Pondok Pesantren Petani Nusantara Sang Cipta Rasa, Sikepis Trah Manunggal Miftahul Ikhsan, Membangun Pertanian Agribisnis SIKEPIS SIKEPIS Sistem Integrasi KEPIS : K=Kakao,Kelapa,Kambing,Kelinci,Karet,dll. E=Entog,Enau,dll. P=Padi,Pepaya,Palawija,dll. I=Itik,Ikan,dll. S=Sidat,Sapi,Sayuran,Sagu,dll. Motto : Menanam Hari Ini Untuk 100 Tahun Kedepan. Aspek Dakwah : Agama - Budaya - Agribisnis/Kemakmuran. Alamat Desa Paledah, Kec. Padaherang, Kab. Pangandaran JaBar.
Sabtu, 29 Februari 2020
Minggu, 23 Februari 2020
MATERI 7 - 12, KELAS 4,5,6 AJENGAN MASUK SEKOLAH (AMS)
Ajengan Masuk Sekolah (AMS)
Pertemuan Ke 7
Kelas 4, 5, 6
Materi :
1. Dasar Perintah Cinta Pada Kebenaran
2. Manfaat Cinta Pada Kebenaran
3. Akibat Tidak Cinta Kebenaran
> Indikator Perilaku Siswa :
1. Selalu Minta Maaf Bila Berbuat Salah
2. Memaafkan Orang Yang Menyakitinya
3. Tidak Malu Mengakui Kebenaran Orang Lain.
> Sumber Materi : Qur'an, Hadits, Ijma, Qias, Tarikh.
Pertemuan Ke 7
Kelas 4, 5, 6
Materi :
1. Dasar Perintah Cinta Pada Kebenaran
2. Manfaat Cinta Pada Kebenaran
3. Akibat Tidak Cinta Kebenaran
> Indikator Perilaku Siswa :
1. Selalu Minta Maaf Bila Berbuat Salah
2. Memaafkan Orang Yang Menyakitinya
3. Tidak Malu Mengakui Kebenaran Orang Lain.
> Sumber Materi : Qur'an, Hadits, Ijma, Qias, Tarikh.
Cinta Kepada Kebenaran adalah Fitrah
( Tafsir Surah al Hujurat :7-8 )
Allah –subhanahu wata’ala- berfirman :
وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللَّهِ لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِنَ الْأَمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ (7) فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَنِعْمَةً وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
”Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti (kemauan) mu dalam beberapa urusan, maka kamu benar-benar akan mendapat kesusahan, akan tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan Allah menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus. Sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana" (QS. Al Hujurat : 7-8)
Allah –subhanahu wata’ala- berfirman :
وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللَّهِ لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِنَ الْأَمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ (7) فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَنِعْمَةً وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
”Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti (kemauan) mu dalam beberapa urusan, maka kamu benar-benar akan mendapat kesusahan, akan tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan Allah menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus. Sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana" (QS. Al Hujurat : 7-8)
Makna Ayat :
Ayat ini turun kepada para shahabat nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk mengingatkan mereka tentang keberadaan Rasulullah di tengah-tengah mereka.
Ayat ini turun kepada para shahabat nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk mengingatkan mereka tentang keberadaan Rasulullah di tengah-tengah mereka.
Berkata Syeikh Nashir as Si’di -rahimahullah- : ”Agar kalian wahai sahabat mengetahui bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- berada ditengah-tengah kalian. Dia adalah Rasul yang mulia, seorang yang berbuat baik, memberi petunjuk, serta menginginkan kebaikan untuk kalian dan memberi nasihat kepada kalian padahal kalian menghendaki kejelekan dan bahaya terhadap diri kalian yang tidak disetujui oleh Rasulullah” (Taisir kalimirrahman hal 800)
Itulah sifat Rasulullah yang patut kita ketahui agar kita mengagungkan beliau, beradab dengannya, serta mentaati perintahnya. Kenapa ?
Kata Imam ibnu katsir -rahimahullah- :”karena beliau –shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah orang yang paling mengetahui apa yang baik untuk kita, dan orang yang paling penyanyang kepada kita daripada kita sendiri. Pendapat beliau –shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang kita lebih sempurna daripada pendapat kita sendiri.
Kata Imam ibnu katsir -rahimahullah- :”karena beliau –shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah orang yang paling mengetahui apa yang baik untuk kita, dan orang yang paling penyanyang kepada kita daripada kita sendiri. Pendapat beliau –shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang kita lebih sempurna daripada pendapat kita sendiri.
Allah berfirman :
لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِّنَ الأمر لَعَنِتُّمْ
“Kalau ia menuruti (kemauan) mu dalam beberapa urusan, maka kamu benar-benar akan mendapat kesusahan”(QS. Al Hujurat : 7)
لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِّنَ الأمر لَعَنِتُّمْ
“Kalau ia menuruti (kemauan) mu dalam beberapa urusan, maka kamu benar-benar akan mendapat kesusahan”(QS. Al Hujurat : 7)
Maksudnya jika Rasulullah mengikuti semua kemauan kalian, maka itu akan mengantarkan kepada kesulitan dan kesusahan. Sebagaimana firman Allah –ta’ala- :
وَلَوِ اتبع الحق أَهْوَآءَهُمْ لَفَسَدَتِ السماوات والأرض وَمَن فِيهِنَّ
“Andaikata kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya” (QS. Al Mu’minun : 71)
(Lihat kitab Taisiirul ‘Aliy al Qadiir Likhtishar tafsir Ibni Katsir hal. 2382)
وَلَوِ اتبع الحق أَهْوَآءَهُمْ لَفَسَدَتِ السماوات والأرض وَمَن فِيهِنَّ
“Andaikata kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya” (QS. Al Mu’minun : 71)
(Lihat kitab Taisiirul ‘Aliy al Qadiir Likhtishar tafsir Ibni Katsir hal. 2382)
Jadi jika sesorang menuruti hawa nafsunya dan tidak mau menudukkan hawa nafsunya kepada perinta Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan di timpa kesulitan, kesedihan, kegalauan, dan tentunya kesesatan.
Kemudian Allah berfirman :
وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ
“akan tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan Allah menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan” (QS. Al Hujurat : 7)
وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ
“akan tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan Allah menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan” (QS. Al Hujurat : 7)
Allah menjadikan para sahabat dan orang-orang beriman cinta kepada keimanan. Keimanan kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Ini disebabkan Allah –ta’ala- telah menjadikan iman itu indah dalam hati orang beriman. Allah menanamkan bibit cinta kepada kebenaran dan mendahulukan kebenaran daripada yang lain. Iman itu indah dan manis bagi mereka yang diberi taufiq untuk merasakannya. Sebagaimana sabda Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- dari Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu- bahwa Rasulullah bersabda :
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ ، وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ ؛ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga perkara yang barangsiapa memilikinya, maka ia akan merasakan manisnya iman. Yaitu jika ia menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selainnya, dan ia mencintai seseorang yang ia tidak cintai kecuali karena Allah, serta ia tidak senang kembali kepada kekufuran sebagaimana ia benci dilemparkan ke dalam neraka” (HR. Bukhari)
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ ، وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ ؛ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga perkara yang barangsiapa memilikinya, maka ia akan merasakan manisnya iman. Yaitu jika ia menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selainnya, dan ia mencintai seseorang yang ia tidak cintai kecuali karena Allah, serta ia tidak senang kembali kepada kekufuran sebagaimana ia benci dilemparkan ke dalam neraka” (HR. Bukhari)
Itulah fitrah manusia yang Allah tanamkan kepada hati-hati manusia, yakni suka kepada kebenaran dan mencintainya. Jika manusia tidak dipengaruhi oleh syaithan dan hawa nafsunya, maka manusia akan selalu berada dalam fithtrahnya. Sebagaimana Firman Allah :
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama yang lurus; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. arRum : 30)
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama yang lurus; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. arRum : 30)
Dan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda :
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Tidaklah seorang anak kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya orang Yahudi, Nashrani, atau Majusi” (HR. Bukhari)
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Tidaklah seorang anak kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya orang Yahudi, Nashrani, atau Majusi” (HR. Bukhari)
Fitrah adalah Islam, yaitu manusia diciptakan dalam keadaan berada diatas fitrahnya. Dan diantara fitrah yang Allah tanamkan ke dalam hati manusia adalah mencintai kebenaran. Berkata Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- :”Allah -subhanahu wa ta’ala- menciptakan hamba-Nya diatas fitrah, dimana dalam fitrah itu ada kebenaran lalu ia benarkan, mengetahui kebatilan lalu ia dustakan, mengetahui perkara yang bermanfaat dan mencintainya, serta mengetahui bahaya dan membencinya. Dan ia mengenalnya dengan fitrahnya (Kitab Dar u ta’arudil ‘aqli wan naqli 8 : 463)
Lalu Allah –subhanahu wata’la- melanjutkan firman-Nya :
أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ (7) فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَنِعْمَةً وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (8)
“Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus. Sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. Al Hujurat : 7-8)
أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ (7) فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَنِعْمَةً وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (8)
“Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus. Sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. Al Hujurat : 7-8)
Mereka yang telah Allah hiasi hatinya dengan keimanan, lalu ia mencintai keimanan tersebut, dan Allah menjadikan mereka benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan, mereka itu adalah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus. Yaitu jalan yang menjadikan ilmu dan amal mereka menjadi benar sehingga mereka istiqamah di atas agama dan jalan yang lurus.
Dan lawannya adalah orang-orang yang melampaui batas, yaitu orang-orang yang Allah jadikan ia mencintai kekufuran, perbuatan fasiq, dan dosa. Dan dosa itu adalah dosa mereka. Karena ketika mereka berbuat fasiq, maka Allah mencap hati mereka (dengan kefasikan). Allah berfirman :
فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“maka ketika mereka berpaling, maka Allah memalingkan hati-hati mereka. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasiq” (QS. Ash Shaf : 5)
فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“maka ketika mereka berpaling, maka Allah memalingkan hati-hati mereka. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasiq” (QS. Ash Shaf : 5)
Jadi ketika mereka tidak beriman kepada kebenaran yang datang kepada mereka pertama kali (mereka mendengarnya), maka Allah membalik hati-hati mereka sehingga mencintai kesesatan.
Lalu firman Allah :
فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَنِعْمَةً وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (8)
“Sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. Al Hujurat : 8)
Maksudnya, itulah kebaikan yang mereka dapatkan karena keutamaan dan kebaikan dari Allah kepada mereka, bukan dikarenakan kemampuan mereka atau kekuatan mereka untuk mendapat hidayah. Jadi Allah melakukan itu semua sebagai keutamaan dan kenikmatan.
فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَنِعْمَةً وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (8)
“Sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. Al Hujurat : 8)
Maksudnya, itulah kebaikan yang mereka dapatkan karena keutamaan dan kebaikan dari Allah kepada mereka, bukan dikarenakan kemampuan mereka atau kekuatan mereka untuk mendapat hidayah. Jadi Allah melakukan itu semua sebagai keutamaan dan kenikmatan.
Dan Allah Maha mengetahui, yaitu mengetahui siapa yang berhak mendapat hidayah dan siapa yang berhak mendapat kesesatan. Dan Maha Bijaksana, bijaksana dalam firman-Nya, perbuatan-Nya, dalam Syari’at-Nya, serta taqdir-Nya.
Ajengan Masuk Sekolah (AMS)
Pertemuan Ke 8
Kelas 4, 5, 6
Materi :
1. Dasar Sikap Adil
2. Manfaat Sikap Adil
3. Akibat Tidak Adil.
> Indikator Perilaku Siswa :
1. Adil Memperlakukan Teman
2. Berani Menyuarakan Ketidak Adilan
3. Mengajak Teman Agar Bersikap Adil.
> Sumber Materi : Qur'an, Hadits, Ijma, Qias, Tarikh.
Pertemuan Ke 8
Kelas 4, 5, 6
Materi :
1. Dasar Sikap Adil
2. Manfaat Sikap Adil
3. Akibat Tidak Adil.
> Indikator Perilaku Siswa :
1. Adil Memperlakukan Teman
2. Berani Menyuarakan Ketidak Adilan
3. Mengajak Teman Agar Bersikap Adil.
> Sumber Materi : Qur'an, Hadits, Ijma, Qias, Tarikh.
Allah Perintahkan Kita untuk Berlaku Adil
ADA perkara yang kita anggap biasa dan sepele namun ternyata itu termasuk kezaliman yang sangat besar. Sebaliknya bisa jadi sesuatu yang kita anggap sebagai nilai keadilan yang sangat tinggi tapi ternyata masih ada keadilan lain yang lebih tinggi dan lebih berhak untuk dibela.
Allah Memerintahkan Kita untuk Berbuat Adil
Di dalam Al-Qur’an Allah menyatakan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil. Berbuat adillah karena ia lebih mendekati ketakwaan. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Maa’idah: 8)
Di dalam Al-Qur’an Allah menyatakan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil. Berbuat adillah karena ia lebih mendekati ketakwaan. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Maa’idah: 8)
“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang menegakkan kebenaran, menjadi saksi karena Allah” Syaikh Abu Bakar Al Jazaa’iri hafizhahullah mengatakan, “Artinya (Allah memerintahkan untuk) menegakkan keadilan dalam hal hukum dan persaksian…” (Nidaa’atur Rahman, hal. 86)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan, “…Setiap kali kalian bersemangat menegakkan keadilan dan bersungguh-sungguh untuk menerapkannya maka hal itu akan membuat kalian semakin lebih dekat kepada ketakwaan hati. Apabila keadilan diterapkan dengan sempurna maka ketakwaan pun menjadi sempurna.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 224)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan tentang hakikat keadilan. Beliau menerangkan bahwa makna adil adalah menunaikan hak kepada setiap pemiliknya. Atau bisa juga diartikan dengan mendudukkan setiap pemilik kedudukan pada tempat yang semestinya (silakan lihat Huquuq Da’at Ilaihal Fithrah wa Qararat Haa Asy Syari’ah, hal. 9)
Dengan demikian inti pengertian adil ialah masalah hak dan kedudukan. Segala sesuatu memiliki hak dan kedudukan.
Sampai orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin pun memiliki hak keamanan di dalam Islam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa membunuh orang kafir mu’ahad maka tidak akan bisa mencium aroma surga.” (HR. Bukhari).
Sampai orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin pun memiliki hak keamanan di dalam Islam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa membunuh orang kafir mu’ahad maka tidak akan bisa mencium aroma surga.” (HR. Bukhari).
Hukum Tidak Adil Dalam Islam dan Dalilnya
Islam mengajarkan umatnya untuk memiliki dan meneladani setiap sifat Rasulullah SAW sebagaimana kisah teladan nabi Muhammad. Dan salah satu sifat Rasul yang patut kita teladani adalah mampu bersikap adil. Adil ialah mampu menempatkan segala sesuatunya tepat pada tempatnya. Allah juga telah menyerukan tentang menjadi adil dalam Al Quran.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ بِٱلْقِسْطِ شُهَدَآءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمْ أَوِ ٱلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ ۚ إِن يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَٱللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلْهَوَىٰٓ أَن تَعْدِلُوا۟ ۚ وَإِن تَلْوُۥٓا۟ أَوْ تُعْرِضُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (Q. S. An Nisa: 135)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ بِٱلْقِسْطِ شُهَدَآءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمْ أَوِ ٱلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ ۚ إِن يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَٱللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلْهَوَىٰٓ أَن تَعْدِلُوا۟ ۚ وَإِن تَلْوُۥٓا۟ أَوْ تُعْرِضُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (Q. S. An Nisa: 135)
Bersifat adil dalam Islam dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yakni :
> Berlaku adil kepada Allah SWT, yakni menjadikan Allah satu-satunya Tuhan yang memiliki kesempurnaan dengan mengikuti setiap perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
> Berlaku adil terhadap diri sendiri, yakni menempatkan diri pribadi pada tempat yang baik dan benar. Diri kita harus terjaga dan terpelihara dalam kebaikan dan keselamatan, tidak menganiaya diri sendiri dengan menuruti hawa nafsu yang akibatnya dapat mencelakakan diri sendiri.
> Berlaku adil terhadap orang lain, yakni menempatkan orang lain pada tempat dan perilaku yang sesuai, layak, benar memberikan hak orang lain dengan jujur dan benar serta tidak menyakiti dan merugikan orang lain sebagaimana diri kita ingin diperlakukan.
> Berlaku adil terhadap makhluk lain, yakni memberlakukan makhluk Allah SWT yang lain dengan layak dan sesuai dengan syariat Islam dan menjaga kelestarian dengan merawat dan menjaga kelangsungan dengan tidak merusaknya. Misalnya tidak mengganggu dan menyakiti hewan maupun tanaman di sekitar kita.
> Berlaku adil kepada Allah SWT, yakni menjadikan Allah satu-satunya Tuhan yang memiliki kesempurnaan dengan mengikuti setiap perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
> Berlaku adil terhadap diri sendiri, yakni menempatkan diri pribadi pada tempat yang baik dan benar. Diri kita harus terjaga dan terpelihara dalam kebaikan dan keselamatan, tidak menganiaya diri sendiri dengan menuruti hawa nafsu yang akibatnya dapat mencelakakan diri sendiri.
> Berlaku adil terhadap orang lain, yakni menempatkan orang lain pada tempat dan perilaku yang sesuai, layak, benar memberikan hak orang lain dengan jujur dan benar serta tidak menyakiti dan merugikan orang lain sebagaimana diri kita ingin diperlakukan.
> Berlaku adil terhadap makhluk lain, yakni memberlakukan makhluk Allah SWT yang lain dengan layak dan sesuai dengan syariat Islam dan menjaga kelestarian dengan merawat dan menjaga kelangsungan dengan tidak merusaknya. Misalnya tidak mengganggu dan menyakiti hewan maupun tanaman di sekitar kita.
Hukum tidak adil dalam Islam adalah dilarang karena telah jelas perintah untuk berbuat adil kepada siapa pun dan kapan pun.
إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا۟ ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعًۢا بَصِيرًا
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q. S. An Nisa: 58)
إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا۟ ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعًۢا بَصِيرًا
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q. S. An Nisa: 58)
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda,” Ada tujuh golongan yang dinaungi Allâh dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya:
(1) Pemimpin yang adil,
(2) seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allâh,
(3) seorang yang hatinya bergantung ke masjid,
(4) dua orang yang saling mencintai di jalan Allâh, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya,
(5) seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allâh.’ Dan
(6) seseorang yang bershadaqah dengan satu shadaqah lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan tangan kanannya, serta
(7) seseorang yang berdzikir kepada Allâh dalam keadaan sepi lalu ia meneteskan air matanya.” (HR Bukhari Muslim)
فَلِذَٰلِكَ فَٱدْعُ ۖ وَٱسْتَقِمْ كَمَآ أُمِرْتَ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ ۖ وَقُلْ ءَامَنتُ بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِن كِتَٰبٍ ۖ وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ ۖ ٱللَّهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ ۖ لَنَآ أَعْمَٰلُنَا وَلَكُمْ أَعْمَٰلُكُمْ ۖ لَا حُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ ۖ ٱللَّهُ يَجْمَعُ بَيْنَنَا ۖ وَإِلَيْهِ ٱلْمَصِيرُ
Artinya: “Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: “Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nya-lah kembali (kita)”. (Q. S. Asy Syuura: 15)
(1) Pemimpin yang adil,
(2) seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allâh,
(3) seorang yang hatinya bergantung ke masjid,
(4) dua orang yang saling mencintai di jalan Allâh, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya,
(5) seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allâh.’ Dan
(6) seseorang yang bershadaqah dengan satu shadaqah lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan tangan kanannya, serta
(7) seseorang yang berdzikir kepada Allâh dalam keadaan sepi lalu ia meneteskan air matanya.” (HR Bukhari Muslim)
فَلِذَٰلِكَ فَٱدْعُ ۖ وَٱسْتَقِمْ كَمَآ أُمِرْتَ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ ۖ وَقُلْ ءَامَنتُ بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِن كِتَٰبٍ ۖ وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ ۖ ٱللَّهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ ۖ لَنَآ أَعْمَٰلُنَا وَلَكُمْ أَعْمَٰلُكُمْ ۖ لَا حُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ ۖ ٱللَّهُ يَجْمَعُ بَيْنَنَا ۖ وَإِلَيْهِ ٱلْمَصِيرُ
Artinya: “Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: “Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nya-lah kembali (kita)”. (Q. S. Asy Syuura: 15)
Rasul juga telah memerintahkan untuk berbuat adil karena orang yang adil adalah orang yang mendapatkan keberuntungan. Rasulullah SAW bersabda: “sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil di sisi Allah akan berada di pundak cahaya di sebelah kanannya, yaitu orang yang adil adalah mereka yang berlaku adil dalam mengambil keputusan hukum dan berlaku adil dalam mengambil keputusan hukum dan berlaku adil terhadap sesuatu yang diamanatkan kepadanya.” (H.R. Muslim)
Bagitu pula dengan hukuman bagi mereka yang melakukan perbuatan dosa atau terlarang. Maka diwajibkan untuk berlaku adil kepada siapa pun pelakunya.
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَآ أَنَّ ٱلنَّفْسَ بِٱلنَّفْسِ وَٱلْعَيْنَ بِٱلْعَيْنِ وَٱلْأَنفَ بِٱلْأَنفِ وَٱلْأُذُنَ بِٱلْأُذُنِ وَٱلسِّنَّ بِٱلسِّنِّ وَٱلْجُرُوحَ قِصَاصٌ ۚ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِۦ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهُۥ ۚ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ
Artinya: “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (Q. S. Al Maidah: 45)
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَآ أَنَّ ٱلنَّفْسَ بِٱلنَّفْسِ وَٱلْعَيْنَ بِٱلْعَيْنِ وَٱلْأَنفَ بِٱلْأَنفِ وَٱلْأُذُنَ بِٱلْأُذُنِ وَٱلسِّنَّ بِٱلسِّنِّ وَٱلْجُرُوحَ قِصَاصٌ ۚ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِۦ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهُۥ ۚ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ
Artinya: “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (Q. S. Al Maidah: 45)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَـَٔانُ قَوْمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ ۚ ٱعْدِلُوا۟ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q. S. Al Maidah: 8)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q. S. Al Maidah: 8)
Ajengan Masuk Sekolah (AMS)
Pertemuan Ke 9
Kelas 4, 5, 6
> Materi :
1. Dasar Perintah Anti Korupsi
2. Manfaat Anti Korupsi
3. Akibat Korupsi.
Pertemuan Ke 9
Kelas 4, 5, 6
> Materi :
1. Dasar Perintah Anti Korupsi
2. Manfaat Anti Korupsi
3. Akibat Korupsi.
> Indikator Perilaku Siswa :
1. Mampu Menahan Keinginan Yang Tidak Perlu
2. Tidak Suka Mencuri
3. Malu Bila Berbuat Korupsi.
1. Mampu Menahan Keinginan Yang Tidak Perlu
2. Tidak Suka Mencuri
3. Malu Bila Berbuat Korupsi.
> Sumber Materi : Qur'an, Hadits, Ijma, Qias, Tarikh.
Pendidikan Anti Korupsi dalam Al-Qur’an
Pemberantasan korupsi bukanlah suatu pekerjaan yang mudah untuk dilakukan, khususnya di Indonesia. Jika ditinjau dari beberapa penyebab yang ada, maka pemberantasan dan pencegahannya pun harus dilakukan tindakan yang serius, dan kerja sama yang baik antara pemerintah, aparat penegak hukum dan seluruh masyarakat untuk bersama-sama memberantas korupsi.
Dalam hal ini, perlu kiranya mencari landasan teologis mengenai Korupsi agar masyarakat memiliki kesadaran untuk menghindarinya. Meskipun faktanya tidak sedikit pelaku korupsi adalah orang yang memahami agama.
Di dalam Al-Qur’an ada beberapa ayat yang berkaitan dengan korupsi. Salah satunya yang tercantum di dalam QS. Ali Imran 161:
وَمَا كَانَ لِنَبِىٍّ أَنْ يَغُلَّ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ ٱلْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ
“Dan tidak mungkin seorang Nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barangsiapa berkhianat, niscaya pada hari kiamat dia akan membawa apa yang dikhianatkannya itu. Kemudian setiap orang akan diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi.”
وَمَا كَانَ لِنَبِىٍّ أَنْ يَغُلَّ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ ٱلْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ
“Dan tidak mungkin seorang Nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barangsiapa berkhianat, niscaya pada hari kiamat dia akan membawa apa yang dikhianatkannya itu. Kemudian setiap orang akan diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi.”
Dalam ayat tersebut ada poin yang dapat diambil;
> Pertama, pentingnya mengetahui teori tentang korupsi. Banyak membaca, mempelajari Al-Qur’an, mengetahui korupsi ; sebab, akibat maupun jenisnya.
> Kedua, menanamkan kejujuran dan keadilan. Tidak menggunakan kekuasaan untuk korupsi.
> Ketiga, pembentukan karakter anti korupsi. Segala usaha menjaga diri agar tidak terjerumus dalam korupsi (Tazkiyah).
> Keempat, keseimbangan antara balasan dan perbuatan merupakan aturan ilahi.
> Kelima, pendidikan dengan hikmah dan terakhir kembali kepada Al-Qur’an sebagai pedoman utama kehidupan.
> Pertama, pentingnya mengetahui teori tentang korupsi. Banyak membaca, mempelajari Al-Qur’an, mengetahui korupsi ; sebab, akibat maupun jenisnya.
> Kedua, menanamkan kejujuran dan keadilan. Tidak menggunakan kekuasaan untuk korupsi.
> Ketiga, pembentukan karakter anti korupsi. Segala usaha menjaga diri agar tidak terjerumus dalam korupsi (Tazkiyah).
> Keempat, keseimbangan antara balasan dan perbuatan merupakan aturan ilahi.
> Kelima, pendidikan dengan hikmah dan terakhir kembali kepada Al-Qur’an sebagai pedoman utama kehidupan.
Dalam ayat lain Allah berfirman:
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِن جَآءُوكَ فَٱحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ وَإِن تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَن يَضُرُّوكَ شَيْئاً وَإِنْ حَكَمْتَ فَٱحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِٱلْقِسْطِ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram (Seperti uang sogokan dan sebagainya). Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.”
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِن جَآءُوكَ فَٱحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ وَإِن تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَن يَضُرُّوكَ شَيْئاً وَإِنْ حَكَمْتَ فَٱحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِٱلْقِسْطِ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram (Seperti uang sogokan dan sebagainya). Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.”
Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan al–suht adalah harta haram. Ibn Khuzaim Andad, seperti yang dikutip oleh Al-Qurthubi, menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan al-suht adalah bila seseorang makan karena kekuasaanya. Itu lantaran dia memiliki jabatan di sisi penguasa, kemudian seseorang meminta sesuatu keperluan kepadanya, namun dia tidak mau memenuhi kecuali dengan adanya suap (risywah) yang dapat diambilnya.
Jika kembali dicermati, ayat tersebut menjelaskan praktek korupsi seperti yang terjadi pada konteks kekinian.
Adapun isyarat pendidikan anti korupsi dari ayat tersebut adalah tentang pentingnya mengetahui indikasi kebohongan yang dilakukan para koruptor untuk mengamankan perkara mereka. Seperti upaya orang-orang Yahudi dalam mempermainkan hukum sesuai kepentingan mereka, bahkan memojokkan Rasulullah sebagai hakim sebagaimana dalam ayat tersebut.
Berikutnya menumbuhkan rasa percaya diri dan keimanan kepada Allah (spiritual question) kecerdasan spiritual. Meyakini tidak akan hancur dan jatuh apabila meninggalkan korupsi.
Biasanya ketika seseorang sudah merasa ketakutan akan kehilangan jabatan ataupun pengaruhnya, selalu berusaha menutupinya walaupun harus menyuap mahal untuk.
Dalam ayat lain Allah Swt juga berfirman dalam Q.S. al-Maidah (5) ayat 38
وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقْطَعُوۤاْ أَيْدِيَهُمَا جَزَآءً بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِّنَ ٱللَّهِ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقْطَعُوۤاْ أَيْدِيَهُمَا جَزَآءً بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِّنَ ٱللَّهِ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan sebuah riwayat yang bersumber dari Abdullah bin Amr, ia mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan seorang wanita yang mencuri maka datanglah orang yang kecurian itu dan berkata pada Nabi saw. “Wahai Nabi, wanita ini telah mencuri perhiasan kami.”
Maka wanita itu berkata “Kami akan menebus curiannya.” Nabi bersabda, “Potonglah tangannya!” Kaumnya berkata, “Kami akan menebusnya dengan lima ratus dinar.” Maka Nabi Saw. pun bersabda, “Potonglah tangannya!” Maka dipotonglah tangan kanannya. Kemudian wanita itu bertanya. “Ya Rasul, apakah ada jalan untuk aku bertobat?” Jawab Nabi saw, “Engkau kini telah bersih dari dosamu sebagaimana engkau lahir dari perut ibumu”. Kemudian turunlah ayat tersebut.
Maka wanita itu berkata “Kami akan menebus curiannya.” Nabi bersabda, “Potonglah tangannya!” Kaumnya berkata, “Kami akan menebusnya dengan lima ratus dinar.” Maka Nabi Saw. pun bersabda, “Potonglah tangannya!” Maka dipotonglah tangan kanannya. Kemudian wanita itu bertanya. “Ya Rasul, apakah ada jalan untuk aku bertobat?” Jawab Nabi saw, “Engkau kini telah bersih dari dosamu sebagaimana engkau lahir dari perut ibumu”. Kemudian turunlah ayat tersebut.
Dari ayat tersebut memberikan pelajaran tentang pentingnya penegakan hukum yang adil dan tegas. Selain itu juga perlu membangun kekuatan iman sehingga tidak tergoda dengan limpahan harta untuk mengkhianati hukum tersebut. Rasulullah bersabda: “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun, keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan Engkau lemah.
Kekuatan yang dimaksud dalam hal ini adalah kekuatan iman, kekuatan dalam menjaga ketaatan kepada Allah, menjauhi larangannya. Menjaga diri dalam memperoleh yang halal dan menjauhi haram. Kekuatan iman akan mendorong seseorang mampu menghadapi godaan nafsu-setan; menahan diri dari berbuat maksiat; menahan diri dari perbuatan sia-sia; dan menahan diri dari pebuatan yang merugikan orang lain seperti korupsi.
Kekuatan iman mendorong seseorang mampu membaca situasi dan kondisi dengan benar. Kekuatan iman membuat pemiliknya mampu membaca tipu-daya musuh-musuh Allah terhadap umat Islam. Kekuatan iman pula yang menjadikan seseorang tidak takut kepada siapa pun selain Allah.
Ayat ini juga mengajarkan tentang pentingnya tazkiyatun nafs. Pembersihan diri. Baik dari sendiri, dengan berani mengakui kesalahan dan menerima hukuman. Ataupun dari orang lain, ketika hukum telah dilaksanakan dan orang yang bersangkutan mau bertaubat, maka patut untuk dihargai, sebagaimana Rasulullah berkata kepada perempuan tersebut : “Engkau kini telah bersih dari dosamu sebagaimana engkau lahir dari perut ibumu”.
Pesan terakhir ayat ini adalah agar umat Islam menyiapkan generasi berkarakter kuat (perkasa) dan bijaksana dalam menghadapi segala persoalan. Karena itulah Allah menutup ayat yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap pencuri yang berusaha menyuap tersebut.
Ajengan Masuk Sekolah (AMS)
Pertemuan Ke 10
Kelas 4, 5, 6
> Materi :
1. Dasar Perintah Sikap Tanggungjawab
2. Manfaat Sikap Tanggungjawab
3. Akibat Tidak Bertanggungjawab
Pertemuan Ke 10
Kelas 4, 5, 6
> Materi :
1. Dasar Perintah Sikap Tanggungjawab
2. Manfaat Sikap Tanggungjawab
3. Akibat Tidak Bertanggungjawab
> Indikator Perilaku Siswa :
1. Selalu Melakukan Tugas Dengan Baik
2. Berani Menanggung Resiko
3. Berani Bertanggungjawab.
1. Selalu Melakukan Tugas Dengan Baik
2. Berani Menanggung Resiko
3. Berani Bertanggungjawab.
> Sumber Materi : Qur'an, Hadits, Ijma, Qias, Tarikh.
Ayat Al-Quran Tentang Tanggung Jawab
Tanggung jawab adalah perbuatan dimana seseorang berani menanggung apa yang telah diucapkan dan dilakukan. Sikap tanggung jawab ini tentunya sangat penting bagi kehidupan di dunia, baik dalam hal beribadah ataupun hubungan sosial. Tanpa adanya rasa tanggung jawab maka sudah pasti kehidupan akan berantakan.
Islam sendiri juga mengajarkan kita untuk mengutamakan sikap tanggung jawab. Hal ini terbukti dari banyaknya ayat-ayat Al-Quran yang membahas konsep tanggung jawab. Mulai dari tanggung jawab manusia terhadap Sang Khalik, tanggung jawab terhadap orang tua, pasangan, dan sesama muslim lainnya.
Untuk lebih lengkapnya, berikut ayat Al-Quran tentang tanggung jawab.
Untuk lebih lengkapnya, berikut ayat Al-Quran tentang tanggung jawab.
An-Naml ayat 18
حَتَّىٰ إِذَا أَتَوْا عَلَىٰ وَادِ النَّمْلِ قَالَتْ نَمْلَةٌ يَا أَيُّهَا النَّمْلُ ادْخُلُوا مَسَاكِنَكُمْ لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمَانُ وَجُنُودُهُ وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ
حَتَّىٰ إِذَا أَتَوْا عَلَىٰ وَادِ النَّمْلِ قَالَتْ نَمْلَةٌ يَا أَيُّهَا النَّمْلُ ادْخُلُوا مَسَاكِنَكُمْ لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمَانُ وَجُنُودُهُ وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ
“Hingga apabila mereka (rombongan Nabi Sulaiman) sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari” (QS.an-Naml:18)
Ayat diatas membahas tentang seekor semut yang berseru kepada teman-temannya untuk berlindung dari bahaya. Ayat ini mengajarkan kepada kita tentang sikap tanggung jawab terhadap sesama manusia untuk saling mengingatkan dalam kebaikan dan keselamatan.
Ash-Shaffat ayat 102
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قالَ يا بُنَيَّ إِنِّي أَرى فِي الْمَنامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ ما ذا تَرى قالَ يا أَبَتِ افْعَلْ ما تُؤْمَرُ سَتَجِدُني إِنْ شاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرينَ
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (QS.ash-Shaffat:102)
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قالَ يا بُنَيَّ إِنِّي أَرى فِي الْمَنامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ ما ذا تَرى قالَ يا أَبَتِ افْعَلْ ما تُؤْمَرُ سَتَجِدُني إِنْ شاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرينَ
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (QS.ash-Shaffat:102)
Ayat diatas menjelaskan tentang bagaimana Nabi Ibrahim a.s mengajarkan sikap tanggung jawab terhadap anaknya, Ismail a.s. Beliu menanyakan bagaimana pendapat Ismail tentang mimpinya. Lalu Ismail memilih menuruti perintah Allah Ta’ala yang mana Ia berarti memiliki rasa tanggung jawab terhadap Sang Maha Kuasa.
Al Mudtastsir ayat 38
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
“Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya” (QS. Al-Mudatstsir: 38)
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
“Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya” (QS. Al-Mudatstsir: 38)
Yaasiin ayat 12
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Yaasiin 12).
Ayat ini juga menunjukkan bagaimana nanti di akhirat Allah Ta’ala menunjukkan catatan perbuatan manusia di dunia. Dan perbuatan mereka akan dimintai pertanggung jawaban.
Az-zariyat ayat 19
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian.” (QS. Az zariyat: 19)
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian.” (QS. Az zariyat: 19)
Ayat ini mengajarkan kita untuk bersedekah kepada orang-orang yang membutuhkan. Sebab dalam harta kita terdapat bagian (hak) bagi kaum miskin.
Al Baqarah ayat 195
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Baqarah: 195)
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Baqarah: 195)
Ayat ini menjelaskan tentang tanggung jawab manusia untuk bersedekah.
At-Taubah ayat 60
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60)
Ayat diatas menjelaskan tentang orang-orang yang berhak menerima zakat.
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60)
Ayat diatas menjelaskan tentang orang-orang yang berhak menerima zakat.
Al-Maidah ayat 38-39
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barang siapa bertobat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Maidah: 38-39)
Ayat diatas menjelasakan tentang sikap orang-orang yang gemar mencuri, mereka harus mempertanggung jawabkan perbutannya dengan menerima hukuman dipotong tanganya.
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barang siapa bertobat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Maidah: 38-39)
Ayat diatas menjelasakan tentang sikap orang-orang yang gemar mencuri, mereka harus mempertanggung jawabkan perbutannya dengan menerima hukuman dipotong tanganya.
Al Imran ayat 159
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS.Al-Imran: 159)
Ayat diatas menjelaskan tentang sikap seorang mukmin yang sebaiknya berlaku lemah lembut, memaafkan dan mengutmakan musyarawarah dalam mengambil keputusan.
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS.Al-Imran: 159)
Ayat diatas menjelaskan tentang sikap seorang mukmin yang sebaiknya berlaku lemah lembut, memaafkan dan mengutmakan musyarawarah dalam mengambil keputusan.
An-Nisa’ ayat 59
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’ : 59)
Ayat diatas menjelaskan tentang kewajiban umat islam untuk mentaati perintah Allah Ta’ala dan Rasul Muhammad Shalla Allahu ‘Alaihi wa Sallam, dengan berpegang teguh terhadap Al-Quran.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’ : 59)
Ayat diatas menjelaskan tentang kewajiban umat islam untuk mentaati perintah Allah Ta’ala dan Rasul Muhammad Shalla Allahu ‘Alaihi wa Sallam, dengan berpegang teguh terhadap Al-Quran.
AN-Nahl ayat 14
“Dan Dia-lah Allah yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl: 14)
Ayat diatas menunjukkan tanggung jawab manusia untuk mencari nafkah dan bersyukur kepada Allah Ta’ala.
“Dan Dia-lah Allah yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl: 14)
Ayat diatas menunjukkan tanggung jawab manusia untuk mencari nafkah dan bersyukur kepada Allah Ta’ala.
Al-Luqman ayat 14-15
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. Al-Luqman” 14-15)
Ayat diatas menjelaskan tentang tanggung jawab manusia untuk berbuat baik kepada orang tua.
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. Al-Luqman” 14-15)
Ayat diatas menjelaskan tentang tanggung jawab manusia untuk berbuat baik kepada orang tua.
At-Tahrim ayat 6
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)
Ayat diatas menjelaskan tentang tanggung jawab seorang suami untuk melindungi keluarganya dari api neraka, caranya dengan mendekatkan mereka pada agama.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)
Ayat diatas menjelaskan tentang tanggung jawab seorang suami untuk melindungi keluarganya dari api neraka, caranya dengan mendekatkan mereka pada agama.
An-Nisaa’ ayat 19
“Dan gaulilah mereka (isteri-isterimu) dgn cara sebaik-baiknya.” (QS. An Nisa 19)
Ayat diatas menjelaskan tentang tanggung jawab suami untuk bersikap baik kepada istrinya.
“Dan gaulilah mereka (isteri-isterimu) dgn cara sebaik-baiknya.” (QS. An Nisa 19)
Ayat diatas menjelaskan tentang tanggung jawab suami untuk bersikap baik kepada istrinya.
Al baqarah ayat 233
“Para ibu bendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tabun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tabun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu bila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketabuilah bahwa Allah Mahamelihat apa yangkamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 233)
“Para ibu bendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tabun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tabun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu bila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketabuilah bahwa Allah Mahamelihat apa yangkamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 233)
Ath-Thalaaq ayat 7
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang telah Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaaq: 7).
Demikianlah ayat-ayat Al-quran tentang tanggung jawab. Semoga kita bisa menjadi manusia yang bertanggung jawab sehingga tidak merugikan orang lain dan tidak menimbulkan catatan dosa.
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang telah Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaaq: 7).
Demikianlah ayat-ayat Al-quran tentang tanggung jawab. Semoga kita bisa menjadi manusia yang bertanggung jawab sehingga tidak merugikan orang lain dan tidak menimbulkan catatan dosa.
Ajengan Masuk Sekolah (AMS)
Pertemuan Ke 11
Kelas 4, 5, 6
> Materi :
1. Dasar Perintah Menghargai Kemanusiaan
2. Manfaat Menghargai Kemanusiaan
3. Akibat Tidak Menghargai Kemanusiaan
Pertemuan Ke 11
Kelas 4, 5, 6
> Materi :
1. Dasar Perintah Menghargai Kemanusiaan
2. Manfaat Menghargai Kemanusiaan
3. Akibat Tidak Menghargai Kemanusiaan
> Indikator Perilaku Siswa :
1. Tidak Pelit Untuk Memuji
2. Tidak Suka Menghina Manusia
3. Tidak Membeda Bedakan Teman..
1. Tidak Pelit Untuk Memuji
2. Tidak Suka Menghina Manusia
3. Tidak Membeda Bedakan Teman..
> Sumber Materi : Qur'an, Hadits, Ijma, Qias, Tarikh.
Islam Menjunjung Tinggi Nilai Kemanusiaan
I اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، اَلَّذِى خَلَقَ اْلإِنْسَانَ خَلِيْفَةً فِي اْلأَرْضِ وَالَّذِى جَعَلَ كُلَّ شَيْئٍ إِعْتِبَارًا لِّلْمُتَّقِيْنَ وَجَعَلَ فِى قُلُوْبِ الْمُسْلِمِيْنَ بَهْجَةً وَّسُرُوْرًا. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَهُوَعَلَى كُلِّ شَيْئ ٍقَدِيْرٌ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًاعَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَنَبِيَّ بَعْدَهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمـَّدٍ سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَأَفْضلِ اْلأَنْبِيَاءِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَاِبه أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْدُ، فَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْااللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
Islam hadir di bumi dengan membawa penekanan pada prinsip tauhid sebagai pegangan utama hidup. Ia menjadi tonggak dari keseluruhan sikap manusia, khususnya umat Islam, dalam menjalani tidak hanya ibadah tapi juga muamalah (hubungan sosial). Tentang muamalah, tauhid mengajarkan pengesaan mutlak kepada Allah dan pengakuan bahwa hanya Allah yang mahaagung dan mahasempurna. Dari sini kita temukan kaitan yang sangat dekat antara prinsip ketuhanan dan kemanusiaan. Sebab, tauhid secara tidak langsung meniscayakan adanya kesetaraan bagi manusia karena derajat dan kelas paling tinggi hanya milik Allah.
Islam hadir di bumi dengan membawa penekanan pada prinsip tauhid sebagai pegangan utama hidup. Ia menjadi tonggak dari keseluruhan sikap manusia, khususnya umat Islam, dalam menjalani tidak hanya ibadah tapi juga muamalah (hubungan sosial). Tentang muamalah, tauhid mengajarkan pengesaan mutlak kepada Allah dan pengakuan bahwa hanya Allah yang mahaagung dan mahasempurna. Dari sini kita temukan kaitan yang sangat dekat antara prinsip ketuhanan dan kemanusiaan. Sebab, tauhid secara tidak langsung meniscayakan adanya kesetaraan bagi manusia karena derajat dan kelas paling tinggi hanya milik Allah.
Pembedaan derajat dan kelas pada tataran manusia bersifat semu di hadapan Allah subhanahu wata’ala. Karena itu, tidak ada satu pun yang berhak mengklaim diri memiliki derajat lebih mulia hanya karena berasal dari ras atau asal-usul primordial tertentu. Klaim semacam itu pernah dilakukan iblis pada awal penciptaan manusia, dan akhirnya iblis terhempas dari surga dan menjadi makhluk terkutuk selama-lamanya. Mula-mula Allah perintahkan para malaikat, termasuk iblis, untuk bersujud kepada Nabi Adam sebagai tanda hormat. Perintah penghormatan itu ditaati seluruh malaikat, tapi iblis dengan penuh kesombongan membangkang dari perintah tersebut.
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ. قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ “Allah berfirman, ‘Apakah yang menghalangimu bersujud (kepada Adam) ketika Kuperintahkan kepadaMu?’ Iblis menjawab, ‘Kami lebih baik daripada dia: Engkau ciptakan aku dari api, sedang dia Kauciptakan dari tanah’.” (QS al-A’raf: 12)
Manusia dan kemanusiaan menjadi perhatian yang serius dalam Islam. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pertama kali mensyiarkan agama ini, kondisi negeri Arab sedang dirundung kebejatan moral dan pelecehan nilai-nilai kemanusiaan yang parah. Perang dan pertumpahan darah lantaran fanatisme antarsuku terjadi di mana-mana. Kaum perempuan dinjak-injak martabatnya—bahkan berkembang perilaku mengubur hidup-hidup bayi perempuan karena dianggap tak berguna dan memalukan keluarga.
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ. قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ “Allah berfirman, ‘Apakah yang menghalangimu bersujud (kepada Adam) ketika Kuperintahkan kepadaMu?’ Iblis menjawab, ‘Kami lebih baik daripada dia: Engkau ciptakan aku dari api, sedang dia Kauciptakan dari tanah’.” (QS al-A’raf: 12)
Manusia dan kemanusiaan menjadi perhatian yang serius dalam Islam. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pertama kali mensyiarkan agama ini, kondisi negeri Arab sedang dirundung kebejatan moral dan pelecehan nilai-nilai kemanusiaan yang parah. Perang dan pertumpahan darah lantaran fanatisme antarsuku terjadi di mana-mana. Kaum perempuan dinjak-injak martabatnya—bahkan berkembang perilaku mengubur hidup-hidup bayi perempuan karena dianggap tak berguna dan memalukan keluarga.
Perjudian dan eksploitasi ekonomi terhadap kaum miskin melalui riba marak. Dengan demikian betapa berat misi Nabi kala itu. Beliau tidak hanya hendak membersihkan paganisme atau penyembahan terhadap berhala, tapi juga menata moral masyarakat Arab yang dilanda kelangkaan rasa kemanusiaan yang akut. Tentang misi ini, Rasulullah pernah mendeklarasikan diri bahwa beliau diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak.
Perhatian Islam terhadap manusia dan kemanusiaan ini eksplisit dalam Islam. Al-Qur’an Surat al-Isra’ ayat 70 menyebut, “walaqad karramnâ banî âdam (dan telah Kami muliakan anak cucu Adam/manusia). Ayat menggunakan redaksi karramnâ (Kami [Allah] muliakan) yang berarti bahwa manusia mulia bukan saja karena ada manusia lain yang memuliakan tapi memang Allahlah yang memuliakannya.
Pesan kemanusiaan lain juga sangat jelas disampaikan Rasulullah dalam haji wada’ pada tahun ke-10 hijriah. Saat itu Rasulullah seperti memberi isyarat melalui pidato tentang tanda-tanda bahwa beliau akan meninggalkan dunia ini. Para sahabat yang peka akan tanda-tanda itu tak kuasa membendung tangis dan haji wada’ itu pun diwarnai banjir air mata dan kesan yang mendalam. Di tengah suasana haru biru tersebut, sebuah pesan substansial keluar dari lisan Rasulullah:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلاَ إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلاَ لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلاَلِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلاَ لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلاَ أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى. رواه أحمد والبيهقي والهيثمي "Wahai manusia, ingatlah, sesungguhnya
Tuhanmu adalah satu, dan nenek moyangmu juga satu. Tidak ada kelebihan bangsa Arab terhadap bangsa lain. Tidak ada kelebihan bangsa lain terhadap bangsa Arab. Tidak ada kelebihan orang yang berkulit merah terhadap orang yang berkulit hitam. Tidak ada kelebihan orang yang berkulit hitam terhadap yang berkulit merah. Kecuali dengan taqwanya.." (HR. Ahmad, al-Baihaqi, dan al-Haitsami).
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلاَ إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلاَ لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلاَلِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلاَ لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلاَ أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى. رواه أحمد والبيهقي والهيثمي "Wahai manusia, ingatlah, sesungguhnya
Tuhanmu adalah satu, dan nenek moyangmu juga satu. Tidak ada kelebihan bangsa Arab terhadap bangsa lain. Tidak ada kelebihan bangsa lain terhadap bangsa Arab. Tidak ada kelebihan orang yang berkulit merah terhadap orang yang berkulit hitam. Tidak ada kelebihan orang yang berkulit hitam terhadap yang berkulit merah. Kecuali dengan taqwanya.." (HR. Ahmad, al-Baihaqi, dan al-Haitsami).
Pidato Rasulullah tersebut pengandung pesan yang mendalam atas nilai-nilai kemanusiaan. Beliau memulainya dengan seruan “yâ ayyuhan nâs” (wahai manusia). Rasulullah tentu tahu bahwa pada momen haji wada’ mayoritas—bahkan mungkin semuanya—yang ada di hadapan beliau adalah orang mukmin. Tapi Nabi tidak menggunakan redaksi “yâ ayyuhal ladzîna âmanû” (wahai orang-orang beriman). Hal ini menandakan bahwa substansi ajaran yang beliau pidatokan bersifat universal, berlaku untuk seluruh manusia.
Pidato tersebut keluar lebih dari 10 abad sebelum deklarasi Hak Asasi Mansia (HAM) oleh PBB pada 1948. Hadits Nabi tersebut menegaskan kembali tentang prinsip tauhid, juga tentang muasal bapak yang satu (yakni Nabi Adam), baru disusul peringatan tentang prinsip kesetaraan manusia. Lagi-lagi ini meneguhkan logika yang di awal tadi disampaikan bahwa berangkat dari tauhid, pengakuan terhadap kesetaraan manusia muncul. Manusia bersumber dari satu leluhur yang dimuliakan Allah sehingga tidak boleh seorang pun membuat klaim keistimewaan bangsanya, rasnya, bentuk fisiknya, asal daerahnya, dibandingkan orang lain. Soal derajat kemuliaan, Islam memberi kriteria khusus, yaitu takwa. Artinya, segenap prestise manusia diukur oleh dan dikembalikan kepada Allah subhanahu wata’ala. Hal ini juga senada dengan seruan lain dalam Al-Qur’an: يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ
"Wahai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu sekalian dari seorang pria dan seorang wanita dan kami menjadikan kamu berbagai bangsa dan suku, agar kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantaramu di sisi Allah ialah orang yang saling bertaqwa". (Q.S. al-Hujarat:13).
"Wahai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu sekalian dari seorang pria dan seorang wanita dan kami menjadikan kamu berbagai bangsa dan suku, agar kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantaramu di sisi Allah ialah orang yang saling bertaqwa". (Q.S. al-Hujarat:13).
Pesan lainnya dalam haji wada’ yang tak kalah pentingnya adalah imbauan Rasulullah untuk membuktikan diri sebagai mukmin dan muslim yang baik dengan menjamin hak-hak hidup dan ekonomi orang lain, dan tentu saja dengan senantiasai meningkatkan ketaatan dan manjauhi larangan-larangan Allah. Imam Ahmad menriwayatkan hadits yang berbunyi: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ : أَلا أُخْبِرُكُمْ بِالْمُؤْمِنِ ؟ الْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ ، وَالْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ النَّاسُ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ ، وَالْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ ، وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ الْخَطَايَا وَالذُّنُوبَ
Artinya: “Nabi SAW bersabda saat haji wada’, ‘Maukah kalian kuberitahu pengertian mukmin? Mukmin adalah orang yang memastikan dirinya memberi rasa aman untuk jiwa dan harta orang lain. Sementara muslim ialah orang yang memastikan ucapan dan tindakannya tidak menyakiti orang lain.
Sedangkan mujahid adalah orang yang bersungguh-sungguh dalam keta’atan kepada Allah SWT. Sedangkan orang yang berhijrah (muhajir) ialah orang yang meninggalkan kesalahan dan dosa.”
Mari kita selalu panjatkan doa agar kita tetap menjadi manusia yang berbudi luhur, manusia yang menghormati kemanusiaan dirinya dan orang lain, dan manusia yang berserah diri kepada Allah. Semoga Allah selalu membimbing kita semua untuk tetap dalam jalan keridhaan-Nya. بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
Ajengan Masuk Sekolah (AMS)
Pertemuan Ke 12
Kelas 4, 5, 6
> Materi :
1. Dasar Perintah Sikap Teladan
2. Manfaat Sikap Teladan
3. Akibat Tidak Bersikap Teladan
> Indikator Perilaku Siswa :
1. Selalu Menjadi Teman Lainnya
2. Disiplin Waktu
3. Disiplin Berpakaian.
> Sumber Materi : Qur'an, Hadits, Ijma, Qias, Tarikh.
Pertemuan Ke 12
Kelas 4, 5, 6
> Materi :
1. Dasar Perintah Sikap Teladan
2. Manfaat Sikap Teladan
3. Akibat Tidak Bersikap Teladan
> Indikator Perilaku Siswa :
1. Selalu Menjadi Teman Lainnya
2. Disiplin Waktu
3. Disiplin Berpakaian.
> Sumber Materi : Qur'an, Hadits, Ijma, Qias, Tarikh.
Rasulullah Sebagai Suri Tauladan yang Luar Biasa
Allah Subhanahu Wata’ala ingin menjadikan kekasih-Nya (Muhammad) sebagai suri tauladan yang baik bagi umat manusia sekalian alam
SIAPA yang tidak mengenal dengan sesosok manusia yang ummi, pembawa dan pencerah terhadap peradaban manusia? Siapa lagi kalau bukan Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassallam namanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam memang merupakan figur yang pantas dipuji oleh siapa pun.
Sebab, beliau memiliki kesempurnaan, baik itu sifat, perilaku maupun tutur kata. Banjiran pujian terhadap beliau tak akan pernah lekang dimakan oleh zaman, bahkan sejak zaman para sahabat sekalipun pujian itu tetap mengalir sehingga sekarang.
Perbincangan mengenai sosok ini tidak pernah membosankan dan tak akan pernah habis-habisnya. Walaupun selalu diperingati mengenai diri beliau setiap tahun, bahkan masih ada pembicaraan-pembicaraan yang belum terungkap dan belum terlukiskan dari kehidupan beliau.
Sebab, beliau memiliki kesempurnaan, baik itu sifat, perilaku maupun tutur kata. Banjiran pujian terhadap beliau tak akan pernah lekang dimakan oleh zaman, bahkan sejak zaman para sahabat sekalipun pujian itu tetap mengalir sehingga sekarang.
Perbincangan mengenai sosok ini tidak pernah membosankan dan tak akan pernah habis-habisnya. Walaupun selalu diperingati mengenai diri beliau setiap tahun, bahkan masih ada pembicaraan-pembicaraan yang belum terungkap dan belum terlukiskan dari kehidupan beliau.
Kemuliaan dan kekaguman terhadap kepribadian Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassallam tidak hanya diapresiasi oleh orang Muslim saja. Sebaliknya, orang non-Muslim sekalipun tidak terlepas dari kekaguman mereka di saat mereka mempelajari kehidupan Rasulullah. Pengetahuan dan kajian mengenai beliau pasti benar, selama seseorang itu berpegang teguh kepada prinsip yang objektif.
Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam seringkali dipanggil oleh Allah Subhanahu Wata’ala dengan panggilan yang mesra di dalam Al-Qur’an. Seperti kalimat yā ayyuhā “ yā ayyuhannabiy ” (wahai Nabi); yā ayyuha al-muddaththir dan yā ayyuha al-muzzammil (wahai orang yang berselimut!), dan seterusnya. Kalau pun beliau dipanggil nama, nama tersebut pastilah diiringi dengan gelar. Seperti firman Allah: Muhammadun ‘ Rasūlulu’Llāh ‘ [Nabi Muhammad itu adalah utusan Allah, Qs. al-Fatḥ: 29], wa mā Muhammadun illā ‘ Rasūl ‘ [Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, Qs. Āli ‘Imrān: 144], wa mubasysyiran ‘birāsūlin’ ya’tī min ba‘dī ismuhū Aḥmad [Nabi Isa As berkata: ..…..dan memberikan kabar gembira dengan kedatangan seorang Rasul yang akan datang sesudahku yang bernama Ahmad, Qs al-Shaf: 6), dan lain sebagainya.
Hal yang demikian sangat berbeda dengan para utusan-utusan (nabi-nabi) Allah Subhanahu Wata’ala yang lain. Toh bagaimana pun juga, ini bukan mengindikasikan bahwasannya beliau dianak emaskan atau dimanjakan, sehingga terbebas dari teguran-teguran ketika berbuat salah. Sebagaimana diketahui bahwa Rasulullah juga tidak terlepas dari teguran-teguran, baik itu berupa teguran yang keras maupun yang lembut. Namun, ketika beliau mendapat teguran, Allah Swt telah mendahulukan teguran tersebut dengan kalimat “afa’Llāhu ‘anka”, yaitu Allah telah mengampuni kesalahannya terlebih dahulu [lihat Qs. al-Tawbah: 43].
Alih-alih beliau memberikan izin kepada orang supaya tidak pergi berperang [sebelum jelas keuzurannya] sebagaimana dijelaskan di dalam ayat di atas tadi, pun tidak terhindar dari sebuah teguran. Barangkali perihal pemberian izin ini telah melampaui keotoritasan pengetahuan Rasulullah. Bahkan lebih daripada itu, perkara ‘kecil’ yang lumrah dan tidak bisa dihindari oleh siapa pun, apalagi di dalam kehidupan manusia dewasa ini, seperti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam berlaku ‘sinis’ (bermuka masam) kepada orang buta yang datang kepadanya. Perlakuan sinis pun tidak terlepas dari sebuah teguran.
Untuk konteks kekinian bagi kita, sikap yang hanya sekedar ‘bermuka masam’ kepada orang lain sudah dianggap dan sudah merupakan sikap yang baik. Inilah bedanya antara manusia biasa dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam, karena beliau diberi wahyu. Semua sikap dan kepribadian Rasulullah selalu dalam kontrol Allah Subhanahu Wata’ala . Jadi, apabila terdapat perilaku yang kurang baik, beliau ditegur, mestinya bersikap lebih baik lagi. Karena Allah Subhanahu Wata’ala ingin menjadikan kekasih-Nya sebagai suri tauladan yang baik bagi umat manusia sekalian alam.
Atas dasar itu, ‘Abbas al-‘Aqqād dalam hal ini mengklasifikasi sifat manusia menjadi empat macam. Di antaranya adalah pemikir, ahli ibadah, pekerja, dan seniman. Seorang pemikir jarang yang menjadi pekerja (seperti kuli bangunan, supir taksi, tukang ojek dan lain-lain). Dan sebaliknya, pekerja jarang yang menjadi pemikir. Orang yang ahli ibadah (barangkali kesibukan atau aktivitasnya di masjid atau musolla saja) pun tidak bisa menjadi pemikir. Dan ahli ibadah juga, jarang yang menjadi seniman. Tetapi, Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam bahkan melampaui itu semua. Dengan demikian, tidaklah heran kalau di dalam diri beliau terdapat suri tauladan yang baik yang patut dicontoh. Namun, yang dituntut dari kita adalah hendaknya meneladani beliau dengan cara yang cerdas. Wa’Llāhu a‘lam biṣṣawāb
Di antara sifat terpuji Rasulullah, ada 4 sifat yang mesti kita ajarkan kepada anak-anak kita sejak dini:
Shiddiq (Jujur) Jujur adalah sikap menyatakan sesuatu sesuai dengan fakta. Kejujuran Rasulullah SAW sangat terkenal, tidak hanya diakui teman dekatnya, bahkan diakui oleh musuhnya. Ali r.a meriwayatkan bahwa Abu Jahal berkata kepada Rasululullah SAW, ”Kami tidak mengatakan engkau dusta. Namun, kami menganggap dusta ajaran yang engkau bawa.” Beliau selalu jujur dalam perkataan dan perbuatan benar. Anak-anak juga seperti itu. Dalam situasi apapun, sifat kejujuran harus dimiliki. Tanda anak hebat adalah jujur. Sebagai contoh, seorang anak anak, sebut saja namanya Odi ditanya oleh guru. ”Kamu tadi pagi salat Subuh atau tidak?” Odi menjawab dengan berbohong, ”Iya Bu, saya salat Subuh tadi pagi.” Ibu guru melanjutkan, ”Jam berapa kamu salat?” Odi berbohong lagi, ”Jam 05.00 Bu.” Ibu guru bertanya lagi, ”Salat sama siapa kamu?” Odi terpaksa berbohong lagi, ”Sama mama, papa, dan adek, Bu.” Hanya karena berbohong sekali, Odi terpaksa berbohong lagi dan lagi karena guru terus bertanya. Jadi kita tidak boleh berbohong karena berbohong sekali pun dapat menibulkan kebohongan-kebohongan yang lain dan menyebabkan kita mendapatkan banyak dosa.
Amanah (Dapat Dipercaya) Amanah merupakan sikap yang dapat di percaya. Apabila suatu urusan dipercayakan kepadanya maka dia akan melaksanakan urusan tersebut dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana Rasulullah SAW diberikan amanah untuk menyampaikan ajaran Islam kepada umat manusia melaksanakan tugas itu dengan sebaik-baiknya mesti taruhan nyawa, jiwa, dan raga. Rasul tidak gentar untuk menjalankan amanah itu. Ketika kita berjanji kepada teman, orangtua, saudara, bahkan kepada musuh sekalipun kita harus tetap menepati janji. Jika kita mengingkarinya berarti tidak dapat dipercaya. Misalkan, Odi diberikan amanah oleh guru untuk memeberitahu teman-temannya yang lain untuk mengerjakan tugas. Tetapi dia tidak menyampaikannya. Berarti Odi termasuk orang-orang yang tidak dapat dipercaya.
Tabligh (Menyampaikan) Sifat tabligh yang artinya menyampaikan, yaitu sifat wajib Nabi menyampaikan seluruh ajaran yang diterima dari Allah SWT berupa wahyu kepada umat manusia agar menjadi pedoman hidup. Rasulullah SAW menyampaikan seluruh ajaran yang diterimanya dari Allah SWT bahkan sampai yang hal yang terkecil pun sehingga umat manusia mempunyai pedoman dalam kehidupannya. Kewajiban mencontoh dan menerapkan salah satu sikap Rasulullah yaitu menyampaikan amanah yang ia dapat kepada orang yang berhak menerima dan tidak satupun tidak sampai kepada alamatnya. Misalkan, Odi disuruh ibunya untuk menyampaikan dan memberikan titipan uang kepada ibu pemilik warung. Tetapi dia tidak memberikan uang tersebut, malah menggunakannya untuk jajan. Berarti Odi tidak menyampaikan amanah yang diberikan oleh ibunya kepadanya.
Fathonah (Cerdas) Sifat fathonah merupakan sifat yang pasti dimiliki. Kita pahami betapa sulitnya tugas yang di emban Rasulullah SAW sehingga wajib memiliki sifat cerdas. Rasulullah saw terkenal sebagai seorang yang cerdas dan pandai, serta sangat arif dan bijaksana. Dalam mengambil keputusan didasari dengan pertimbangan dan pemikiran matang. Tugas orangtua sebagai pendidik harus mengondisikan agar anak rajin belajar agar menjadi anak cerdas dan pandai. Termasuk di dalamnya mendampingi dan memfasilitasi berbagai kebutuhan penunjang belajar. Jadi dengan meneladani sifat cerdas Rasul, kita dapat melewati berbagai rintangan dalam kehidapan sehari-hari. Terutama anak-anak.
Keempat sifat dari Rasulullah yang dipaparkan di atas, merupakan akhlak yang perlu ditanamkan kepada anak sejak dini. Terlebih dalam situasi seperti saat ini ketika banyak anak bergaul tidak wajar. .
terimakasih atas respon anda. admin
MATERI 1 - 6, KELAS 4,5,6 AJENGAN MASUK SEKOLAH (AMS)
Ajengan Masuk Sekolah (AMS)
Pertemuan Ke 1
Kelas 4, 5, 6
Materi : Keutamaan Ta'awun (Kerja Sama) dalam Kebaikan
Pertemuan Ke 1
Kelas 4, 5, 6
Materi : Keutamaan Ta'awun (Kerja Sama) dalam Kebaikan
NASIHAT UNTUK MENJAGA UKHUWAH DAN TA'AWUN DALAM KEBAIKAN KARENA ALLAH, KEUTAMAAN KERJA SAMA
◈ Al-Imam Abu Hamzah Asy-Syaibani rahimahullah, beliau pernah ditanya, “Siapakah ikhwan fillah itu?” Maka beliau menjawab:
▸➀ “Mereka adalah orang-orang yang senantiasa mengerjakan ketaatan-ketaatan kepada Allah -ﷻ-
▸➁ dan mereka adalah orang-orang yang selalu melakukan ta'awun di atas perintah Allah -ﷻ-.”
※ Ta'awwun bisa menjadi sebab terwujudnya kecintaan dan kebersamaan
▸➀ “Mereka adalah orang-orang yang senantiasa mengerjakan ketaatan-ketaatan kepada Allah -ﷻ-
▸➁ dan mereka adalah orang-orang yang selalu melakukan ta'awun di atas perintah Allah -ﷻ-.”
※ Ta'awwun bisa menjadi sebab terwujudnya kecintaan dan kebersamaan
◈ Imam Abul Hasan al-'Amiri rahimahullah mengatakan, “Ta'awun di atas perintah Allah dan perintah Rasul -ﷺ- adalah sesuatu yang menuntut terjadinya kesepakatan pandangan / kesatuan pikiran yang mendatangkan sesuatu yang diinginkan dan menghasilkan kecintaan.”
◈ Bahkan Rasulullah dan para shahabat ikut terlibat bergotong-royong memindahkan tanah dari satu tempat ke tempat lain dan membersihkan area untuk pembangunan Masjid Nabawy. Area yang hendak dibangun Masjid Nabawi saat itu terdapat bangunan yang dimiliki oleh Bani Najjar.
Rasulullah -ﷺ- berkata kepada Bani Najjar, “Wahai Bani Najjar, berilah harga bangunan kalian ini?” Orang-orang Bani Najjar menjawab, “Tidak, demi Allah. Kami tidak akan meminta harga untuk bangunan ini kecuali hanya kepada Allah.”
■ Antara Sebab Yang Bisa Mewujudkan Ta'awun
[1] Menjalin ukhuwah Imaniyyah, ukhuwah Islamiyyah - Allah telah memberi jaminan, bahwa yang mampu mengikat persaudaraan itu hanyalah orang-orang yang beriman.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Sesungguhnya hanyalah orang-orang beriman itu (bisa saling) bersaudara, ...” [QS Al-Hujurat: 10]
Ketika orang-orang beriman mampu mewujudkan persaudaraan, maka mereka juga akan bisa mewujudkan ta'awun di tengah-tengah mereka.
[2] Keikhlasan dan kejujuran - Dua perkara inilah yang dapat mengarahkan kita kepada berbagai bentuk kebaikkan, yang bisa menjauhkan kita dari kepentingan-kepentingan peribadi serta melindungi kita dari hawa nafsu yang jelek.
[3] Menjauh dari sikap fanatik dan hizbiyyah - Dua perkara inilah yang merusak dakwah, yang merusak hubungan antara da'i ilallah serta bisa yang menghancurkan ummat. Ta'awun dan kerjasama dalam bentuk apapun tidak akan pernah terwujud jika orang-orang yang mengupayakan ta'awunnya terjangkiti dua penyakit ini.
[4] Belajar dan memahami mu'amalah yang baik - Mu'amalah dengan Rabb kita, kemudian mu'amalah dengan diri kita sendiri dan berikutnya mu'amalah dengan sesama kita. Dengan mempelajari dan memahami semua ini, kita bisa memposisikan diri kita agar bisa mewujudkan ta'awun dengan saudara-saudara kita.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا أَنْصَارَ اللَّهِ كَمَا قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ لِلْحَوَارِيِّينَ مَنْ أَنْصَارِي إِلَى اللَّهِ ۖ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنْصَارُ اللَّهِ ۖ
Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penolong-penolong (agama) Allah sebagaimana Isa putra Maryam telah berkata kepada shahabat-shahabatnya yang setia, “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?” Shahabat-shahabatnya yang setia itu berkata, “Kamilah penolong-penolong (agama) Allah,” ... [QS As-Saf, 14]
■ Dalam Perkara Apa Saja Kita Membutuhkan Ta'awun
[1] Ta'awun dalam menegakkan ibadah - Bahkan dalam komunitas yang paling kecil saja seperi dalam rumah tangga, sangat membutuhkan untuk saling ta'awun.
[2] Ta'awun dalam thalabul ilmi dan urusan dakwah - Saling memberi perhatian, membantu dari sisi tenaga, berbagi faidah ilmu dan mengajarkan ilmu, memberikan buah pikiran yang berguna utk dakwah, memberikan infaq untuk mewujudkan fasilitas menuntut ilmu atau menolong saudaranya yang dalam kesulitan (kehabisan bekal) agar bisa terus melanjutkan thalabul ilminya dll.
■ Keutamaan Ta'awun
[1] Meringan sebuah pekerjaan/amalan yang besar yang sulit dikerjakan secara sendirian.
[2] Akan timbul pada setiap orang perasaan membutuhkan terhadap sesama saudaranya, sadar bahwa dia tidak mungkin menjadi kuat tanpa bantuan dari saudaranya.
[3] Merupakan bukti cinta kebaikkan untuk sesama saudaranya.
[4] Merupakan buah dari sekian buah keimanan kepada Allah -ﷻ-.
[5] Merupakan landasan kemajuan dan keberhasilan.
[6] Kebersamaan & ta'awun akan menghilangkan perasaan hasad dan dengki dalam diri seseorang.
[7] Merupakan salah satu jalan yang menghantarkan kepada Ridha Allah dan Jannah-Nya.
[2] Akan timbul pada setiap orang perasaan membutuhkan terhadap sesama saudaranya, sadar bahwa dia tidak mungkin menjadi kuat tanpa bantuan dari saudaranya.
[3] Merupakan bukti cinta kebaikkan untuk sesama saudaranya.
[4] Merupakan buah dari sekian buah keimanan kepada Allah -ﷻ-.
[5] Merupakan landasan kemajuan dan keberhasilan.
[6] Kebersamaan & ta'awun akan menghilangkan perasaan hasad dan dengki dalam diri seseorang.
[7] Merupakan salah satu jalan yang menghantarkan kepada Ridha Allah dan Jannah-Nya.
■ Waspadai Dari Segala Bentuk Ta'awun Yang Menyelisihi Kitabullah Dan Sunnah Rasululah -ﷺ-
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“... dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” [QS Al-Ma'idah: 2]
Antaranya:
[1] Membantu kezhaliman - Termasuk di dalamnya siapa saja yang berjalan, bergabung, berteman, tolong-menolong dengan orang-orang yang berbuat kezhaliman dengan tujuan untuk membantu kezhalimannya serta menyebarkannya dalam keadaan tahu bahwa orang yang dibantunya seorang yang zhalim.
[2] Ta'ashub dan menyerukan Ashabiyyah - yakni seseorang membantu kaumnya, atau temannya atau saudaranya melakukan sebuah kezhaliman, kejahatan, tindakan yang keji serta memfasilitasi mereka dalam melakukan perlanggaran kepada Allah -ﷻ-.
WAHAI SAUDARAKU, JANGAN SAMPAI KITA SALING MERUSAK KEBERSAMAAN INI ... (Hasungan Untuk Saling Berta'awwun dan Bekerjasama Karena Allah)❱ Disampaikan oleh Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf hafizhahulloh■ Antara Dalil Wajibnya Untuk Saling Mewujudkan Ta'awun
[1] Membantu kezhaliman - Termasuk di dalamnya siapa saja yang berjalan, bergabung, berteman, tolong-menolong dengan orang-orang yang berbuat kezhaliman dengan tujuan untuk membantu kezhalimannya serta menyebarkannya dalam keadaan tahu bahwa orang yang dibantunya seorang yang zhalim.
[2] Ta'ashub dan menyerukan Ashabiyyah - yakni seseorang membantu kaumnya, atau temannya atau saudaranya melakukan sebuah kezhaliman, kejahatan, tindakan yang keji serta memfasilitasi mereka dalam melakukan perlanggaran kepada Allah -ﷻ-.
WAHAI SAUDARAKU, JANGAN SAMPAI KITA SALING MERUSAK KEBERSAMAAN INI ... (Hasungan Untuk Saling Berta'awwun dan Bekerjasama Karena Allah)❱ Disampaikan oleh Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf hafizhahulloh■ Antara Dalil Wajibnya Untuk Saling Mewujudkan Ta'awun
(➊)
وَالْعَصْرِ . إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ . إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ.
وَالْعَصْرِ . إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ . إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” [QS Al-Asr: 1-3]
Kata Syaikh Bin Baz rahimahullah, Di dalamnya mengandung ajakan untuk saling kerjasama, ta'awun dalam kebajikan dan taqwa.
(➋)
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ . وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ . وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” [QS Al-Ma'idah: 2]
Imam Ibnu Katsir daalam tafsirnya mengatakan:Allah memerintahkan kepada hamba-hambanya yang beriman untuk berta'awun dalam segala jenis kebaikkan (al-Birr)
dan memerintahkan untuk saling berta'awun dalam meninggalkan segala bentuk kemungkaran, hal-hal dosa dan kebathilan.
(➌)
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
dan memerintahkan untuk saling berta'awun dalam meninggalkan segala bentuk kemungkaran, hal-hal dosa dan kebathilan.
(➌)
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara" [QS Ali-Imran: 102]
Imam as-Sa'di rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan: "Sesungguhnya dalam kebersamaan kaum muslimin di atas agamanya dan kesatuan hati-hati mereka, hal tersebut akan memperbaiki urusan agama dan dunia mereka. Dengan adanya kebersamaan mereka dapat menyelesaikan segala persoalan dengan baik bahkan mereka juga akan mendapatkan kemaslahatan dari hasil kebersamaan itu seperti ta'awun ala birri wa taqwa."
※ Karena, ta'awun tidak akan pernah ada wujudnya jika tanpa ada kebersamaan. Kebersamaan di atas dasar apa? Tentunya kebersamaan di atas kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya -ﷺ-.
※ Perintah untuk berpegang teguh di atas tali Allah juga adalah perintah untuk saling bekerjasama di dalamnya, berta'awun di dalamnya, saling mengokohkan, saling menguatkan, saling mendukung dan saling memberikan motivasi, saling memberikan perhatian
(➍)
وَاجْعَل لِّي وَزِيرًا مِّنْ أَهْلِي . هَارُونَ أَخِي . اشْدُدْ بِهِ أَزْرِي . وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِي
وَاجْعَل لِّي وَزِيرًا مِّنْ أَهْلِي . هَارُونَ أَخِي . اشْدُدْ بِهِ أَزْرِي . وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِي
“Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikankanlah dia sekutu dalam urusanku, ...”
※ Tidak ada seorangpun yang berdakwah di jalan Allah Ta'ala melainkan pasti butuh pihak-pihak yang akan diajak bekerjasama dan pihak yang bisa diajak ta'awun dengannya
Demikian pula Rasulullah ketika berdakwah di Makkah, beliau pernah berkata:
◈ Man yu'wiiniy.. “Siapa orang yang akan membantuku....?”
(➎) Nabi -ﷺ- bersabda:
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang mukmin yang satu dengan mukmin yang lain bagaikan satu bangunan, satu dengan yang lainnya saling mengokohkan.’ Kemudian beliau menganyam jari-jemarinya.” [HR. Al Bukhari & Muslim. Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu]
Berkata Imam Ibnu Baththol rahimahullah, “Ta'awunnya kaum mukminin antara sebagiannya dengan sebagian yang lain dalam urusan dunia dan urusan akhirat disyariatkan berdasarkan hadits ini.”
Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan, “Kalau melihat secara zhahir (hadits) itu hanya sekedar khobar akan tetapi sesungguhnya maknanya adalah perintah, dorongan untuk melakukan kerjasama dan ta'awun antar kaum mukminin.”
(➏) Nabi -ﷺ- bersabda
المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ، وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً، فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ القِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Seorang muslim itu saudara bagi muslim lainnya. Dia tidak menzhaliminya dan tidak membiarkannya berbuat zhalim. Barangsiapa memenuhi kebutuhan saudaranya niscaya Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barangsiapa melapangkan satu kesusahan saudaranya niscaya Allah akan melapangkan baginya satu kesulitan dari kesulitan-kesulitan pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi aib saudaranya, maka Allah akan tutupi aibnya pada hari kiamat.” [HR. Bukhari Muslim]
Al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani mengatakan, “Di dalam hadits ini ada anjuran, motivasi, dorongan untuk saling melakukan kerjasama atau ta'awun. Disamping itu juga ada anjuran agar selalu menampakkan pergaulan yang baik dan dorongan agar menjaga persatuan dan kesatuan.”
■ Hikmah Di Balik Ta'awun Di Atas Kebajikan & Taqwa
※ Ta'awun mengajarkan kepada kita agar kita memiliki “kepekaan” yang tinggi terhadap saudara kita
◈ Imam Atho' bin Abi Robah rahimahullah, beliau mengatakan, “Cari tahu tentang bagaimana keadaan saudara-saudara kalian paling tidak dalam 3 hal :
1. Apakah mereka dalam keadaan sakit? jika seandainya diketahui mereka sedang sakit maka jenguklah mereka.
2. Apakah mereka dalam keadaan sibuk (kesulitan, ed) menghadapi sesuatu yang membuat tidak nampak, tidak hadir di tengah-tengah kita? Maka jika demikian bantulah mereka.
3. Apakah saudara kita itu dalam keadaan lupa, dalam keadaan lalai sehingga tidak kelihatan batang hidungnya di tengah-tengah kita? Maka jika benar-benar demikian maka ingatkanlah mereka.”
1. Apakah mereka dalam keadaan sakit? jika seandainya diketahui mereka sedang sakit maka jenguklah mereka.
2. Apakah mereka dalam keadaan sibuk (kesulitan, ed) menghadapi sesuatu yang membuat tidak nampak, tidak hadir di tengah-tengah kita? Maka jika demikian bantulah mereka.
3. Apakah saudara kita itu dalam keadaan lupa, dalam keadaan lalai sehingga tidak kelihatan batang hidungnya di tengah-tengah kita? Maka jika benar-benar demikian maka ingatkanlah mereka.”
Ajengan Masuk Sekolah (AMS)
Pertemuan Ke 2
Kelas 4, 5, 6
Materi :
1. Dasar Musyawarah Dan Mufakat
2. Manfaat Musyawarah Dan Mufakat
3. Akibat Tidak Musyawarah Dan Mufakat
> Aspek Yang Dibangun : Aspek Gotong Royong
> Nilai Aspek Yang Dibangun : Musyawarah Dan Mufakat
> Kompetensi : Membiasakan Sikap Musyawarah Mufakat Dalam Menyelesaikan Masalah
> Indikator Perilaku Siswa :
1. Suka Berdiskusi Dengan Baik
2. Bersikap Jembar Manah Dalam Mengemukakan Pendapat
3. Mengajak Teman Agar Selalu Berada Dalam Jama'ah.
> Sumber Materi : Qur'an, Hadits, Ijma, Qias, Tarikh.
Pertemuan Ke 2
Kelas 4, 5, 6
Materi :
1. Dasar Musyawarah Dan Mufakat
2. Manfaat Musyawarah Dan Mufakat
3. Akibat Tidak Musyawarah Dan Mufakat
> Aspek Yang Dibangun : Aspek Gotong Royong
> Nilai Aspek Yang Dibangun : Musyawarah Dan Mufakat
> Kompetensi : Membiasakan Sikap Musyawarah Mufakat Dalam Menyelesaikan Masalah
> Indikator Perilaku Siswa :
1. Suka Berdiskusi Dengan Baik
2. Bersikap Jembar Manah Dalam Mengemukakan Pendapat
3. Mengajak Teman Agar Selalu Berada Dalam Jama'ah.
> Sumber Materi : Qur'an, Hadits, Ijma, Qias, Tarikh.
MUSYAWARAH DAN MUFAKAT
Sebagai seorang muslim, kita perlu meniru cara hidup Rasulullah SAW dalam bermusyawarah, karena beliaulah suri tauladan terbaik yang paling layak dijadikan sebagai panutan dalam seluruh aspek kehidupan kita.
Berikut ini beberapa ayat Al-Qur'an tentang musyawarah yang ada di sejumlah surat dalam Al-Qur'an. Memuat tentang contoh-contoh musyawarah yang terjadi dalam beragam konteks.
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Dan para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban bagi ayah adalah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya, dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat terhadap apa yang kamu kerjakan. – (Q.S Al-Baqarah: 233)
Dan para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban bagi ayah adalah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya, dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat terhadap apa yang kamu kerjakan. – (Q.S Al-Baqarah: 233)
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Maka berkat rahmat Allah lah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu, maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal. – (Q.S Ali Imran: 159)
Maka berkat rahmat Allah lah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu, maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal. – (Q.S Ali Imran: 159)
وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ * قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Dan raja berkata, “Hadirkan dia (Yusuf) ke hadapanku, agar aku memilihnya (sebagai orang yang dekat) kepadaku.” Ketika dia (raja) telah bercakap - cakap dengannya, dia (raja) berkata, “Sesungguhnya mulai hari ini kamu menjadi seorang yang berkedudukan tinggi dan dipercaya di lingkungan kami.” (54) Dia (Yusuf) berkata, “Jadikanlah aku sebagai bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (55) – (Q.S Yusuf: 54-55)
Dan raja berkata, “Hadirkan dia (Yusuf) ke hadapanku, agar aku memilihnya (sebagai orang yang dekat) kepadaku.” Ketika dia (raja) telah bercakap - cakap dengannya, dia (raja) berkata, “Sesungguhnya mulai hari ini kamu menjadi seorang yang berkedudukan tinggi dan dipercaya di lingkungan kami.” (54) Dia (Yusuf) berkata, “Jadikanlah aku sebagai bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (55) – (Q.S Yusuf: 54-55)
قَالَتْ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ إِنِّي أُلْقِيَ إِلَيَّ كِتَابٌ كَرِيمٌ * إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ * أَلَّا تَعْلُوا عَلَيَّ وَأْتُونِي مُسْلِمِينَ * قَالَتْ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ أَفْتُونِي فِي أَمْرِي مَا كُنْتُ قَاطِعَةً أَمْرًا حَتَّى تَشْهَدُونِ * قَالُوا نَحْنُ أُولُو قُوَّةٍ وَأُولُو بَأْسٍ شَدِيدٍ وَالْأَمْرُ إِلَيْكِ فَانْظُرِي مَاذَا تَأْمُرِينَ * قَالَتْ إِنَّ الْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا وَجَعَلُوا أَعِزَّةَ أَهْلِهَا أَذِلَّةً وَكَذَلِكَ يَفْعَلُونَ * وَإِنِّي مُرْسِلَةٌ إِلَيْهِمْ بِهَدِيَّةٍ فَنَاظِرَةٌ بِمَ يَرْجِعُ الْمُرْسَلُونَ
Dia (Balqis) berkata, “Wahai para pembesar, sesungguhnya telah sampai kepadaku sebuah surat yang mulia.” (29) Sesungguhnya surat itu dari Sulaiman yang isinya, “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, (30) janganlah engkau berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.” (31) Dia (Balqis) berkata, “Wahai para pembesar, berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini). Belum pernah aku memutuskan suatu perkara sebelum kalian hadir dalam majelis(ku).” (32) Mereka menjawab, “Kita memiliki kekuatan dan keberanian yang luar biasa, akan tetapi keputusan berada di tanganmu. Maka pertimbangkanlah apa yang akan engkau perintahkan.” (33) Dia (Balqis) berkata, “Sesungguhnya apabila para raja menaklukkan suatu negeri, mereka tentu akan membinasakannya dan menjadikan penduduknya yang mulia menjadi hina, dan demikian pula yang akan mereka perbuat. (34) Dan sungguh, aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan membawa hadiah, dan aku akan menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh para utusan itu.” (35) – (An-Naml: 29-35)
Dia (Balqis) berkata, “Wahai para pembesar, sesungguhnya telah sampai kepadaku sebuah surat yang mulia.” (29) Sesungguhnya surat itu dari Sulaiman yang isinya, “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, (30) janganlah engkau berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.” (31) Dia (Balqis) berkata, “Wahai para pembesar, berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini). Belum pernah aku memutuskan suatu perkara sebelum kalian hadir dalam majelis(ku).” (32) Mereka menjawab, “Kita memiliki kekuatan dan keberanian yang luar biasa, akan tetapi keputusan berada di tanganmu. Maka pertimbangkanlah apa yang akan engkau perintahkan.” (33) Dia (Balqis) berkata, “Sesungguhnya apabila para raja menaklukkan suatu negeri, mereka tentu akan membinasakannya dan menjadikan penduduknya yang mulia menjadi hina, dan demikian pula yang akan mereka perbuat. (34) Dan sungguh, aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan membawa hadiah, dan aku akan menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh para utusan itu.” (35) – (An-Naml: 29-35)
فَمَا أُوتِيتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى لِلَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ * وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ * وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Apa saja (kenikmatan) yang diberikan kepadamu, maka itu adalah kesenangan hidup di dunia. Sedangkan apa (kenikmatan) yang ada di sisi Allah itu lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman dan hanya bertawakkal kepada Tuhan mereka, (36) dan juga (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah segera memberikan maaf, (37) dan (bagi) orang-orang yang memenuhi seruan Tuhan dan menegakkan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan jalan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepada mereka. (38) – (Q.S As-Syura: 36-38)
Apa saja (kenikmatan) yang diberikan kepadamu, maka itu adalah kesenangan hidup di dunia. Sedangkan apa (kenikmatan) yang ada di sisi Allah itu lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman dan hanya bertawakkal kepada Tuhan mereka, (36) dan juga (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah segera memberikan maaf, (37) dan (bagi) orang-orang yang memenuhi seruan Tuhan dan menegakkan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan jalan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepada mereka. (38) – (Q.S As-Syura: 36-38)
Itulah beberapa contoh musyawarah yang diabadikan dalam sejumlah ayat Al-Qur'an. Semoga beberapa ayat Al-Qur'an tentang musyawah tersebut bisa menjadi gambaran tentang pentingnya memutuskan suatu perkara dengan jalan bermusyawarah.
Ajengan Masuk Sekolah (AMS)
Pertemuan Ke 3
Kelas 4, 5, 6
Materi :
1. Dasar Perintah Tolong Menolong
2. Manfaat Tolong Menolong
3. Akibat Tidak Tolong Menolong Dalam Kehidupan
> Indikator Perilaku Siswa :
1. Rajin Membantu Orang Yang Membutuhkan
2. Suka Membantu Orang Tua
3. Khidmat Kepada Guuru.
> Sumber Materi : Qur'an, Hadits, Ijma, Qias, Tarikh.
Pertemuan Ke 3
Kelas 4, 5, 6
Materi :
1. Dasar Perintah Tolong Menolong
2. Manfaat Tolong Menolong
3. Akibat Tidak Tolong Menolong Dalam Kehidupan
> Indikator Perilaku Siswa :
1. Rajin Membantu Orang Yang Membutuhkan
2. Suka Membantu Orang Tua
3. Khidmat Kepada Guuru.
> Sumber Materi : Qur'an, Hadits, Ijma, Qias, Tarikh.
PERINTAH UNTUK SALING MENOLONG DALAM MEWUJUDKAN KEBAIKAN DAN KETAKWAAN
Allah Azza wa Jalla berfirman:
ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya [al-Mâidah/5:2]
PENJELASAN AYAT
Makna al-birru (الْبِرِّ ) dan at-taqwa (التَّقْوَى )
Dua kata ini, memiliki hubungan yang sangat erat.Karena masing-masing menjadi bagian dari yang lainnya.
Secara sederhana, al-birru (الْبِرِّ ) bermakna kebaikan. Kebaikan dalam hal ini adalah kebaikan yang menyeluruh, mencakup segala macam dan ragamnya yang telah dipaparkan oleh syariat.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mendefinisikan bahwa al-birru adalah satu kata bagi seluruh jenis kebaikan dan kesempurnaan yang dituntut dari seorang hamba. Lawan katanya al-itsmu (dosa) yang maknanya adalah satu ungkapan yang mencakup segala bentuk kejelekan dan aib yang menjadi sebab seorang hamba sangat dicela apabila melakukannya.
Tidak jauh berbeda, Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan bahwa al-birru adalah sebuah nama yang mencakup segala yang Allah Azza wa Jalla cintai dan ridhai, berupa perbuatan-perbuatan yang zhâhir maupun batin, yang berhubungan dengan hak Allah Azza wa Jalla atau hak sesama manusia.
Dari sini dapat diketahui, bahwa termasuk dalam cakupan al-birru, keimanan dan cabang-cabangnya, demikian pula ketakwaan.
Allah Azza wa Jalla telah menghimpun ragam al-birru (kebaikan, kebajikan) dalam ayat berikut:
لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orangorang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. [al-Baqarah/2:177]
ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya [al-Mâidah/5:2]
PENJELASAN AYAT
Makna al-birru (الْبِرِّ ) dan at-taqwa (التَّقْوَى )
Dua kata ini, memiliki hubungan yang sangat erat.Karena masing-masing menjadi bagian dari yang lainnya.
Secara sederhana, al-birru (الْبِرِّ ) bermakna kebaikan. Kebaikan dalam hal ini adalah kebaikan yang menyeluruh, mencakup segala macam dan ragamnya yang telah dipaparkan oleh syariat.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mendefinisikan bahwa al-birru adalah satu kata bagi seluruh jenis kebaikan dan kesempurnaan yang dituntut dari seorang hamba. Lawan katanya al-itsmu (dosa) yang maknanya adalah satu ungkapan yang mencakup segala bentuk kejelekan dan aib yang menjadi sebab seorang hamba sangat dicela apabila melakukannya.
Tidak jauh berbeda, Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan bahwa al-birru adalah sebuah nama yang mencakup segala yang Allah Azza wa Jalla cintai dan ridhai, berupa perbuatan-perbuatan yang zhâhir maupun batin, yang berhubungan dengan hak Allah Azza wa Jalla atau hak sesama manusia.
Dari sini dapat diketahui, bahwa termasuk dalam cakupan al-birru, keimanan dan cabang-cabangnya, demikian pula ketakwaan.
Allah Azza wa Jalla telah menghimpun ragam al-birru (kebaikan, kebajikan) dalam ayat berikut:
لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orangorang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. [al-Baqarah/2:177]
Kebaikan (kebajikan) yang tertera di ayat di atas mencakup seluruh unsur agama Islam; prinsip-prinsip keimanan, penegakan syariat seperti mendirikan shalat, membayar zakat dan infak kepada orang yang membutuhkan dan amalan hati seperti bersabar dan menepati janji.
Dalam ayat ini, setelah memberitahukan ragam kebaikan, di penghujung ayat, Allah Azza wa Jalla menjelaskan itulah bentuk-bentuk ketakwaan (sifat-sifat kaum muttaqîn).
Adapun hakikat ketakwaan yaitu melakukan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dengan penuh keimanan dan mengharap pahala; baik yang berupa perintah ataupun larangan. Kemudian perintah itu dilaksanakan atas dasar keimanan dengan perintah dan keyakinan akan janji-Nya, dan larangan ditinggalkan berlandaskan keimanan terhadap larangan tersebut dan dan takut akan ancaman-Nya.
Adapun hakikat ketakwaan yaitu melakukan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dengan penuh keimanan dan mengharap pahala; baik yang berupa perintah ataupun larangan. Kemudian perintah itu dilaksanakan atas dasar keimanan dengan perintah dan keyakinan akan janji-Nya, dan larangan ditinggalkan berlandaskan keimanan terhadap larangan tersebut dan dan takut akan ancaman-Nya.
Thalq bin Habîb rahimahullah, seorang Ulama dari kalangan generasi Tâbi’în berkata:” Apabila terjadi fitnah maka bendunglah dengan takwa”. Mereka berkata:” Apa yang dimaksud dengan takwa?”. Beliau menjawab:” Hendaknya engkau melakukan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dengan dasar cahaya dari Allah Azza wa Jalla dan mengharap pahala-Nya. Dan engkau tinggalkan maksiat dengan dasar cahaya dari Allah Azza wa Jalla dan takut terhadap siksa-Nya”.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah memuji keterangan di atas dengan mengatakan : Ini merupakan definisi takwa yang paling bagus. Beliau menjelaskan, bahwa semua amalan memiliki permulaan dan tujuan akhir. Satu amalan tidaklah dianggap sebagai bentuk ketaatan dan ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla kecuali apabila bersumber dari keimanan. Artinya dorongan utama melakukan amalan tersebut adalah keimanan bukan kebiasaan, mengikuti hawa nafsu atau keinginan untuk mendapatkan pujian dan kedudukan. Jadi, permulaannya adalah keimanan dan tujuan akhirnya adalah meraih pahala dari Allah Azza wa Jalla serta mengharap keridhaan-Nya atau yang disebut dengan ihtisâb. Oleh karena itu, banyak kita dapatkan kata iman dan ihtisâb datang secara bersamaan seperti contoh berikut:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَلَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barang siapa yang puasa ramadhan dengan penuh keimanan (iman) dan mengharap pahala (ihtisâb), maka diampuni semua dosanya yang telah lewat.[HR. al-Bukhâri Muslim].
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَلَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barang siapa yang puasa ramadhan dengan penuh keimanan (iman) dan mengharap pahala (ihtisâb), maka diampuni semua dosanya yang telah lewat.[HR. al-Bukhâri Muslim].
Faedah:
Ulama mengatakan bahwa penggabungan kata al-birr dan at-taqwa dalam satu tempat (seperti ayat di atas) mengandung pengertian yang berbeda satu sama lain. Dalam konteks ini, al-birr bermaka semua hal yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa ucapan dan perbuatan, lahir dan batin. Sementara at-taqwa lebih mengarah kepada tindakan menjauhi segala yang diharamkan [al-Qawâid al-Hisân, Syaikh as-Sa’di, hlm. 48]
Makna al-itsmu (إئْمُ ) dan al-’udwân ( الْعُدْوَانُ)
Pada dasarnya, pengertian antara al-birru dan at-taqwa, al-itsmu dan al-’udwân terikat pada hubungan yang kuat. Masing-masing kata itu mengandung pengertian kata lainnya. Setiap dosa (al-itsmu) merupakan bentuk ‘udwân (tindakan melampaui batas) terhadap ketentuan Allah Azza wa Jalla, yang berupa larangan atau perintah. Dan setiap tindakan ‘udwân, pelakunya berdosa.
Namun bila keduanya disebut bersamaan, maka masing-masing memiliki pengertian yang berbeda dengan yang lainnya.
Al-itsmu (dosa) berkaitan dengan perbuatanperbuatan yang memang hukumnya haram. Contohnya, berdusta, zina, mencuri, minum khamer dan lainnya. Contoh-contoh di atas merupakan perbuatan yang pada asalnya haram.
Sehubungan dengan al-’udwân, kata ini lebih mengarah pada suatu pengharaman yang disebabkan oleh tindakan melampaui batas. Apabila tidak terjadi tindakan melampaui batas, maka diperbolehkan (halal).
Tindakan melampaui batas terbagi dua, pertama: terhadap Allah Azza wa Jalla, seperti melampaui batas ketentuan Allah Azza wa Jalla dalam pernikahan seperti : memiliki lima istri, atau menyetubuhi istri dalam masa haidh, nifas, masa ihram atau puasa wajib.
Dan kedua: Tindakan melampaui batas terhadap sesama. Contohnya, bertindak kelewat batas terhadap orang yang berhutang, dengan menciderai kehormatan, fisik atau mengambil lebih dari seharusnya. [4]
Ulama mengatakan bahwa penggabungan kata al-birr dan at-taqwa dalam satu tempat (seperti ayat di atas) mengandung pengertian yang berbeda satu sama lain. Dalam konteks ini, al-birr bermaka semua hal yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa ucapan dan perbuatan, lahir dan batin. Sementara at-taqwa lebih mengarah kepada tindakan menjauhi segala yang diharamkan [al-Qawâid al-Hisân, Syaikh as-Sa’di, hlm. 48]
Makna al-itsmu (إئْمُ ) dan al-’udwân ( الْعُدْوَانُ)
Pada dasarnya, pengertian antara al-birru dan at-taqwa, al-itsmu dan al-’udwân terikat pada hubungan yang kuat. Masing-masing kata itu mengandung pengertian kata lainnya. Setiap dosa (al-itsmu) merupakan bentuk ‘udwân (tindakan melampaui batas) terhadap ketentuan Allah Azza wa Jalla, yang berupa larangan atau perintah. Dan setiap tindakan ‘udwân, pelakunya berdosa.
Namun bila keduanya disebut bersamaan, maka masing-masing memiliki pengertian yang berbeda dengan yang lainnya.
Al-itsmu (dosa) berkaitan dengan perbuatanperbuatan yang memang hukumnya haram. Contohnya, berdusta, zina, mencuri, minum khamer dan lainnya. Contoh-contoh di atas merupakan perbuatan yang pada asalnya haram.
Sehubungan dengan al-’udwân, kata ini lebih mengarah pada suatu pengharaman yang disebabkan oleh tindakan melampaui batas. Apabila tidak terjadi tindakan melampaui batas, maka diperbolehkan (halal).
Tindakan melampaui batas terbagi dua, pertama: terhadap Allah Azza wa Jalla, seperti melampaui batas ketentuan Allah Azza wa Jalla dalam pernikahan seperti : memiliki lima istri, atau menyetubuhi istri dalam masa haidh, nifas, masa ihram atau puasa wajib.
Dan kedua: Tindakan melampaui batas terhadap sesama. Contohnya, bertindak kelewat batas terhadap orang yang berhutang, dengan menciderai kehormatan, fisik atau mengambil lebih dari seharusnya. [4]
URGENSI AYAT
Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla memerintahkan hamba-Nya yang beriman untuk saling membantu dalam perbuatan baik dan itulah yang disebut dengan albirr dan meninggalkan kemungkaran yang merupakan ketakwaan. Dan Dia Azza wa Jalla melarang mereka saling mendukung kebatilan dan bekerjasama dalam perbuatan dosa dan perkara haram.[5]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menilai ayat di atas memiliki urgensi tersendiri. Beliau menyatakan: Ayat yang mulia ini mencakup semua jenis bagi kemaslahatan para hamba, di dunia maupun akhirat, baik antara mereka dengan sesama, ataupun dengan Rabbnya. Sebab seseorang tidak luput dari dua kewajiban; kewajiban individualnya terhadap Allah Azza wa Jalla dan kewajiban sosialnya terhadap sesamanya.
Selanjutnya, beliau memaparkan bahwa hubungan seseorang dengan sesama dapat terlukis pada jalinan pergaulan, saling menolong dan persahabatan. Hubungan itu wajib terjalin dalam rangka mengharap ridha Allah Azza wa Jalla dan menjalankan ketaatan kepada-Nya. Itulah puncak kebahagiaan seorang hamba. Tidak ada kebahagiaan kecuali dengan mewujudkan hal tersebut, dan itulah kebaikan serta ketakwaan yang merupakan inti dari agama ini.[6]
Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla memerintahkan hamba-Nya yang beriman untuk saling membantu dalam perbuatan baik dan itulah yang disebut dengan albirr dan meninggalkan kemungkaran yang merupakan ketakwaan. Dan Dia Azza wa Jalla melarang mereka saling mendukung kebatilan dan bekerjasama dalam perbuatan dosa dan perkara haram.[5]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menilai ayat di atas memiliki urgensi tersendiri. Beliau menyatakan: Ayat yang mulia ini mencakup semua jenis bagi kemaslahatan para hamba, di dunia maupun akhirat, baik antara mereka dengan sesama, ataupun dengan Rabbnya. Sebab seseorang tidak luput dari dua kewajiban; kewajiban individualnya terhadap Allah Azza wa Jalla dan kewajiban sosialnya terhadap sesamanya.
Selanjutnya, beliau memaparkan bahwa hubungan seseorang dengan sesama dapat terlukis pada jalinan pergaulan, saling menolong dan persahabatan. Hubungan itu wajib terjalin dalam rangka mengharap ridha Allah Azza wa Jalla dan menjalankan ketaatan kepada-Nya. Itulah puncak kebahagiaan seorang hamba. Tidak ada kebahagiaan kecuali dengan mewujudkan hal tersebut, dan itulah kebaikan serta ketakwaan yang merupakan inti dari agama ini.[6]
Al-Mâwardi rahimahullah berkata: Allah Azza wa Jalla mengajak untuk tolong-menolong dalam kebaikan dengan beriringan dengan ketakwaan kepada-Nya. Sebab dalam ketakwaan, terkandung ridha Allah Azza wa Jalla. Sementara saat berbuat baik, orang-orang akan menyukai (meridhai). Barang siapa memadukan antara ridha Allah Azza wa Jalla dan ridha manusia, sungguh kebahagiaannya telah sempurna dan kenikmatan baginya sudah melimpah.[7]
Sebagai contoh sikap saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
انْصُر أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظلُو مًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا نَنصُرًُهُ مَظْلُومًا فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا قَالََ تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ
Bantulah saudaramu, baik dalam keadaan sedang berbuat zhalim atau sedang teraniaya. Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, kami akan menolong orang yang teraniaya. Bagaimana menolong orang yang sedang berbuat zhalim?” Beliau menjawab: “Dengan menghalanginya melakukan kezhaliman. Itulah bentuk bantuanmu kepadanya.” [HR. al-Bukhâri]
Dalam hadits lain, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الدِّالُ عَلَى الْخَيْرِ كَفَا عِلِهِ
Orang yang menunjukkan (sesama) kepada kebaikan, ia bagaikan mengerjakannya. [HR. Muslim]
Orang berilmu membantu orang lain dengan ilmunya. Orang kaya membantu dengan kekayaannya. Dan hendaknya kaum Muslimin menjadi satu tangan dalam membantu orang yang membutuhkan. Jadi, seorang Mukmin setelah mengerjakan suatu amal shalih, berkewajiban membantu orang lain dengan ucapan atau tindakan yang memacu semangat orang lain untuk beramal.[8]
انْصُر أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظلُو مًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا نَنصُرًُهُ مَظْلُومًا فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا قَالََ تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ
Bantulah saudaramu, baik dalam keadaan sedang berbuat zhalim atau sedang teraniaya. Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, kami akan menolong orang yang teraniaya. Bagaimana menolong orang yang sedang berbuat zhalim?” Beliau menjawab: “Dengan menghalanginya melakukan kezhaliman. Itulah bentuk bantuanmu kepadanya.” [HR. al-Bukhâri]
Dalam hadits lain, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الدِّالُ عَلَى الْخَيْرِ كَفَا عِلِهِ
Orang yang menunjukkan (sesama) kepada kebaikan, ia bagaikan mengerjakannya. [HR. Muslim]
Orang berilmu membantu orang lain dengan ilmunya. Orang kaya membantu dengan kekayaannya. Dan hendaknya kaum Muslimin menjadi satu tangan dalam membantu orang yang membutuhkan. Jadi, seorang Mukmin setelah mengerjakan suatu amal shalih, berkewajiban membantu orang lain dengan ucapan atau tindakan yang memacu semangat orang lain untuk beramal.[8]
Hubungan kedua, antara seorang hamba dengan Rabbnya tertuang dalam perintah ‘Dan bertakwalah kamu kepada Allah’. Dalam hubungan ini, seorang hamba harus lebih mengutamakan ketaatan kepada Rabbnya dan menjauhi perbuatan untuk yang menentangnya.[9]
Kewajiban pertama (antara seorang hamba dengan sesama) akan tercapai dengan mencurahkan nasehat, perbuatan baik dan perhatian terhadap perkara ini. Dan kewajiban kedua (antara seorang hamba dengan Rabbnya), akan terwujud melalui menjalankan hak tersebut dengan ikhlas, cinta dan penuh pengabdian kepada-Nya.[10]
Hendaknya ini dipahami bahwa sebab kepincangan yang terjadi pada seorang hamba dalam menjalankan dua hak ini, hanya muncul ketika dia tidak memperhatikannya, baik secara pemahaman maupun pengamalan.
Ajengan Masuk Sekolah (AMS)
Pertemuan Ke 4
Kelas 4, 5, 6
Materi :
1. Dasar Anti Diskriminasi
2. Manfaat Anti Diskriminasi
3. Akibat Sikap Diskriminasi
> Indikator Perilaku Siswa :
1. Menerima Orang Lain Dengan Baik
2. Tidak Membeda Bedakan Status
3. Mengajak Teman Agar Tidak Menyudutkan Temannya.
> Sumber Materi : Qur'an, Hadits, Ijma, Qias, Tarikh.
Pertemuan Ke 4
Kelas 4, 5, 6
Materi :
1. Dasar Anti Diskriminasi
2. Manfaat Anti Diskriminasi
3. Akibat Sikap Diskriminasi
> Indikator Perilaku Siswa :
1. Menerima Orang Lain Dengan Baik
2. Tidak Membeda Bedakan Status
3. Mengajak Teman Agar Tidak Menyudutkan Temannya.
> Sumber Materi : Qur'an, Hadits, Ijma, Qias, Tarikh.
Larangan Diskriminasi Dalam Islam
Diskriminasi atau discriminate dalam bahasa Inggris mengandung makna membedakan. Dalam bahasa Arab diskriminasi disebut dengan al-Muhabbah yang bermakna membedakan kasih antara satu dengan yang lain. Dengan kata lain, diskriminasi adalah perbuatan atau perlakuan membeda -bedakan seseorang atau kelompok lain yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang berdasarkan status sosial, suku, ras, etnis, jenis kelamin, warna kulit, dan alin-lain.
Biasanya, orang yang berlaku diskriminatif terhadap orang lain merasa dirinya atau identitas yang melekat pada dirinya lebih unggul dibandingkan dengan orang lain. Misalnya, orang kulit putih yang memandang orang kulit hitam sebagai kaum yang derajatnya lebih rendah sehingga pantas dipekerjakan sebagai budak.
Sikap diskriminatif seperti ini jelas tidak sesuai dengan ajaran Islam. Menurut perspektif Islam, manusia memang diciptakan berbeda satu sama lain. Dalam kehidupan sehari-hari kita bisa melihat bahwa teman-teman kita berasal dari berbagai suku, agama, etnis, jenis kelamin, status sosial, dan lain-lain yang berbeda dengan kita. Namun, perbedaan ini tidak lantas menjadi alasan kita untuk memperlakukan mereka secara berbeda hanya karena mereka tidak memiliki kesamaan latar belakang dengan kita.
Islam melarang umatnya untuk berlaku diskriminatif terhadap orang lain hanya karena perbedaan bangsa dan suku karena hal ini bertentangan dengan fitrah manusia itu sendiri.
Dalam surat Al Hujurat ayat 13 Allah SWT berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ Arab-Latin: Yā ayyuhan-nāsu innā
khalaqnākum min żakariw wa unṡā wa ja'alnākum syu'ụbaw wa qabā`ila lita'ārafụ, inna akramakum 'indallāhi atqākum, innallāha 'alīmun khabīr
Terjemah Arti: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al Hujurat : 13).
Dalam surat Al Hujurat ayat 13 Allah SWT berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ Arab-Latin: Yā ayyuhan-nāsu innā
khalaqnākum min żakariw wa unṡā wa ja'alnākum syu'ụbaw wa qabā`ila lita'ārafụ, inna akramakum 'indallāhi atqākum, innallāha 'alīmun khabīr
Terjemah Arti: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al Hujurat : 13).
Dari ayat tersebut jelaslah bahwa manusia diciptakan ke muka bumi ini memang berbeda satu sama lain. Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah agar manusia dapat saling mengenal satu sama lain.
Mengenal di sini juga bukan dimaksudkan untuk membeda-bedakan manusia melainkan untuk memahami, menerima, dan menghargai perbedaan tersebut. Perbedaan yang ada juga hendaknya tidak menjadi alasan untuk saling menyakiti, berbuat tidak adil, atau merendahkan manusia lainnya. Melihat perbedaan hanya untuk merendahkan orang lain dan menyombongkan diri jelas tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Allah SWT berfirman dalam surat Al Hujurat ayat 11 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik … “ (QS. Al Hujurat : 11).
Dari Abu Hurairah r.a Rasulullah SAW bersabda,
“Seorang muslim adalah saudara Muslim lainnya, tidak (boleh) menzaliminya, menghinanya, dan merendahkannya. Takwa itu di sini, takwa itu di sini, takwa itu di sini (sambil ditunjukkan ke dada beliau (SAW) dan diulang sebanyak tiga kali yang menunjukkan kepentingannya). Cukuplah seseorang berbuat keburukan dengan merendahkan saudaranya yang Muslim. Setiap muslim haram darah, kehormatan, dan hartanya atas muslim lainnya.” (HR. Muslim).
“Seorang muslim adalah saudara Muslim lainnya, tidak (boleh) menzaliminya, menghinanya, dan merendahkannya. Takwa itu di sini, takwa itu di sini, takwa itu di sini (sambil ditunjukkan ke dada beliau (SAW) dan diulang sebanyak tiga kali yang menunjukkan kepentingannya). Cukuplah seseorang berbuat keburukan dengan merendahkan saudaranya yang Muslim. Setiap muslim haram darah, kehormatan, dan hartanya atas muslim lainnya.” (HR. Muslim).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Islam melarang kaum muslimin bersikap diskriminatif, karena :
Manusia memang diciptakan berbeda satu sama lain.
Sikap diskriminatif dapat menimbulkan konflik.
Sikap diskriminatif menunjukkan penolakan terhadap ketentuan Allah SWT.
Manusia memang diciptakan berbeda satu sama lain.
Sikap diskriminatif dapat menimbulkan konflik.
Sikap diskriminatif menunjukkan penolakan terhadap ketentuan Allah SWT.
Sikap diskriminatif menyebabkan orang berlaku sombong.
Sikap diskriminatif menyebabkan orang memperlakukan orang lain dengan sewenang-wenang.
Sikap diskriminatif menyebabkan orang memperlakukan orang lain dengan sewenang-wenang.
Ajengan Masuk Sekolah (AMS)
Pertemuan Ke 5
Kelas 4, 5, 6
Materi :
1. Dasar Perintah Anti Kekerasan
2. Manfaat Anti Kekerasan
3. Akibat Sikap Suka Kekerasan
> Indikator Perilaku Siswa :
1. Selalu Minta Maaf Bila Berbuat Salah
2. Memaafkan Orang
3. Selalu Minta Ridho Orang Tua Dan Guru.
> Sumber Materi : Qur'an, Hadits, Ijma, Qias, Tarikh.
Pertemuan Ke 5
Kelas 4, 5, 6
Materi :
1. Dasar Perintah Anti Kekerasan
2. Manfaat Anti Kekerasan
3. Akibat Sikap Suka Kekerasan
> Indikator Perilaku Siswa :
1. Selalu Minta Maaf Bila Berbuat Salah
2. Memaafkan Orang
3. Selalu Minta Ridho Orang Tua Dan Guru.
> Sumber Materi : Qur'an, Hadits, Ijma, Qias, Tarikh.
Islam Sebagai Agama Dakwah Bukan Agama Kekerasan
Islam adalah agama risalah yang dikembangkan oleh Nabi Muhamad SAW dari sudut kota Mekkah Almukaromah yang kemudian diteruskan oleh para Sahabat, Aulia, Waliyullah dan Para Ulama dan sampailah kepada kita semua. Perkembangan Islam di Indonesia yang dibawa oleh para Waliyullah menyebar dengan pesatnya, penyebaran agama Islam di Indonesia pada khususnya dan di Bumi Nusantara pada umumnya dilakukan dengan cinta kasih tanpa sedikitpun prilaku kekerasan dalam menyampaikan ajaran ajarannya.
Selain Islam sebagai agama tauhid Islam juga sebagai agama akhlak atau agama budhi atau dalam istilah Jawa adalah “Budhi Pekerti” Prilaku yang baik yang merupakan cerminan dari hubungan ketauhidan seseorang dalam menetapi kewajibannya menegakan syariat Islam. Sehingga dalam perkembangannya Islam sangat mudah diterima dikalangan masyarakat khususnya diwilayah Nusantara ini. Dan Islam diIndonesia adalah mayoritas dari agama-agama yang berkembang di Indonesia, Namun dari banyaknya pemeluk agama Islam di Indonesia, Pemeluk agama Islam tidak semena-mena terhadap pemeluk agama lain.
Catatan sejarah panjang masuknya Agama Islam di Indonesia pada masa kerajaan yang dibawa oleh para waliyullah berkembang dengan pesatnya sehingga Indonesia menjadi Negara dengan penduduk muslim terbesar didunia.
Begitu besarnya semangat Jihad (Jihad disini bukan berarti Perang ataupun dengan kekerasan) yang dilakukan oleh para pendahulu kita dalam mendakwahkan Islam memperjuangkan kebenaran ajaran ajaran Islam sehingga kebenaran itu terwujud dalam pemikiran, kata-kata dan perbuatan.
Dalam hadist nabi beliau bersabda “Balighu ani walau ayattan” yang artinya Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat. Yang artinya bahwa berdakwah merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim. Adapun dalam menyampaikan dakwah Islmaiyah kita tidak diperkenankan dengan menggunakan pedang atau kekerasaan apa lagi dengan melakukan pemboman ataupun Bom Bunuh diri yang akhir-akhir ini seolah-olah menjadi trend bahwa apa yang dilakukan oleh mereka adalah suatu kebenaran.
Bahwa seolah-olah mereka punya mandat pengadilan atas manusia sehingga mereka menggunakan pemahamannya yang keliru tersebut bukan perbaikan malah menjadi kerusakan di bumi. Aksi kekerasan yang dilakukan oleh ormas belakangan ini sangat berdampak negatif dalam perkembangan Islam di Indonesia. beberapa ormas yang dengan enteng menyebut bahwa Jihad dan menyebut nama Islam sebagai dasar tanpa disadari telah mencoreng nama baik Islam sendiri sebagai agama rakhmatan lill Alamin.
Dalam hal ini saya sangat sedih dengan method-methode Dakwah yang dilakukan oleh mereka. Benar apa yang disampaikan oleh beberapa ustadz waktu saya kecil , dimana Iman tanpa dilandasi oleh Ilmu adalah pincang begitupula dengan Ilmu tanpa Iman yang terjadi adalah kerusakan.
Bahwa methode dakwah yang dilakukan oleh mereka yaitu dengan melakukan swiping dll tidak dibenarkan secara hukum Islam. Berikut Allah SWT berfirman didalam Al Qur’an Surat Asy Syuura ayat 42 yang berbunyi seperti dibawah ini.
إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَظْلِمُونَ النَّاسَ وَيَبْغُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ ۚ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Arab-Latin: Innamas-sabīlu 'alallażīna yaẓlimụnan-nāsa wa yabgụna fil-arḍi bigairil-ḥaqq, ulā`ika lahum 'ażābun alīm
Terjemah Arti: Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang
berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.
berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.
Dalam penyampaian dakwah tidak boleh diperturutkan dengan hawa nafsu sehingga tidak ada pertengkaran atau perpecahan diantara umat. Begitulah Allah SWT menyampaikan firmannya dan begitupulalah cara dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.
Peringatan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk turun martabat, sampai kepada martabat makhluk yang paling rendah dan hina bahkan lebih hina dan lebih rendah dari jenis binatang yakni apabila manusia itu mengabaikan, tidak menggunakan potensi jasmaniah dan rokhaniahnya sesuai dengan undang-undang yang berlaku (sunnattullah),apalagi nafsu sudah terlepas dari akal dan dan dlamirnya sudah bisu, sudah tidak berkata lagi sehingga laku dan kelakuan manusia lebih hina dan lebih rendah daripada hewan.
Perintah akan sebuah risalah dan dakwah Rasulullah SAW adalah petunjuk pedoman, Bagaimana manusia menjaga nilai-nilai dan martabat kemanusiaanya agar jangan sampai tergelincir kejurang yang paling hina. Bahkan bila perlu potensi yang ada didalam diri kita dapat dikembangkan secara maksimal sehingga mampu mengantarkan kita kepada derajat yang tinggi yaitu derajat mulia. Derajat mulia hanya dapat dimiliki oleh orang orang yang bertaqwa bukan berarti bertaqwa karena penampilannya (Memakai sorban, Kopyah putih Jenggotan atau dengan celana congklang yang seolah olah paling bertaqwa sendiri dan selalu mengkafirkan orang lain atau yang batuknya hitam karena sujudnya paling lama namun yang mencul hanyalah keriaan belaka?
Derajat takqwa hanya dapat dimiliki oleh orang yang senantiasa taat dan tunduk kepada Allah SWT, serta menjauhi larangan-larangannya serta melaksanakan sunah-sunah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adapun dalam melaksanakan ketaatan tersebut adalah selalu menjaga hubungan baik dengan Allah (hablumminallah) dan selalu menjaga hubungan baik dengan manusia (hablum minanas).
Islam bukan agama kekerasan atau dengan kata lain cara radikal atau bahasa yang lebih kerennya adalah Revolusi. Dimana revolusi lebih identik dengan radikalisme dan kekerasan. Dalam perkembangannya Islam sebagai jalan dakwah (Mengajak bukan mengejek, menghimbau bukan mengharap, merangkul bukan memukul, menyentuh bukan menyinggung) begitulah jalan dakwah Islam. Islam memiliki karakteristik dalam berdakwah. Adapun Ciri-Ciri dakwah Islam adalah sebagai berikut :
1.Universialisme dan Humanisme
Adalah Bahwa dakwah Islam adalah dakwah kemanusiaan dakwah yang menggunakan ukuran-ukuran nilai kemanusiaan dalam tingkah laku pribadi yang hubungannya dengan sesama manusia. Dakwah Islam adalah dakwah kearah perubahan sosial menuju suatu masyarakat idaman, dakwah untuk meninggalkan sikap egoistis dan kecenderungan materialistis menuju kearah sikap kebersamaan dan kemaslahatan Umat. Bukan hanya umat Islam saja namun seluruh Umat manusia. Allah SWT berfirman adapun ayat yang menerangkan ke Universalan Islam dijelaskan pada ayat dibawah ini pada Q.S Saba ayat 28.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ Arab-Latin: Wa mā arsalnāka illā kāffatal lin-nāsi basyīraw wa nażīraw wa lākinna akṡaran-nāsi lā ya'lamụn
Terjemah Arti: Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.
Bahwa ayat tersebut diatas menerangkan akan keuniversalan Al Qur’an, Akan keuniversalan Islam didalam ajarannya hal tersebut dijelaskan oleh Allah SWT bahwa Al Qur’an bukan hanya diberlakukan kepada satu Umat yaitu Umat Islam saja namun seluruh umat manusia.
Dan diterangkan pula dalam Q.S Al Anbiya ayat 107 .
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ Arab-Latin: Wa mā arsalnāka illā raḥmatal lil-'ālamīn
Terjemah Arti: Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Terjemah Arti: Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Jadi sapa yang sebtulnya mengingkari ayat ayat tersebut?? Kalau kita berdakwah namun tidak menggunakan petujuk Al Qur’an yang berakibat adalah nafsu yang dipertontonkan dan terjadilah kerusakan kekerasan dll.
2.Memberikan keleluasaan untuk memilih (Demokratis)
Dakwah Islam tidak dilaksanakan secara frontal, Radikal apalagi dengan Revolusi yang mengakibatkan pertumpahan darah. Dakwah Islam di laksanakan secara demokratid bagi setiap individu untuk menentukan pilihannya. Dalam dakwah Islam tidak ada satu paksaan apapun manusia diberikan suatu kebebasan keleluasaan untuk memilih serta menentukanBerikut Allah SWT menerangkan dalam firmannya dalam Q.S.Al.Kahfi ayat 18 seperti tersebut dibawah ini
وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ ۚ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ ۖ وَكَلْبُهُمْ بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيدِ ۚ لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا Arab-Latin: Wa taḥsabuhum aiqāẓaw wa hum ruqụduw wa nuqallibuhum żātal-yamīni wa żātasy-syimāli wa kalbuhum bāsiṭun żirā'aihi bil-waṣīd, lawiṭṭala'ta 'alaihim lawallaita min-hum firāraw wa lamuli`ta min-hum ru'bā
Terjemah Arti: Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka.
وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ ۚ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ ۖ وَكَلْبُهُمْ بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيدِ ۚ لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا Arab-Latin: Wa taḥsabuhum aiqāẓaw wa hum ruqụduw wa nuqallibuhum żātal-yamīni wa żātasy-syimāli wa kalbuhum bāsiṭun żirā'aihi bil-waṣīd, lawiṭṭala'ta 'alaihim lawallaita min-hum firāraw wa lamuli`ta min-hum ru'bā
Terjemah Arti: Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka.
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ Arab-Latin: Lā ikrāha fid-dīn, qat tabayyanar-rusydu minal-gayy, fa may yakfur biṭ-ṭāgụti wa yu`mim billāhi fa qadistamsaka bil-'urwatil-wuṡqā lanfiṣāma lahā, wallāhu samī'un 'alīm
Terjemah Arti: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Terjemah Arti: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Dalam QS.Al Baqarah 256 menjelaskan bahwasanya Islam tidak memaksakan suatu agama, namun karena ada tendensi politik dll seringkali disalah artikan dimana akhir akhir ini seolah olah memaksakan kehendaknya yang dilakukan oleh oknum oknum yang tidak bertanggungjawab dengan mengatasnamakan Islam. Jadi dalam kajian dakwah kali ini sangat disayangkan jika ada Oknum-oknum dengan menggunakan metode-metode yang sesungguhnya sangat bertentangan dengan sunatullah saya tegaskan disini bahwa itu semua bukan metode yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam melakukan dakwahnya. Dan sangat sangat bertentangan dengan Hukum Islam sendiri dimana berdampak pada salah tafsir terhadap umat seolah olah Islam adalah agama radikal selalu menggunakan kekerasan. Hal demikian saya selalu bertanya Tanya tentang kelompok semacam ini siapa mereka ? tujuannya apa ? dan saya berfikir bahwa apa yang dilakukan oleh mereka sesungguhnya memperburuk citra Islam dikalangan umat. Kehancuran suatu umat sesungguhnya akibat dari prilaku mereka sendiri begitupula dengan kehancuran suatu bangsa sesungguhnya diakibatkan oleh tangan tangan mereka sendiri. Adakah misi penghancuran Islam dari dalam kalangan Islam sendiri ? Ini menjadi PR buat kita semua untuk mengkaji dan mengawasi gerakan gerakan semacam ini jangan sampai kita tergelincir kedalam golongan mereka.
Al Qur’an menerangkan tentang metode dakwah didalam Al Qur’an sekitar 200 ayat yang menjelaskan akan hal tersebut.Masihkah kita mengingkari ? dan masihkah kita melakukan dakwah dengan cara cara yang Munkar ? dengan cara cara Jahiliyah kita terapkan dengan metode yang seperti itu niscahya akan terjadi kerusakan dan penghancuran yang diakibatkan oleh tangan tangan kita sendiri.
3.Methode bertahap dalam penyampaian ajaran
Allah SWT tidak serta merta memberikan Al Qur’an dalam bentuk Kitab, Namun Allah SWT menurunkan Al Qur’an secara bertahap dan berdasarkan hukum-hukum alam saat itu dimana kejadian kejadian atau peristiwa yang terjadi saat itu dari apa yang dihadapi oleh nabi dalam melakukan dakwahnya ditengah tengah kaum Jahiliyah. Dakwah Islam telah merubah dari keadaan Jahiliyah yang materialistis kearah keadaan yang penuh dengan nilai-nilai humanism yang tentunya bertentangan dengan keadaan sebenarnya atau merubah tingkah laku yang tidak manusiawi kepada tingkah laku yang manusiawi secara bertahap atau pelan pelan tidak dengan perubahan yang sangat drastic yaitu dengan loncataan perubahan secara total.
Dakwah Islam adalah untuk mengajak orang untuk beriman kepada Allah SWT menerima kebenaran dan melaksanakan ajaran kebenaran tersebut dalam prilaku dan tindakannya kepada sesame manusia. Dan perlu kita sadari bahwa masalah keimanan adalah suatu kesadaran pribadi dan tidak ada paksaan sedikitpun demikian Allah SWT berfirman didalam Al Qur’an seperti yang dijelaskan diatas. Maka dari itu dakwah Islam dilakukan secara bertahap.
Berikut adalah ayat Allah SWT yang menyebutkan bahwa Dakwah Islam diterapkan secara bertahap dalam dakwah Rasulullah pernah mendapatkan suatu pertanyaan dari kaum Quraish.
Diterangkan Allah menjawab permintaan kaum kafir makkah agar Al Qur’an diturunkan sekaligus hal tersebut tertera didalam Q.S Al Isra ayat 106-107
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا ﴿ ١٠٦﴾
waqur-aanan faraqnaahu litaqra-ahu 'alaa alnnaasi 'alaa muktsin wanazzalnaahu tanziilaan
[17:106] Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.
[17:106] Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.
قُلْ آمِنُوا بِهِ أَوْ لَا تُؤْمِنُوا ۚ إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا ﴿ ١٠٧﴾
qul aaminuu bihi aw laa tu/minuu inna alladziina uutuu al'ilma min qablihi idzaa yutlaa 'alayhim yakhirruuna lil-adzqaani sujjadaan
[17:107] Katakanlah: "Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud,
[17:107] Katakanlah: "Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud,
Dari penjelasan ayat tersebut diatas Allah pun masih memberikan kebebasan terhadap umatnya atas kebenaran Al Qur’an dan Islam. Subhanallah Allah SWT saja memberikan suatu kebebasan atas pilihan pilihannya kenapa kita harus memaksakan, bahkan mengkafirkan atau dengan memaksakan kehendak mereka dengan kekerasan Naudzubillahimindzalik.
Dari Ayat ayat Al Qur’an yang sudah dijelaskan diatas sudah lah jelas bahwa Islam bukan agama kekerasan kenapa kamu sekalian masih berbuat atas dasar agama untuk hal yang demikian itu, Tidak kah engkau sekalian merasa malu terhadap sikap Allah SWT dlm firman firmannya dengan cinta kasih dan bahasa kelembutan Allah SWT berfirman.
Jika kalaian menggunakan bahasa kekerasan tersebut sebagai jalan dakwah, lalu siapakah sebenarnya kalian itu? Tahukah kalian yang difirmankan Allah SWT dlm Al Qur’an kenapa kalian membantah pernyataan Allah SWT dengan perilaku dakwah yang demikian itu. Sesungguhnya yang demikian itu adalah karena nafsumu dan sesungguhnya kalian semua dalam keadaan tersesat. Segeralah bertaubat dan kembali kejalan yang diridhoi Allah SWT.
Ajengan Masuk Sekolah (AMS)
Pertemuan Ke 6
Kelas 4, 5, 6
Materi :
1. Dasar Sikap Jujur
2. Manfaat Sikap Jujur
3. Akibat Tidak Jujur
> Indikator Perilaku Siswa :
1. Berani Berkata Jujur
2. Berani Mengakui Kesalahan
3. Mengajak Teman Agar Bersikap Jujur
> Sumber Materi : Qur'an, Hadits, Ijma, Qias, Tarikh.
Pertemuan Ke 6
Kelas 4, 5, 6
Materi :
1. Dasar Sikap Jujur
2. Manfaat Sikap Jujur
3. Akibat Tidak Jujur
> Indikator Perilaku Siswa :
1. Berani Berkata Jujur
2. Berani Mengakui Kesalahan
3. Mengajak Teman Agar Bersikap Jujur
> Sumber Materi : Qur'an, Hadits, Ijma, Qias, Tarikh.
Jujur Dalam Islam dan Dalilnya
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan teladan sempurna untuk kita. Beliau memiliki akhlak atau sifat yang begitu mulia. Beberapa sifat mulia yang dimiliki oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam antara lain amanah dan jujur. Nabi Muhammad dikenal sebagai pribadi yang jujur, bahkan sejak beliau belum diangkat menjadi nabi.
Jujur, dalam Bahasa Arab dikenal dengan istilah ash shidqu atau shiddiq, memiliki arti nyata atau berkata benar. Artinya, kejujuran merupakan bentuk kesesuaian antara ucapan dan perbuatan atau antara informasi dan kenyataan. Lebih jauh lagi, kejujuran berarti bebas dari kecurangan, mengikuti aturan yang berlaku dan kelurusan hati.
Ada banyak sekali bentuk kejujuran dalam kehidupan kita sehari-hari. Sejak kecil kita pasti telah diajarkan oleh orang tua kita untuk selalu berbuat jujur dan tidak berbohong. Hal ini tentu sesuai dengan ajaran agama Islam yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi sallam sendiri.
PANDANGAN ISLAM TENTANG KEJUJURAN
Telah disebutkan sebelumnya, dalam Islam kejujuran dikenal sebagai ash shidqu. Istilah ini juga dijadikan sebagai julukan bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memiliki sifat jujur. Kejujuran, dalam Islam memiliki keutamaan tersendiri dan akan menjadi penyebab datangnya pahala dan rahmat dari Allah.
Seseorang yang memiliki sifat jujur akan memperoleh kemuliaan dan derajat yang tinggi dari Allah. Hal ini tercermin dalam firman Allah di surat al Ahzab ayat 35
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
yang artinya, “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang sidiqin (benar), laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”.
Dari ayat di atas, kita tahu bahwa jujur atau bertindak benar, termasuk dalam salah satu sifat mulia yang mendatangkan ampunan dari Allah. Tentu kita ingin termasuk orang-orang yang diampuni, maka kita pun harus bersikap jujur.
Kejujuran merupakan jalan yang lurus dan penuh keselamatan dari azab di akhirat yang keras. Bahkan, tidak hanya untuk bersikap jujur, Allah juga memerintahkan kita untuk bersama orang-orang yang jujur. Dalam surat at Taubah ayat 119, Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ Arab-Latin: Yā
ayyuhallażīna āmanuttaqullāha wa kụnụ ma'aṣ-ṣādiqīn
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ Arab-Latin: Yā
ayyuhallażīna āmanuttaqullāha wa kụnụ ma'aṣ-ṣādiqīn
Terjemah Arti: ““Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang sidiqin”.
Bersama dengan orang-orang yang jujur diharapkan akan membuat kita untuk terbiasa menjaga kejujuran juga dalam diri kita.
Kebalikan dari sifat jujur adalah sifat khianat atau berbohong. Sifat ini amat dibenci oleh Allah dan termasuk dalam ciri-ciri orang yang munafik. Hal ini diungkapkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda, “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga, apabila bebicara selalu bohong, jika berjanji menyelisihi, dan jika dipercaya khianat” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Maka, jika kita ingin menjadi umat Islam yang baik dan mendapat kebaikan di dunia dan akhirat, kita harus selalu bersifat jujur.
Dalam hadis shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan menunjukkan kepada surga, dan sesungguhnya seorang laki-laki benar-benar telah jujur hingga ia di catat di sisi Allah sebagai orang jujur. Sesungguhnya kebohongan itu menunjukkan kepada kedzaliman. Dan sesungguhnya kedzaliman itu menunjukkan kepada neraka, dan sesungguhnya seorang laki-laki telah berbuat dusta hingga ia di catat disisi Allah sebagai pendusta”.
MACAM-MACAM KEJUJURAN DALAM ISLAM
Kejujuran merupakan tiang utama bagi manusia untuk menegakkan kebenaran dan segala sesuatu yang haq di muka bumi. Allah pun berfirman dalam al Quran surat al Ahzab ayat 70,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah Swt. dan ucapkanlah perkataan yang benar”.
Dalam agama Islam terdapat beberapa macam sifat jujur yang dibedakan berdasarkan penerapan sifat jujur tersebut, sebagai berikut :
> Jujur dalam niatnya atau kehendaknya, artinya seseorang terdorong untuk berbuat sesuatu atau bertindak dengan dorongan dari Allah.
> Jujur dalam ucapan, yaitu seseorang yang berkata sesuai dengan apa yang dia ketahui atau terima. Ia tidak berkata apapun, kecuali perkataan tersebut merupakan kejujuran.
> Jujur dalam perbuatan, yaitu seseorang yang beramal dengan sungguh-sungguh sesuai dengan apa yang ada dalam batinnya.
> Jujur dalam janji, artinya dia selalu menepati janji yang telah diucapkan kepada manusia. dia hanya mengucapkan janji yang dia tahu bisa dia tepati.
> Jujur sesuai kenyataan, yang berarti dia menerapkan kejujuran pada segala hal yang dia alami di hidupnya.
Sebagai manusia yang berharap meraih surga, kita harus berusaha untuk menerapkan kejujuran dalam semua hal di atas. Meskipun penerapannya pasti sungguh sulit, kita harus selalu berusaha untuk menjauhkan diri dari sifat dusta atau khianat.
> Jujur dalam niatnya atau kehendaknya, artinya seseorang terdorong untuk berbuat sesuatu atau bertindak dengan dorongan dari Allah.
> Jujur dalam ucapan, yaitu seseorang yang berkata sesuai dengan apa yang dia ketahui atau terima. Ia tidak berkata apapun, kecuali perkataan tersebut merupakan kejujuran.
> Jujur dalam perbuatan, yaitu seseorang yang beramal dengan sungguh-sungguh sesuai dengan apa yang ada dalam batinnya.
> Jujur dalam janji, artinya dia selalu menepati janji yang telah diucapkan kepada manusia. dia hanya mengucapkan janji yang dia tahu bisa dia tepati.
> Jujur sesuai kenyataan, yang berarti dia menerapkan kejujuran pada segala hal yang dia alami di hidupnya.
Sebagai manusia yang berharap meraih surga, kita harus berusaha untuk menerapkan kejujuran dalam semua hal di atas. Meskipun penerapannya pasti sungguh sulit, kita harus selalu berusaha untuk menjauhkan diri dari sifat dusta atau khianat.
Begitu banyak godaan ataupun cobaan yang mendorong kita untuk berbuat tidak jujur. Namun, kita harus ingat bahwa barang siapa yang mampu mewujudkan sifat jujur dalam segala aspek kehidupannya, maka dia akan tercatat sebagai seorang hamba yang shiddiqin dan kehidupan dunia akan membawanya ke surga di akhirat kelak.
Mewujudkan kejujuran dalam segala aspek kehidupan seperti yang disebutkan di atas secara tidak langsung akan menjauhkan kita dari perbuatan-perbuatan yang dilarang. Misalnya, dia tidak akan bersifat riya’, karena dia jujur dengan niatnya melakukan sesuatu yang hanya mencari ridha Allah. Dia juga akan menjauh dari ghibah atau perbuatan fitnah, karena dia jujur dengan ucapannya yang tidak akan berbohong, apalagi jika menyangkut orang lain. Masih banyak lagi manfaat berbuat jujur yang bisa menyelamatkan kita dari perbuatan yang dosa.
PAHALA UNTUK ORANG YANG JUJUR
Telah kita bahas sejak awal bahwa kejujuran bisa membawa kita ke dalam ampunan Allah subhanahu wa ta’ala. Tentu hal ini merupakan keinginan semua manusia. namun, apakah hanya itu saja balasan bagi orang-orang yang bersifat jujur? Berikut ini akan dibahas janji yang diberi oleh Allah untuk orang-orang yang menjunjung tinggi kejujuran:
Telah kita bahas sejak awal bahwa kejujuran bisa membawa kita ke dalam ampunan Allah subhanahu wa ta’ala. Tentu hal ini merupakan keinginan semua manusia. namun, apakah hanya itu saja balasan bagi orang-orang yang bersifat jujur? Berikut ini akan dibahas janji yang diberi oleh Allah untuk orang-orang yang menjunjung tinggi kejujuran:
Masuk surga
Hal ini tercermin dalam hadis riwayat Muslim, dimana Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian (berbuat) jujur! Sesungguhnya jujur menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan menunjukkannya ke Surga. Dan senantiasa seorang (berbuat) jujur dan menjaga kejujurannya hingga ditulis di sisi Allah sebagai Ash-Shiddiq (orang yang jujur)”.
Hal ini tercermin dalam hadis riwayat Muslim, dimana Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian (berbuat) jujur! Sesungguhnya jujur menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan menunjukkannya ke Surga. Dan senantiasa seorang (berbuat) jujur dan menjaga kejujurannya hingga ditulis di sisi Allah sebagai Ash-Shiddiq (orang yang jujur)”.
Dekat dengan para Nabi
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam al Quran surat an Nisaa’ ayat 69,
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam al Quran surat an Nisaa’ ayat 69,
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا
“Dan barangsiapa yang mentaati Alloh dan Rosul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Alloh, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholeh, mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya”.
Hal ini pasti merupakan impian setiap muslim, untuk bisa bersama dengan para nabi, para sahabat dan orang-orang sholeh. Ganjaran ini merupakan kenikmatan karena kita digolongkan sama derajatnya dengan orang-orang yang mulia di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
Membuat hati tenang
Tidak hanya ganjaran di akhirat, berbuat jujur ternyata juga akan membawa kenikmatan di dunia. Dengan berbuat jujur, kita akan merasakan hati yang tenang, bebas dari kekhawatiran dan rasa was-was yang tidak perlu.
Tidak hanya ganjaran di akhirat, berbuat jujur ternyata juga akan membawa kenikmatan di dunia. Dengan berbuat jujur, kita akan merasakan hati yang tenang, bebas dari kekhawatiran dan rasa was-was yang tidak perlu.
Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Tinggalkanlah perkara yang meragukanmu kepada perkara yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran adalah ketenangan dan bohong adalah kecemasan”. Sungguh Allah Maha Pengasih yang telah menganugerahkan ganjaran mulia langsung di dunia untuk orang-orang yang jujur.
Menaikkan derajat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa meminta kepada Allah mati syahid dengan jujur, Allah angkat dia ke tingkatan orang-orang yang syahid”. (Baca juga: Tanda-Tanda Khusnul Khotimah)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa meminta kepada Allah mati syahid dengan jujur, Allah angkat dia ke tingkatan orang-orang yang syahid”. (Baca juga: Tanda-Tanda Khusnul Khotimah)
Mendatangkan berkah
Dalam hadis riwayat Bukhari, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Penjual dan pembeli (memiliki) pilihan sebelum mereka berdua berpisah, jika berdua berkata jujur dan menjelaskan (kekurangannya) maka diberkahi jual beli mereka. Dan jika berdua menyembunyikan (kekurangan) dan berbohong maka dihapus keberkahan jual beli mereka berdua”.
Dalam hadis riwayat Bukhari, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Penjual dan pembeli (memiliki) pilihan sebelum mereka berdua berpisah, jika berdua berkata jujur dan menjelaskan (kekurangannya) maka diberkahi jual beli mereka. Dan jika berdua menyembunyikan (kekurangan) dan berbohong maka dihapus keberkahan jual beli mereka berdua”.
Dari ganjaran yang disebutkan di atas, kita mengetahui bahwa kenikmatan yang didapat oleh orang-orang yang berbuat jujur, tidak hanya diterimanya di akhirat, namun juga diterimanya di dunia. Maka, alangkah baiknya jika kita mulai membiasakan berbuat jujur dan menjauhkan diri dari perbuatan dusta atau bohong yang menjauhkan kita dari rahmat Allah subhanahu wa ta’ala.
terimakasih atas respon anda. admin
Langganan:
Postingan (Atom)
ERA TASHAWWUF SOCIETY 6.0
Sosialisasi : GENERASI BARU ABAD 21 ERA TASHAWWUF SOCIETY 6.0 (Ki Ageng Sapujagat Al Kajorani Al Jawi) > Revolusi Industri 4.0 mengg...
-
SILSILAH DARI RAJA BRAWIJAYA V : >Brawijaya V >Bondan Kejawen + Nawangsih binti Jaka Tarub >Kyai Ageng Getas P...
-
terimakasih atas respon anda. admin ASAL MULA MANUSIA Asal Kejadian Allah SWT pertama kali menjadikan cahaya atau nur yang disebut Nur Mu...