadi sebab seorang hamba sangat dicela apabila melakukannya.
Tidak jauh berbeda, Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan bahwa al-birru adalah sebuah nama yang mencakup segala yang Allah Azza wa Jalla cintai dan ridhai, berupa perbuatan-perbuatan yang zhâhir maupun batin, yang berhubungan dengan hak Allah Azza wa Jalla atau hak sesama manusia.
Dari sini dapat diketahui, bahwa termasuk dalam cakupan al-birru, keimanan dan cabang-cabangnya, demikian pula ketakwaan.
Allah Azza wa Jalla telah menghimpun ragam al-birru (kebaikan, kebajikan) dalam ayat berikut:
لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orangorang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. [al-Baqarah/2:177]
Kebaikan (kebajikan) yang tertera di ayat di atas mencakup seluruh unsur agama Islam; prinsip-prinsip keimanan, penegakan syariat seperti mendirikan shalat, membayar zakat dan infak kepada orang yang membutuhkan dan amalan hati seperti bersabar dan menepati janji.
Dalam ayat ini, setelah memberitahukan ragam kebaikan, di penghujung ayat, Allah Azza wa Jalla menjelaskan itulah bentuk-bentuk ketakwaan (sifat-sifat kaum muttaqîn).
Adapun hakikat ketakwaan yaitu melakukan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dengan penuh keimanan dan mengharap pahala; baik yang berupa perintah ataupun larangan. Kemudian perintah itu dilaksanakan atas dasar keimanan dengan perintah dan keyakinan akan janji-Nya, dan larangan ditinggalkan berlandaskan keimanan terhadap larangan tersebut dan dan takut akan ancaman-Nya.
Thalq bin Habîb rahimahullah, seorang Ulama dari kalangan generasi Tâbi’în berkata:” Apabila terjadi fitnah maka bendunglah dengan takwa”. Mereka berkata:” Apa yang dimaksud dengan takwa?”. Beliau menjawab:” Hendaknya engkau melakukan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dengan dasar cahaya dari Allah Azza wa Jalla dan mengharap pahala-Nya. Dan engkau tinggalkan maksiat dengan dasar cahaya dari Allah Azza wa Jalla dan takut terhadap siksa-Nya”.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah memuji keterangan di atas dengan mengatakan : Ini merupakan definisi takwa yang paling bagus. Beliau menjelaskan, bahwa semua amalan memiliki permulaan dan tujuan akhir. Satu amalan tidaklah dianggap sebagai bentuk ketaatan dan ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla kecuali apabila bersumber dari keimanan. Artinya dorongan utama melakukan amalan tersebut adalah keimanan bukan kebiasaan, mengikuti hawa nafsu atau keinginan untuk mendapatkan pujian dan kedudukan. Jadi, permulaannya adalah keimanan dan tujuan akhirnya adalah meraih pahala dari Allah Azza wa Jalla serta mengharap keridhaan-Nya atau yang disebut dengan ihtisâb. Oleh karena itu, banyak kita dapatkan kata iman dan ihtisâb datang secara bersamaan seperti contoh berikut:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَلَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barang siapa yang puasa ramadhan dengan penuh keimanan (iman) dan mengharap pahala (ihtisâb), maka diampuni semua dosanya yang telah lewat.[HR. al-Bukhâri Muslim].
Faedah:
Ulama mengatakan bahwa penggabungan kata al-birr dan at-taqwa dalam satu tempat (seperti ayat di atas) mengandung pengertian yang berbeda satu sama lain. Dalam konteks ini, al-birr bermaka semua hal yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa ucapan dan perbuatan, lahir dan batin. Sementara at-taqwa lebih mengarah kepada tindakan menjauhi segala yang diharamkan [al-Qawâid al-Hisân, Syaikh as-Sa’di, hlm. 48]
Makna al-itsmu (إئْمُ ) dan al-’udwân ( الْعُدْوَانُ)
Pada dasarnya, pengertian antara al-birru dan at-taqwa, al-itsmu dan al-’udwân terikat pada hubungan yang kuat. Masing-masing kata itu mengandung pengertian kata lainnya. Setiap dosa (al-itsmu) merupakan bentuk ‘udwân (tindakan melampaui batas) terhadap ketentuan Allah Azza wa Jalla, yang berupa larangan atau perintah. Dan setiap tindakan ‘udwân, pelakunya berdosa.
Namun bila keduanya disebut bersamaan, maka masing-masing memiliki pengertian yang berbeda dengan yang lainnya.
Al-itsmu (dosa) berkaitan dengan perbuatanperbuatan yang memang hukumnya haram. Contohnya, berdusta, zina, mencuri, minum khamer dan lainnya. Contoh-contoh di atas merupakan perbuatan yang pada asalnya haram.
Sehubungan dengan al-’udwân, kata ini lebih mengarah pada suatu pengharaman yang disebabkan oleh tindakan melampaui batas. Apabila tidak terjadi tindakan melampaui batas, maka diperbolehkan (halal).
Tindakan melampaui batas terbagi dua, pertama: terhadap Allah Azza wa Jalla, seperti melampaui batas ketentuan Allah Azza wa Jalla dalam pernikahan seperti : memiliki lima istri, atau menyetubuhi istri dalam masa haidh, nifas, masa ihram atau puasa wajib.
Dan kedua: Tindakan melampaui batas terhadap sesama. Contohnya, bertindak kelewat batas terhadap orang yang berhutang, dengan menciderai kehormatan, fisik atau mengambil lebih dari seharusnya. [4]
URGENSI AYAT
Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla memerintahkan hamba-Nya yang beriman untuk saling membantu dalam perbuatan baik dan itulah yang disebut dengan albirr dan meninggalkan kemungkaran yang merupakan ketakwaan. Dan Dia Azza wa Jalla melarang mereka saling mendukung kebatilan dan bekerjasama dalam perbuatan dosa dan perkara haram.[5]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menilai ayat di atas memiliki urgensi tersendiri. Beliau menyatakan: Ayat yang mulia ini mencakup semua jenis bagi kemaslahatan para hamba, di dunia maupun akhirat, baik antara mereka dengan sesama, ataupun dengan Rabbnya. Sebab seseorang tidak luput dari dua kewajiban; kewajiban individualnya terhadap Allah Azza wa Jalla dan kewajiban sosialnya terhadap sesamanya.
Selanjutnya, beliau memaparkan bahwa hubungan seseorang dengan sesama dapat terlukis pada jalinan pergaulan, saling menolong dan persahabatan. Hubungan itu wajib terjalin dalam rangka mengharap ridha Allah Azza wa Jalla dan menjalankan ketaatan kepada-Nya. Itulah puncak kebahagiaan seorang hamba. Tidak ada kebahagiaan kecuali dengan mewujudkan hal tersebut, dan itulah kebaikan serta ketakwaan yang merupakan inti dari agama ini.[6]
Al-Mâwardi rahimahullah berkata: Allah Azza wa Jalla mengajak untuk tolong-menolong dalam kebaikan dengan beriringan dengan ketakwaan kepada-Nya. Sebab dalam ketakwaan, terkandung ridha Allah Azza wa Jalla. Sementara saat berbuat baik, orang-orang akan menyukai (meridhai). Barang siapa memadukan antara ridha Allah Azza wa Jalla dan ridha manusia, sungguh kebahagiaannya telah sempurna dan kenikmatan baginya sudah melimpah.[7]
Sebagai contoh sikap saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
انْصُر أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظلُو مًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا نَنصُرًُهُ مَظْلُومًا فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا قَالََ تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ
Bantulah saudaramu, baik dalam keadaan sedang berbuat zhalim atau sedang teraniaya. Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, kami akan menolong orang yang teraniaya. Bagaimana menolong orang yang sedang berbuat zhalim?” Beliau menjawab: “Dengan menghalanginya melakukan kezhaliman. Itulah bentuk bantuanmu kepadanya.” [HR. al-Bukhâri]
Dalam hadits lain, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الدِّالُ عَلَى الْخَيْرِ كَفَا عِلِهِ
Orang yang menunjukkan (sesama) kepada kebaikan, ia bagaikan mengerjakannya. [HR. Muslim]
Orang berilmu membantu orang lain dengan ilmunya. Orang kaya membantu dengan kekayaannya. Dan hendaknya kaum Muslimin menjadi satu tangan dalam membantu orang yang membutuhkan. Jadi, seorang Mukmin setelah mengerjakan suatu amal shalih, berkewajiban membantu orang lain dengan ucapan atau tindakan yang memacu semangat orang lain untuk beramal.[8]
Hubungan kedua, antara seorang hamba dengan Rabbnya tertuang dalam perintah ‘Dan bertakwalah kamu kepada Allah’. Dalam hubungan ini, seorang hamba harus lebih mengutamakan ketaatan kepada Rabbnya dan menjauhi perbuatan untuk yang menentangnya.[9]
Kewajiban pertama (antara seorang hamba dengan sesama) akan tercapai dengan mencurahkan nasehat, perbuatan baik dan perhatian terhadap perkara ini. Dan kewajiban kedua (antara seorang hamba dengan Rabbnya), akan terwujud melalui menjalankan hak tersebut dengan ikhlas, cinta dan penuh pengabdian kepada-Nya.[10]
Hendaknya ini dipahami bahwa sebab kepincangan yang terjadi pada seorang hamba dalam menjalankan dua hak ini, hanya muncul ketika dia tidak memperhatikannya, baik secara pemahaman maupun pengamalan.

Ajengan Masuk Sekolah (AMS)
Pertemuan Ke 4
Kelas 4, 5, 6
Materi :
1. Dasar Anti Diskriminasi
2. Manfaat Anti Diskriminasi
3. Akibat Sikap Diskriminasi
> Indikator Perilaku Siswa :
1. Menerima Orang Lain Dengan Baik
2. Tidak Membeda Bedakan Status
3. Mengajak Teman Agar Tidak Menyudutkan Temannya.
> Sumber Materi : Qur'an, Hadits, Ijma, Qias, Tarikh.
Larangan Diskriminasi Dalam Islam
Diskriminasi atau discriminate dalam bahasa Inggris mengandung makna membedakan. Dalam bahasa Arab diskriminasi disebut dengan al-Muhabbah yang bermakna membedakan kasih antara satu dengan yang lain. Dengan kata lain, diskriminasi adalah perbuatan atau perlakuan membeda -bedakan seseorang atau kelompok lain yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang berdasarkan status sosial, suku, ras, etnis, jenis kelamin, warna kulit, dan alin-lain.
Biasanya, orang yang berlaku diskriminatif terhadap orang lain merasa dirinya atau identitas yang melekat pada dirinya lebih unggul dibandingkan dengan orang lain. Misalnya, orang kulit putih yang memandang orang kulit hitam sebagai kaum yang derajatnya lebih rendah sehingga pantas dipekerjakan sebagai budak.
Sikap diskriminatif seperti ini jelas tidak sesuai dengan ajaran Islam. Menurut perspektif Islam, manusia memang diciptakan berbeda satu sama lain. Dalam kehidupan sehari-hari kita bisa melihat bahwa teman-teman kita berasal dari berbagai suku, agama, etnis, jenis kelamin, status sosial, dan lain-lain yang berbeda dengan kita. Namun, perbedaan ini tidak lantas menjadi alasan kita untuk memperlakukan mereka secara berbeda hanya karena mereka tidak memiliki kesamaan latar belakang dengan kita.
Islam melarang umatnya untuk berlaku diskriminatif terhadap orang lain hanya karena perbedaan bangsa dan suku karena hal ini bertentangan dengan fitrah manusia itu sendiri.
Dalam surat Al Hujurat ayat 13 Allah SWT berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ Arab-Latin: Yā ayyuhan-nāsu innā
khalaqnākum min żakariw wa unṡā wa ja'alnākum syu'ụbaw wa qabā`ila lita'ārafụ, inna akramakum 'indallāhi atqākum, innallāha 'alīmun khabīr
Terjemah Arti: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al Hujurat : 13).
Dari ayat tersebut jelaslah bahwa manusia diciptakan ke muka bumi ini memang berbeda satu sama lain. Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah agar manusia dapat saling mengenal satu sama lain.
Mengenal di sini juga bukan dimaksudkan untuk membeda-bedakan manusia melainkan untuk memahami, menerima, dan menghargai perbedaan tersebut. Perbedaan yang ada juga hendaknya tidak menjadi alasan untuk saling menyakiti, berbuat tidak adil, atau merendahkan manusia lainnya. Melihat perbedaan hanya untuk merendahkan orang lain dan menyombongkan diri jelas tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Allah SWT berfirman dalam surat Al Hujurat ayat 11 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik … “ (QS. Al Hujurat : 11).
Dari Abu Hurairah r.a Rasulullah SAW bersabda,
“Seorang muslim adalah saudara Muslim lainnya, tidak (boleh) menzaliminya, menghinanya, dan merendahkannya. Takwa itu di sini, takwa itu di sini, takwa itu di sini (sambil ditunjukkan ke dada beliau (SAW) dan diulang sebanyak tiga kali yang menunjukkan kepentingannya). Cukuplah seseorang berbuat keburukan dengan merendahkan saudaranya yang Muslim. Setiap muslim haram darah, kehormatan, dan hartanya atas muslim lainnya.” (HR. Muslim).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Islam melarang kaum muslimin bersikap diskriminatif, karena :
Manusia memang diciptakan berbeda satu sama lain.
Sikap diskriminatif dapat menimbulkan konflik.
Sikap diskriminatif menunjukkan penolakan terhadap ketentuan Allah SWT.
Sikap diskriminatif menyebabkan orang berlaku sombong.
Sikap diskriminatif menyebabkan orang memperlakukan orang lain dengan sewenang-wenang.

Ajengan Masuk Sekolah (AMS)
Pertemuan Ke 5
Kelas 4, 5, 6
Materi :
1. Dasar Perintah Anti Kekerasan
2. Manfaat Anti Kekerasan
3. Akibat Sikap Suka Kekerasan
> Indikator Perilaku Siswa :
1. Selalu Minta Maaf Bila Berbuat Salah
2. Memaafkan Orang
3. Selalu Minta Ridho Orang Tua Dan Guru.
> Sumber Materi : Qur'an, Hadits, Ijma, Qias, Tarikh.
Islam Sebagai Agama Dakwah Bukan Agama Kekerasan
Islam adalah agama risalah yang dikembangkan oleh Nabi Muhamad SAW dari sudut kota Mekkah Almukaromah yang kemudian diteruskan oleh para Sahabat, Aulia, Waliyullah dan Para Ulama dan sampailah kepada kita semua. Perkembangan Islam di Indonesia yang dibawa oleh para Waliyullah menyebar dengan pesatnya, penyebaran agama Islam di Indonesia pada khususnya dan di Bumi Nusantara pada umumnya dilakukan dengan cinta kasih tanpa sedikitpun prilaku kekerasan dalam menyampaikan ajaran ajarannya.
Selain Islam sebagai agama tauhid Islam juga sebagai agama akhlak atau agama budhi atau dalam istilah Jawa adalah “Budhi Pekerti” Prilaku yang baik yang merupakan cerminan dari hubungan ketauhidan seseorang dalam menetapi kewajibannya menegakan syariat Islam. Sehingga dalam perkembangannya Islam sangat mudah diterima dikalangan masyarakat khususnya diwilayah Nusantara ini. Dan Islam diIndonesia adalah mayoritas dari agama-agama yang berkembang di Indonesia, Namun dari banyaknya pemeluk agama Islam di Indonesia, Pemeluk agama Islam tidak semena-mena terhadap pemeluk agama lain.
Catatan sejarah panjang masuknya Agama Islam di Indonesia pada masa kerajaan yang dibawa oleh para waliyullah berkembang dengan pesatnya sehingga Indonesia menjadi Negara dengan penduduk muslim terbesar didunia.
Begitu besarnya semangat Jihad (Jihad disini bukan berarti Perang ataupun dengan kekerasan) yang dilakukan oleh para pendahulu kita dalam mendakwahkan Islam memperjuangkan kebenaran ajaran ajaran Islam sehingga kebenaran itu terwujud dalam pemikiran, kata-kata dan perbuatan.
Dalam hadist nabi beliau bersabda “Balighu ani walau ayattan” yang artinya Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat. Yang artinya bahwa berdakwah merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim. Adapun dalam menyampaikan dakwah Islmaiyah kita tidak diperkenankan dengan menggunakan pedang atau kekerasaan apa lagi dengan melakukan pemboman ataupun Bom Bunuh diri yang akhir-akhir ini seolah-olah menjadi trend bahwa apa yang dilakukan oleh mereka adalah suatu kebenaran.
Bahwa seolah-olah mereka punya mandat pengadilan atas manusia sehingga mereka menggunakan pemahamannya yang keliru tersebut bukan perbaikan malah menjadi kerusakan di bumi. Aksi kekerasan yang dilakukan oleh ormas belakangan ini sangat berdampak negatif dalam perkembangan Islam di Indonesia. beberapa ormas yang dengan enteng menyebut bahwa Jihad dan menyebut nama Islam sebagai dasar tanpa disadari telah mencoreng nama baik Islam sendiri sebagai agama rakhmatan lill Alamin.
Dalam hal ini saya sangat sedih dengan method-methode Dakwah yang dilakukan oleh mereka. Benar apa yang disampaikan oleh beberapa ustadz waktu saya kecil , dimana Iman tanpa dilandasi oleh Ilmu adalah pincang begitupula dengan Ilmu tanpa Iman yang terjadi adalah kerusakan.
Bahwa methode dakwah yang dilakukan oleh mereka yaitu dengan melakukan swiping dll tidak dibenarkan secara hukum Islam. Berikut Allah SWT berfirman didalam Al Qur’an Surat Asy Syuura ayat 42 yang berbunyi seperti dibawah ini.
إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَظْلِمُونَ النَّاسَ وَيَبْغُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ ۚ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Arab-Latin: Innamas-sabīlu 'alallażīna yaẓlimụnan-nāsa wa yabgụna fil-arḍi bigairil-ḥaqq, ulā`ika lahum 'ażābun alīm
Terjemah Arti: Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang
berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.
Dalam penyampaian dakwah tidak boleh diperturutkan dengan hawa nafsu sehingga tidak ada pertengkaran atau perpecahan diantara umat. Begitulah Allah SWT menyampaikan firmannya dan begitupulalah cara dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.
Peringatan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk turun martabat, sampai kepada martabat makhluk yang paling rendah dan hina bahkan lebih hina dan lebih rendah dari jenis binatang yakni apabila manusia itu mengabaikan, tidak menggunakan potensi jasmaniah dan rokhaniahnya sesuai dengan undang-undang yang berlaku (sunnattullah),apalagi nafsu sudah terlepas dari akal dan dan dlamirnya sudah bisu, sudah tidak berkata lagi sehingga laku dan kelakuan manusia lebih hina dan lebih rendah daripada hewan.
Perintah akan sebuah risalah dan dakwah Rasulullah SAW adalah petunjuk pedoman, Bagaimana manusia menjaga nilai-nilai dan martabat kemanusiaanya agar jangan sampai tergelincir kejurang yang paling hina. Bahkan bila perlu potensi yang ada didalam diri kita dapat dikembangkan secara maksimal sehingga mampu mengantarkan kita kepada derajat yang tinggi yaitu derajat mulia. Derajat mulia hanya dapat dimiliki oleh orang orang yang bertaqwa bukan berarti bertaqwa karena penampilannya (Memakai sorban, Kopyah putih Jenggotan atau dengan celana congklang yang seolah olah paling bertaqwa sendiri dan selalu mengkafirkan orang lain atau yang batuknya hitam karena sujudnya paling lama namun yang mencul hanyalah keriaan belaka?
Derajat takqwa hanya dapat dimiliki oleh orang yang senantiasa taat dan tunduk kepada Allah SWT, serta menjauhi larangan-larangannya serta melaksanakan sunah-sunah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adapun dalam melaksanakan ketaatan tersebut adalah selalu menjaga hubungan baik dengan Allah (hablumminallah) dan selalu menjaga hubungan baik dengan manusia (hablum minanas).
Islam bukan agama kekerasan atau dengan kata lain cara radikal atau bahasa yang lebih kerennya adalah Revolusi. Dimana revolusi lebih identik dengan radikalisme dan kekerasan. Dalam perkembangannya Islam sebagai jalan dakwah (Mengajak bukan mengejek, menghimbau bukan mengharap, merangkul bukan memukul, menyentuh bukan menyinggung) begitulah jalan dakwah Islam. Islam memiliki karakteristik dalam berdakwah. Adapun Ciri-Ciri dakwah Islam adalah sebagai berikut :
1.Universialisme dan Humanisme
Adalah Bahwa dakwah Islam adalah dakwah kemanusiaan dakwah yang menggunakan ukuran-ukuran nilai kemanusiaan dalam tingkah laku pribadi yang hubungannya dengan sesama manusia. Dakwah Islam adalah dakwah kearah perubahan sosial menuju suatu masyarakat idaman, dakwah untuk meninggalkan sikap egoistis dan kecenderungan materialistis menuju kearah sikap kebersamaan dan kemaslahatan Umat. Bukan hanya umat Islam saja namun seluruh Umat manusia. Allah SWT berfirman adapun ayat yang menerangkan ke Universalan Islam dijelaskan pada ayat dibawah ini pada Q.S Saba ayat 28.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ Arab-Latin: Wa mā arsalnāka illā kāffatal lin-nāsi basyīraw wa nażīraw wa lākinna akṡaran-nāsi lā ya'lamụn
Terjemah Arti: Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.
Bahwa ayat tersebut diatas menerangkan akan keuniversalan Al Qur’an, Akan keuniversalan Islam didalam ajarannya hal tersebut dijelaskan oleh Allah SWT bahwa Al Qur’an bukan hanya diberlakukan kepada satu Umat yaitu Umat Islam saja namun seluruh umat manusia.
Dan diterangkan pula dalam Q.S Al Anbiya ayat 107 .
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ Arab-Latin: Wa mā arsalnāka illā raḥmatal lil-'ālamīn
Terjemah Arti: Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Jadi sapa yang sebtulnya mengingkari ayat ayat tersebut?? Kalau kita berdakwah namun tidak menggunakan petujuk Al Qur’an yang berakibat adalah nafsu yang dipertontonkan dan terjadilah kerusakan kekerasan dll.
2.Memberikan keleluasaan untuk memilih (Demokratis)
Dakwah Islam tidak dilaksanakan secara frontal, Radikal apalagi dengan Revolusi yang mengakibatkan pertumpahan darah. Dakwah Islam di laksanakan secara demokratid bagi setiap individu untuk menentukan pilihannya. Dalam dakwah Islam tidak ada satu paksaan apapun manusia diberikan suatu kebebasan keleluasaan untuk memilih serta menentukanBerikut Allah SWT menerangkan dalam firmannya dalam Q.S.Al.Kahfi ayat 18 seperti tersebut dibawah ini
وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ ۚ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ ۖ وَكَلْبُهُمْ بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيدِ ۚ لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا Arab-Latin: Wa taḥsabuhum aiqāẓaw wa hum ruqụduw wa nuqallibuhum żātal-yamīni wa żātasy-syimāli wa kalbuhum bāsiṭun żirā'aihi bil-waṣīd, lawiṭṭala'ta 'alaihim lawallaita min-hum firāraw wa lamuli`ta min-hum ru'bā
Terjemah Arti: Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka.
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ Arab-Latin: Lā ikrāha fid-dīn, qat tabayyanar-rusydu minal-gayy, fa may yakfur biṭ-ṭāgụti wa yu`mim billāhi fa qadistamsaka bil-'urwatil-wuṡqā lanfiṣāma lahā, wallāhu samī'un 'alīm
Terjemah Arti: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Dalam QS.Al Baqarah 256 menjelaskan bahwasanya Islam tidak memaksakan suatu agama, namun karena ada tendensi politik dll seringkali disalah artikan dimana akhir akhir ini seolah olah memaksakan kehendaknya yang dilakukan oleh oknum oknum yang tidak bertanggungjawab dengan mengatasnamakan Islam. Jadi dalam kajian dakwah kali ini sangat disayangkan jika ada Oknum-oknum dengan menggunakan metode-metode yang sesungguhnya sangat bertentangan dengan sunatullah saya tegaskan disini bahwa itu semua bukan metode yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam melakukan dakwahnya. Dan sangat sangat bertentangan dengan Hukum Islam sendiri dimana berdampak pada salah tafsir terhadap umat seolah olah Islam adalah agama radikal selalu menggunakan kekerasan. Hal demikian saya selalu bertanya Tanya tentang kelompok semacam ini siapa mereka ? tujuannya apa ? dan saya berfikir bahwa apa yang dilakukan oleh mereka sesungguhnya memperburuk citra Islam dikalangan umat. Kehancuran suatu umat sesungguhnya akibat dari prilaku mereka sendiri begitupula dengan kehancuran suatu bangsa sesungguhnya diakibatkan oleh tangan tangan mereka sendiri. Adakah misi penghancuran Islam dari dalam kalangan Islam sendiri ? Ini menjadi PR buat kita semua untuk mengkaji dan mengawasi gerakan gerakan semacam ini jangan sampai kita tergelincir kedalam golongan mereka.
Al Qur’an menerangkan tentang metode dakwah didalam Al Qur’an sekitar 200 ayat yang menjelaskan akan hal tersebut.Masihkah kita mengingkari ? dan masihkah kita melakukan dakwah dengan cara cara yang Munkar ? dengan cara cara Jahiliyah kita terapkan dengan metode yang seperti itu niscahya akan terjadi kerusakan dan penghancuran yang diakibatkan oleh tangan tangan kita sendiri.
3.Methode bertahap dalam penyampaian ajaran
Allah SWT tidak serta merta memberikan Al Qur’an dalam bentuk Kitab, Namun Allah SWT menurunkan Al Qur’an secara bertahap dan berdasarkan hukum-hukum alam saat itu dimana kejadian kejadian atau peristiwa yang terjadi saat itu dari apa yang dihadapi oleh nabi dalam melakukan dakwahnya ditengah tengah kaum Jahiliyah. Dakwah Islam telah merubah dari keadaan Jahiliyah yang materialistis kearah keadaan yang penuh dengan nilai-nilai humanism yang tentunya bertentangan dengan keadaan sebenarnya atau merubah tingkah laku yang tidak manusiawi kepada tingkah laku yang manusiawi secara bertahap atau pelan pelan tidak dengan perubahan yang sangat drastic yaitu dengan loncataan perubahan secara total.
Dakwah Islam adalah untuk mengajak orang untuk beriman kepada Allah SWT menerima kebenaran dan melaksanakan ajaran kebenaran tersebut dalam prilaku dan tindakannya kepada sesame manusia. Dan perlu kita sadari bahwa masalah keimanan adalah suatu kesadaran pribadi dan tidak ada paksaan sedikitpun demikian Allah SWT berfirman didalam Al Qur’an seperti yang dijelaskan diatas. Maka dari itu dakwah Islam dilakukan secara bertahap.
Berikut adalah ayat Allah SWT yang menyebutkan bahwa Dakwah Islam diterapkan secara bertahap dalam dakwah Rasulullah pernah mendapatkan suatu pertanyaan dari kaum Quraish.
Diterangkan Allah menjawab permintaan kaum kafir makkah agar Al Qur’an diturunkan sekaligus hal tersebut tertera didalam Q.S Al Isra ayat 106-107
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا ﴿ ١٠٦﴾
waqur-aanan faraqnaahu litaqra-ahu 'alaa alnnaasi 'alaa muktsin wanazzalnaahu tanziilaan
[17:106] Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.
قُلْ آمِنُوا بِهِ أَوْ لَا تُؤْمِنُوا ۚ إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا ﴿ ١٠٧﴾
qul aaminuu bihi aw laa tu/minuu inna alladziina uutuu al'ilma min qablihi idzaa yutlaa 'alayhim yakhirruuna lil-adzqaani sujjadaan
[17:107] Katakanlah: "Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud,
Dari penjelasan ayat tersebut diatas Allah pun masih memberikan kebebasan terhadap umatnya atas kebenaran Al Qur’an dan Islam. Subhanallah Allah SWT saja memberikan suatu kebebasan atas pilihan pilihannya kenapa kita harus memaksakan, bahkan mengkafirkan atau dengan memaksakan kehendak mereka dengan kekerasan Naudzubillahimindzalik.
Dari Ayat ayat Al Qur’an yang sudah dijelaskan diatas sudah lah jelas bahwa Islam bukan agama kekerasan kenapa kamu sekalian masih berbuat atas dasar agama untuk hal yang demikian itu, Tidak kah engkau sekalian merasa malu terhadap sikap Allah SWT dlm firman firmannya dengan cinta kasih dan bahasa kelembutan Allah SWT berfirman.
Jika kalaian menggunakan bahasa kekerasan tersebut sebagai jalan dakwah, lalu siapakah sebenarnya kalian itu? Tahukah kalian yang difirmankan Allah SWT dlm Al Qur’an kenapa kalian membantah pernyataan Allah SWT dengan perilaku dakwah yang demikian itu. Sesungguhnya yang demikian itu adalah karena nafsumu dan sesungguhnya kalian semua dalam keadaan tersesat. Segeralah bertaubat dan kembali kejalan yang diridhoi Allah SWT.

Ajengan Masuk Sekolah (AMS)
Pertemuan Ke 6
Kelas 4, 5, 6
Materi :
1. Dasar Sikap Jujur
2. Manfaat Sikap Jujur
3. Akibat Tidak Jujur
> Indikator Perilaku Siswa :
1. Berani Berkata Jujur
2. Berani Mengakui Kesalahan
3. Mengajak Teman Agar Bersikap Jujur
> Sumber Materi : Qur'an, Hadits, Ijma, Qias, Tarikh.
Jujur Dalam Islam dan Dalilnya
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan teladan sempurna untuk kita. Beliau memiliki akhlak atau sifat yang begitu mulia. Beberapa sifat mulia yang dimiliki oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam antara lain amanah dan jujur. Nabi Muhammad dikenal sebagai pribadi yang jujur, bahkan sejak beliau belum diangkat menjadi nabi.
Jujur, dalam Bahasa Arab dikenal dengan istilah ash shidqu atau shiddiq, memiliki arti nyata atau berkata benar. Artinya, kejujuran merupakan bentuk kesesuaian antara ucapan dan perbuatan atau antara informasi dan kenyataan. Lebih jauh lagi, kejujuran berarti bebas dari kecurangan, mengikuti aturan yang berlaku dan kelurusan hati.
Ada banyak sekali bentuk kejujuran dalam kehidupan kita sehari-hari. Sejak kecil kita pasti telah diajarkan oleh orang tua kita untuk selalu berbuat jujur dan tidak berbohong. Hal ini tentu sesuai dengan ajaran agama Islam yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi sallam sendiri.
PANDANGAN ISLAM TENTANG KEJUJURAN
Telah disebutkan sebelumnya, dalam Islam kejujuran dikenal sebagai ash shidqu. Istilah ini juga dijadikan sebagai julukan bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memiliki sifat jujur. Kejujuran, dalam Islam memiliki keutamaan tersendiri dan akan menjadi penyebab datangnya pahala dan rahmat dari Allah.
Seseorang yang memiliki sifat jujur akan memperoleh kemuliaan dan derajat yang tinggi dari Allah. Hal ini tercermin dalam firman Allah di surat al Ahzab ayat 35
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
yang artinya, “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang sidiqin (benar), laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”.
Dari ayat di atas, kita tahu bahwa jujur atau bertindak benar, termasuk dalam salah satu sifat mulia yang mendatangkan ampunan dari Allah. Tentu kita ingin termasuk orang-orang yang diampuni, maka kita pun harus bersikap jujur.
Kejujuran merupakan jalan yang lurus dan penuh keselamatan dari azab di akhirat yang keras. Bahkan, tidak hanya untuk bersikap jujur, Allah juga memerintahkan kita untuk bersama orang-orang yang jujur. Dalam surat at Taubah ayat 119, Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ Arab-Latin: Yā
ayyuhallażīna āmanuttaqullāha wa kụnụ ma'aṣ-ṣādiqīn
Terjemah Arti: ““Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang sidiqin”.
Bersama dengan orang-orang yang jujur diharapkan akan membuat kita untuk terbiasa menjaga kejujuran juga dalam diri kita.
Kebalikan dari sifat jujur adalah sifat khianat atau berbohong. Sifat ini amat dibenci oleh Allah dan termasuk dalam ciri-ciri orang yang munafik. Hal ini diungkapkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda, “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga, apabila bebicara selalu bohong, jika berjanji menyelisihi, dan jika dipercaya khianat” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Maka, jika kita ingin menjadi umat Islam yang baik dan mendapat kebaikan di dunia dan akhirat, kita harus selalu bersifat jujur.
Dalam hadis shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan menunjukkan kepada surga, dan sesungguhnya seorang laki-laki benar-benar telah jujur hingga ia di catat di sisi Allah sebagai orang jujur. Sesungguhnya kebohongan itu menunjukkan kepada kedzaliman. Dan sesungguhnya kedzaliman itu menunjukkan kepada neraka, dan sesungguhnya seorang laki-laki telah berbuat dusta hingga ia di catat disisi Allah sebagai pendusta”.
MACAM-MACAM KEJUJURAN DALAM ISLAM
Kejujuran merupakan tiang utama bagi manusia untuk menegakkan kebenaran dan segala sesuatu yang haq di muka bumi. Allah pun berfirman dalam al Quran surat al Ahzab ayat 70,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah Swt. dan ucapkanlah perkataan yang benar”.
Dalam agama Islam terdapat beberapa macam sifat jujur yang dibedakan berdasarkan penerapan sifat jujur tersebut, sebagai berikut :
> Jujur dalam niatnya atau kehendaknya, artinya seseorang terdorong untuk berbuat sesuatu atau bertindak dengan dorongan dari Allah.
> Jujur dalam ucapan, yaitu seseorang yang berkata sesuai dengan apa yang dia ketahui atau terima. Ia tidak berkata apapun, kecuali perkataan tersebut merupakan kejujuran.
> Jujur dalam perbuatan, yaitu seseorang yang beramal dengan sungguh-sungguh sesuai dengan apa yang ada dalam batinnya.
> Jujur dalam janji, artinya dia selalu menepati janji yang telah diucapkan kepada manusia. dia hanya mengucapkan janji yang dia tahu bisa dia tepati.
> Jujur sesuai kenyataan, yang berarti dia menerapkan kejujuran pada segala hal yang dia alami di hidupnya.
Sebagai manusia yang berharap meraih surga, kita harus berusaha untuk menerapkan kejujuran dalam semua hal di atas. Meskipun penerapannya pasti sungguh sulit, kita harus selalu berusaha untuk menjauhkan diri dari sifat dusta atau khianat.
Begitu banyak godaan ataupun cobaan yang mendorong kita untuk berbuat tidak jujur. Namun, kita harus ingat bahwa barang siapa yang mampu mewujudkan sifat jujur dalam segala aspek kehidupannya, maka dia akan tercatat sebagai seorang hamba yang shiddiqin dan kehidupan dunia akan membawanya ke surga di akhirat kelak.
Mewujudkan kejujuran dalam segala aspek kehidupan seperti yang disebutkan di atas secara tidak langsung akan menjauhkan kita dari perbuatan-perbuatan yang dilarang. Misalnya, dia tidak akan bersifat riya’, karena dia jujur dengan niatnya melakukan sesuatu yang hanya mencari ridha Allah. Dia juga akan menjauh dari ghibah atau perbuatan fitnah, karena dia jujur dengan ucapannya yang tidak akan berbohong, apalagi jika menyangkut orang lain. Masih banyak lagi manfaat berbuat jujur yang bisa menyelamatkan kita dari perbuatan yang dosa.
PAHALA UNTUK ORANG YANG JUJUR
Telah kita bahas sejak awal bahwa kejujuran bisa membawa kita ke dalam ampunan Allah subhanahu wa ta’ala. Tentu hal ini merupakan keinginan semua manusia. namun, apakah hanya itu saja balasan bagi orang-orang yang bersifat jujur? Berikut ini akan dibahas janji yang diberi oleh Allah untuk orang-orang yang menjunjung tinggi kejujuran:
Masuk surga
Hal ini tercermin dalam hadis riwayat Muslim, dimana Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian (berbuat) jujur! Sesungguhnya jujur menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan menunjukkannya ke Surga. Dan senantiasa seorang (berbuat) jujur dan menjaga kejujurannya hingga ditulis di sisi Allah sebagai Ash-Shiddiq (orang yang jujur)”.
Dekat dengan para Nabi
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam al Quran surat an Nisaa’ ayat 69,
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا
“Dan barangsiapa yang mentaati Alloh dan Rosul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Alloh, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholeh, mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya”.
Hal ini pasti merupakan impian setiap muslim, untuk bisa bersama dengan para nabi, para sahabat dan orang-orang sholeh. Ganjaran ini merupakan kenikmatan karena kita digolongkan sama derajatnya dengan orang-orang yang mulia di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
Membuat hati tenang
Tidak hanya ganjaran di akhirat, berbuat jujur ternyata juga akan membawa kenikmatan di dunia. Dengan berbuat jujur, kita akan merasakan hati yang tenang, bebas dari kekhawatiran dan rasa was-was yang tidak perlu.
Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Tinggalkanlah perkara yang meragukanmu kepada perkara yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran adalah ketenangan dan bohong adalah kecemasan”. Sungguh Allah Maha Pengasih yang telah menganugerahkan ganjaran mulia langsung di dunia untuk orang-orang yang jujur.
Menaikkan derajat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa meminta kepada Allah mati syahid dengan jujur, Allah angkat dia ke tingkatan orang-orang yang syahid”. (Baca juga: Tanda-Tanda Khusnul Khotimah)
Mendatangkan berkah
Dalam hadis riwayat Bukhari, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Penjual dan pembeli (memiliki) pilihan sebelum mereka berdua berpisah, jika berdua berkata jujur dan menjelaskan (kekurangannya) maka diberkahi jual beli mereka. Dan jika berdua menyembunyikan (kekurangan) dan berbohong maka dihapus keberkahan jual beli mereka berdua”.
Dari ganjaran yang disebutkan di atas, kita mengetahui bahwa kenikmatan yang didapat oleh orang-orang yang berbuat jujur, tidak hanya diterimanya di akhirat, namun juga diterimanya di dunia. Maka, alangkah baiknya jika kita mulai membiasakan berbuat jujur dan menjauhkan diri dari perbuatan dusta atau bohong yang menjauhkan kita dari rahmat Allah subhanahu wa ta’ala.

terimakasih atas respon anda. admin

Tidak ada komentar:

ERA TASHAWWUF SOCIETY 6.0

Sosialisasi : GENERASI BARU ABAD 21 ERA TASHAWWUF SOCIETY 6.0 (Ki Ageng Sapujagat Al Kajorani Al Jawi) > Revolusi Industri 4.0 mengg...