Kamis, 07 Februari 2019

MARI LESTARIKAN ADAT ISTIADAT DAN BUDAYA SESAJEN

PENGERTIAN SESAJEN (OFFERINGS)
Pemberian sesajen ini tidak ada kaitannya dengan memberi makan jin, danyang, setan atau sebangsanya.
Tetapi sesajen dalam arti yang sebenarnya adalah menyajikan hasil bumi yang telah diolah oleh manusia atas kemurahan Tuhan Penguasa Kehidupan. Mengingatkan kita bahwa ini semua adalah milik Tuhan. Selama ini kita tidak turut memiliki namun hanya memanennya saja. Karena semuanya sudah ada ketika kita mulai diberi kehidupan. Juga menggambarkan lingkungan biotik dan abiotik yang ada terkandung di pada bumi
Segala yang kita ambil, kita rawat, kita tanam, kita olah sebenarnya adalah sasuatu yang sudah ada. Walaupun sudah kita olah, kita tanam dengan tekun dan kasih sayang menurut aturan, namun terkadang hasilnya masih kurang bahkan mati.
Sesajen hanya berwujud segala sesuatu yang dihasilkan oleh bumi. Utamanya yang berupa pepohonan, buah-buahan dan sumber makanan yang lain. Selain itu juga sesajen juga mempunyai arti menurut wujud, rupa, warna dan namanya sesuai pengertian yang diketahui oleh orang Jawa jaman dahulu.
Jadi sesaji ini yang terutama berupa makanan adalah untuk siapa saja yang hadir di tempat ini. Kita berkumpul di sini memberi gambaran akan rasa kebersamaan dan persatuan di antara kita.
Isi sesajen berdasarkan unsur-unsur biotik dan abiotik
A. BIOTIK
Dari tumbuhan
a) Makanan pokok
 Padi, gabah, beras, nasi (tumpeng) : melambangkan ketuntasan dan kesempurnaan. Kalau kita melakukan sesuatu harus dengan tuntas dan tidak setengah-setengah.
Nasi tumpeng. Kata “tumpeng” berasal dari kata TUMUNGKULO SING MEMPENG, artinya kalau kita ingin selamat, hendaknya kita selalu rajin beribadah. Sedangkan bentuk kerucut pada tumpeng mengartikan bahwa semakin hari kita harus senantiasa ingat kepada Tuhan dan tumpeng juga sebagai penjelmaan alam semesta dimana nasi berwujud gunung dikelilingi oleh hasil bumi berupa tumbuh-tumbuhan dan hewan darat/air
 Bubur panca warna : bubur beras merah, ketan hitam, bubur jagung, ketan putih, kacang hijau. Ditempatkan di 4 penjuru mata angin, 1 di tengah. Melambangkan sifat/elemen alam (air, api, udara, tanah, teja (angkasa))
 Karak/rengginang merupakan produk makanan turunan dari padi
b) Lauk pauk (orem-orem tempe tahu, perkedel dll) menggambarkan tumbuhan-tumbuhan yang dapat dijadikan lauk pauk
c) Sayur-sayuran (urap-urap) melambangkan urip, urup, urap.
 Urip artinya kita harus sadar darimana kita hidup, apa yang dikerjakan selama hidup, dan kemanakah tujuan setelah mati.
 Urup artinya kita selama hidup harus mempunyai arti bagi sesama, lingkungan, agama, bangsa dan negara
 Urap artinya kita dalam bermasyarakat harus bisa berbaur dengan siapa saja
Bila kita melakukan 3 hal di atas, maka hidupnya akan tenteram
Sayur kluwih (seperti nangka) melambangkan harapan agar rejeki kita bisa berlebih (luwih)
d) Jajanan pasar : menggambarkan kerukunan walaupun ada perbedaan, tenggang rasa.
e) Polo pendem (sesuatu yang tumbuh di dalam tanah-singkong dll), polo gumantung (sesuatu yang tumbuh di pohon (pepaya dll), polo kesimpar (sesuatu yang tumbuh di atas tanah (semangka dll). Semuanya melambangkan keadaan manusia, apa yang ada dalam pikiran, angan-angan, akal dan tata cara. Dalam mewujudkan keinginan kita tidak boleh gegabah, tapi harus dipikirkan secara matang. Selalu menyenangkan hati orang lain dan dapat dibanggakan oleh orang tua, yang diartikan “mendem jero, mikul dhuwur” (memendam yang di bawah, memikul yang di atas)
f) Bumbu mentah jenis akar atau umbi, biji, kulit, daun, bunga : tumbuh-tumbuhan yang berguna sebagai bumbu masak
g) Bahan obat/herbal menggambarkan bahwa tumbuh-tumbuhan juga mempunyai fungsi sebagai bahan obat-obatan.
h) Pisang raja gandeng seperti supit : pisang raja melambangkan supaya cita-cita kita yang senantiasa luhur agar dapat membangun bangsa dan negara
i) Kelapa : tumbuhan yang seluruh bagiannya mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia,
j) Sirih, pinang, tembakau, jambe : orang-orang Jawa jaman dahulu menggunakan tumbuh-tumbuhan ini untuk memperkuat gigi dan filosofinya adalah agar kita tidak bertutur kata sembarangan
k) Kembang setaman : melambangkan raga manusia (lahir, tumbuh, mati) juga melambangkan kerukunan
l) Daun pisang sebagai pembungkus (dinamakan “takir” atau tatag pikir) artinya bahwa manusia dalam bertindak harus mantap dan tidak boleh ragu-ragu. Daun jati bermanfaat sebagai pembungkus makanan, lebih kuat daripada daun pisang dan berfungsi sebagai pewarna makanan alami
m) Badek (air ketan) : turunan dari beras, rasanya manis, menggambarkan kenyamanan hidup
n) Rokok klobot melambangkan kebutuhan sekunder manusia. Bila ada pertemuan
Dari hewan
a) Ayam utuh dipanggang (Ingkung) melambangkan pengorbanan selama hidup, cinta kasih terhadap sesama juga melambangkan hasil bumi (hewan darat)
b) Ikan melambangkan hasil bumi (hewan air). Ikan bandeng (berduri banyak) melambangkan rejeki berlimpah, ikan teri (yang hidupnya bergerombol) melambangkan kerukunan
c) Telur melambangkan asal mula kehidupan, dan dalam kehidupan selalu ada 2 sisi kuning putih, laki perempuan, siang malam dll
B. ABIOTIK
a) Air di kendi : artinya bahwa supaya kita selalu mempunyai hati suci dan bersih
b) Air di gelas dan bunga : melambangkan air minum yang menjadi kebutuhan hidup manusia
c) Minuman kopi pahit : melambangkan elemen air namun bukan suatu minuman pokok (kebutuhan sekunder), dan menjadi minuman “persaudaraan” bila ada perkumpulan/pertemuan
d) Anglo dan arang dinyalakan melambangkan elemen alam berupa api yang berguna bagi kehidupan manusia
e) Dupa kemenyan : artinya keharuman dan ketentraman juga sembah sujud dan penghantar doa kita pada Tuhan juga menunjukkan eksistensi udara yang bergerak

Tanaman tanaman yang selalu diperlukan untuk upacara adat :

Dalam menunjang lestarinya upacara adat, baik untuk upacara daur hidup ataupun untuk upacara “ merti bumi”, “sedekah bumi “, ruwatan, bersih desa dan
lain lainnya, sesuai kearifan local masing masing daerah, maka di daerah Jawa
pada umumnya di perlukan :
• Pohon pisang raja, pisang kapok kuning, pisang pulut, pisang emas, pisang “morosebo”
• Pohon kelapa , kelapa gading, pohon pinang ( jambe )
• Pohon tebu wulung ( batang tebu berwarna hitam ),pohon sirih,
• Pohon beringin, pohon jeruk bali, pohon kluwih, nanas, jeruk nipis,jeruk purut, pohon gaharu, pohon cendana, akar wangi, pohon waru
• Tanaman perdu, pandan wangi, puring, patramenggala (bunga merak),
Alang alang, padi, buah dan bungakapas ,delima putih, dadap srep.
• Tanaman bunga : melati, kenanga, kantil, gambir, menur, mawar merah dan putih, telasih, kenikir, kamboja, dll.

Itulah antara lain tanaman yang perlu dilestarikan yang merupakan symbol sim
bol yang digunakan dalam berbagai upacara tradisi Jawa.

Aura semiotika (ilmu tanda) dari macam-macam syarat (ubo rampe) dalam sebuah konsep ritual peringatan dalam masyarakat Jawa merupakan sebuah pesan yang tersandikan.Berangkat dari sebuah local genius , nenek moyang telah memberikan pesan-pesan yang terselubung, tinggal bagaimana kita mampu memahami dan memaknai dari tiap pesan yang “sengaja” dikirimkan oleh para leluhur untuk kita agar lebih mencintai dan mengambil manfaat dari hasil sebuah warisan budaya. tentang apa saja dan bagaimana makna dari Ubo Rampe berikut ulasannya

Ubo Rampe (konsep merujuk peralatan dan semua piranti juga syarat melakukan sebuah ritual/ kegiatan)
Setiap acara peringatan ulang tahun, atau apapun dalam kelompok-kelompok sosial masyarakat jawa biasanya tumpeng selalu menjadi syarat ritual. Tidak hanya saat memperingati hari ulang tahun seseorang, tumpeng juga menyertai acara ulang tahun lembaga baik peresmian, kenaikan pangkat sampaiacara wetonan. Dalam upacara itu, tumpeng dipotong (seharusnya dibelah) dan diberikan kepada generasi penerus. Biasanya tumpeng yang disajikan adalah tumpeng robyong. Lalu apakah ini sekadar gagah-gagahan atau mempunyai makna?
Tumpeng robyong merupakan lambang manusia yang taat beragama dan giat bekerja. Selain tumpeng robyong, ada sekitar 40-an benda yang selalu menyertai sebuah ritual upacara sebagai sesaji, terutama dalam acara ritual yang diadakan oleh keraton. Setiap barang ataupun benda mempunyai makna tersendiri. Agaknya semua ubo rampe tersebut memiliki aura konstruksial makna. :
Cengkir atau buah kelapa hijau dan kelapa gading yang masih muda, merupakan lambang keandalan pikiran dan kekuatan batin. Maksudnya, dalam bertindak, kita tidak boleh hanya mengandalkan pikiran dan fisik, tetapi juga hati dan akal budi.
Kembang mayang melambangkan sepasang manusia yang mantap lahir batin dan siap menyemaikan bibit-bibit manusia unggul generasi berikutnya.
Pusaka keris adalah lambang keberanian dan percaya diri. Berani dan percaya bahwa Tuhan akan menolong siapa pun yang menegakkan kebenaran.
Bubur. Berbagai jenis bubur biasanya disediakan, seperti bubur Sura, bubur Sengkala, dan bubur Pancawarna, yang merupakan lambang cikal bakal manusia. Bubur ini dimaksudkan agar kita selalu ingat proses kelahiran bayi sehingga timbul rasa hormat pada ibu dan ayah serta Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu juga harapan agar kita bisa mengendalikan nafsu angkara.
Sekapur sirih melambangkan segala persoalan yang dihadapi oleh manusia dalam hidupnya. Maksud dari penyajian sekapur sirih ini adalah agar kita selalu siap dan kuat dalam menghadapi segala cobaan dan benturan dalam hidup.
Kembang setaman adalah lambang sosialisasi diri. Maksudnya agar kita selalu berusaha menjaga harumnya nama diri, kerabat, dan teman.
Kembang pancawarna yang terdiri dari melati, mawar merah, (kantil) gading putih, gading kuning, dan bunga kenanga, melambangkan cinta kasih yang selalu berkembang dan harum mewangi.
Santan kanil (kental) merupakan lambang sari-sari kehidupan dan juga susu ibu. Dimaksudkan agar kita selalu mengingat jasa dan pengorbanan ibu yang telah melahirkan kita.
Damar kembang dibuat dari kelapa yang sudah dibuang serabut dan batoknya, lalu dilubangi bagian yang merupakan bakal tunas, diisi dengan minyak kelapa dan diberi sumbu dari sobekan kain dan dinyalakan. Ini merupakan lambang kehidupan, dimaksudkan agar kita selalu mengisi kehidupan ini dengan hal-hal yang diridloi oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Air putih lambang kesucian. Agar kita selalu bersih, baik lahir maupun batin.
Lambang Kerukunan

Selain tumpeng, biasanya juga muncul berbagai kue basah yang biasa disebut jajan pasar. Kue ini ditata dalam satu wadah yang melambangkan kerukunan dan persatuan dari berbagai suku dan manusia. Nasi yang disajikan pun terdiri dari empat macam, yaitu nasi kuning, nasi brok, nasi byar, dan nasi golong. Semua nasi-nasi tersebut melambangkan bibit manusia generasi mendatang. Maksudnya agar kita hati-hati dan penuh perhatian dalam “membuat” keturunan sehingga menghasilkan generasi yang unggul.
Panggang ayam dan ingkung (ayam goreng utuh) adalah lambang ayah- ibu dan pengorbanan selama hidup mereka dalam membesarkan kita. Sesaji ini dimaksudkan agar kita hormat pada orangtua dan mencintai sesama dengan ikhlas, seperti kedua orangtua mencintai kita.
Pisang raja talun setandan merupakan lambang keberhasilan. Maksudnya agar kita mempunyai tujuan hidup atau cita-cita yang berguna bagi nusa, bangsa, dan sesama serta berusaha meraihnya sampai berhasil.
Sekat padi melambangkan manusia yang berisi, baik lahir maupun batin.
Buah-buahan, dari yang mentah sampai yang matang merupakan lambang dari proses pematangan diri manusia. Pematangan diri yang mengikuti proses alam dan tidak karbitan akan menghasilkan pribadi yang kuat. Berbagai macam daun, mulai daun kluwih, daun pohon beringin, daun andong dan puring, melambangkan perlindungan dari Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, kita harus selalu ingat kepada-Nya dengan selalu melaksanakan segala perintah-Nya.
Tebu wulung melambangkan kekuatan dan kemantapan batin. Diharapkan, budi pekerti dan kepribadian kita kukuh dan tegak seperti tanaman tebu tersebut.
Janur kuning merupakan lambang cahaya terang. Agar kita selalu mendapatkan jalan yang lurus dan diridloi Allah dalam menjalani hidup ini. Tajali nur.
Taplak kain mori berwarna putih melambangkan kesucian. Dimaksudkan agar segala tindak tanduk kita didasarkan pada hati dan pikiran yang suci bersih, tidak dikotori oleh kecurigaan.
Payung agung merupakan lambang perlindungan. Ditujukan kepada pamong atau pejabat agar selalu melindungi rakyatnya dari “hujan” dan “panas” kehidupan.
Tombak melambangkan kewaspadaan. Kita diharapkan untuk selalu waspada dalam menghadapi segala kemungkinan yang mengancam kelangsungan hidup kita.
Dupa ratus dan wawangian merupakan lambang ketentraman. Dengan menjaga nama diri, keluarga, negara, dan bangsa, diharapkan hidup kita akan nyaman dan tentram.
Umbul-umbul dari pohon bambu dihiasi janur kuning melambangkan kebesaran Tuhan Yang Maha Agung. Selain itu juga agar kita selalu ingat dan melestarikan budaya yang telah diturunkan oleh nenek moyang.

Kiranya seperti itulah aura semiotika dari macam-macam syarat (ubo rampe) dalam sebuah konsep ritual peringatan dalam masyarakat Jawa.Berangkat dari sebuah local genius , nenek moyang telah memberikan pesan-pesan yang terselubung, tinggal bagaimana kita mampu memahami dan memaknai dari tiap pesan yang “sengaja” dikirimkan oleh para leluhur untuk kita agar lebih mencintai dan mengambil manfaat dari hasil sebuah warisan budaya.

Sesajen atau sajen adalah sejenis persembahan kepada dewa atau arwah nenek moyang pada upacara adat di kalangan penganut kepercayaan kuno di Indonesia,[1] seperti pada Suku SundaSuku JawaSuku Bali dan suku lainnya.
Menurut filsafat sunda Sajen asal kata dari sesaji yang mengandung makna Sa-Aji-an atau kalimah yang disimbolkan dengan bahasa rupa bukan bahasa sastra, dimana didalamnya mengandung mantra atau kekuatan metafsik atau supranatural.

Kata Sajen berasal dari kata Sa dan ajian,
- Sa bermakna Tunggal
- Aji bermakna Ajaran
- Sa bermakna Seuneu, bara atau Api (Aura-energi)
Bermakna Sa Ajian atau ajaran yang Tunggal atau menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sesajen mengisyaratkan bahwa keganasan atau kedinamisan alam, dapat diatasi atau ditangani dengan upaya menyatukan diri dengan Alam atau beserta alam, bukan dengan cara merusak atau menguasai alam. Ritual ini merupakan bentuk metafora atau Siloka penyatuan manusia dengan Alam. Kata Sa-ajian secara keseluruhan bermakna menyatukan keinginan (kahayang-kahyang) dengan keinginan alam atau beserta alam (menyatu dengan alam).

Mengungkap Rahasia Sesaji (Sajèn)
Junction Opinion
Ada satu lagi pemahaman salah kaprah yang terlanjur diyakini kebenarannya oleh sebagian masyarakat kita. Akibatnya bisa fatal, apalagi mengenai hal-hal yang berhubungan dengan gaib. Sebab dapat mendiskreditkan kelompok tertentu, atau bahasa kasarnya menimbulkan fitnah. Saya istilahkan sebagai persepsi “sampah”, atau junk opinion. Timbulnya junk opinion ini disebabkan oleh beberapa hal misalnya :
  1. Kurangnya ilmu pengetahuan dan informasi mengenai suatu hal sehingga menyebabkan penilaian yang salah.
  2. Tidak memahami secara obyektif, yang disebabkan oleh sikap tidak suka terhadap suatu hal, sehingga menimbulkan penilaian yang tendensius menyudutkan kelompok tertentu.
  3. Orang tidak mengalami, tidak melakukan, dan tidak memahami suatu hal. Melainkan hanya menerima apa adanya, taken for granted, tetapi buru-buru dianggap sebagai suatu informasi yang benar. Misalnya kita memahami suatu hal tetapi referensinya sangat lemah, hanya berdasarkan cerita dari mulut ke mulut. Atau “katanya”, Jawa: ujare, Sunda : ceunah ceuk ceunah.
Opini “sampah” dapat berkembang pesat  menjadi opini masyarakat (public opinion) apabila didukung oleh kepentingan kelompok (vested interest), kekuatan dan kekuasaan politik melalui media massa menjadi “kampanye hitam” (black champagne) yang bersifat masif. Bentuk-bentuk “kampanye hitam”, entah disadari atau tidak seringkali dilakukan oleh media massa, media elektronik seperti tayangan hiburan dan misteri di beberapa stasiun televisi swasta di Indonesia.
Satu contoh yang akan saya kemukakan pada kesempatan kali ini mengenai opini  “sampah” tentang sesaji. Memberikan sesaji dengan serta merta dianggap perbuatan hina, musrik, dosa dengan tuduhan memuja setan. Orang yang membuat sesaji dianggap sebagai orang yang tunduk, kalah, dan mau menjadi budak setan. Ini benar-benar opini “sampah” yang telah menyesatkan umat manusia selama puluhan tahun. Untuk itu masilah kita urai satu persatu tentang rahasia sesaji.
Nilai Esensial Sesaji
Pertama-tama perlu saya berikan eksplanasi singkat tentang Sesajiagar supaya para pembaca yang budiman lebih mudah memahami tulisan saya kali ini. Sesaji berasal dari kata saji. Sajian, sesajian, maknanya sama  dengan hidangan. Menyajikan berarti menghidangkan. Sesaji kata benda bersifat tunggal, sedangkan sesajian bermakna jamak atau plural.  Sesaji yakni sesuatu yang dihidangkan. Secara umum sesaji dibuat sebagai wujud sedekah. Saya ulangi sekali lagi, sedekah. Sedekah yang dibagikan kepada orang lain. Sedekah dilakukan tidak  terbatas pada antar sesama manusia, melainkan bisa dilakukan  kepada bangsa tumbuhan, binatang, bahkan makhluk halus sekalipun. Nilai esensial dari sedekah itu sendiri yakni bentuk nyata kasih-sayang atau welas-asih antar sesama makhluk penghuni jagad raya ini. Pemahaman ini sangat penting digarisbawahi untuk membebaskan diri dari cengkeraman opini “sampah” yang telah mengotori otak dan hati kita.
Secara garis besar terdapat tiga macam sesaji yang dibedakan menurut tujuan membuatnya.
Bancakan
Bancakan termasuk sesaji ditujukan untuk sedekah terutama kepada sesama manusia. Bancakan dibuat untuk dibagi-bagikan kemudian dimakan oleh orang.  Untuk itu bancakan biasanya dibuat dengan aneka rasa yang enak di lidah dan berupa hidangan khusus yang menimbulkan selera makan.  Untuk itu membuat bancakan tidak boleh sembarangan melainkan harus dibuat senikmat mungkin agar orang-orang yang kita sedekahi turut puas dan bahagia. Prinsipnya sederhana saja yakni, kalau mau memberikan sedekah, maka berikan sedekah yang sebaik-baiknya kepada orang lain. Jangan pernah berikan “sampah” pada orang lain, yakni apa yang kita sendiri sudah enggan memakannya.
Bancakan dibuat oleh seseorang, kelompok, grup, atau bahkan institusi dengan berbagai tujuan misalnya dalam rangka ritual syukuran, ritual selamatan, atau ritual doa permohonan. Orang yang memahami kebijaksanaan hidup, saat mengekspresikan rasa sukur tidak akan cukup hanya dengan ucapan manis di mulut saja, tetapi mewujudkan rasa sukur itu dalam perbuatan nyata misalnya sedekah. Doa mohon keselamatan, doa permohonan untuk mewujudkan suatu tujuan baik, seyogyanya dibuka dengan sedekah. Karena sedekah merupakan cara terbaik untuk memantaskan diri kita menjadi orang yang layak menerima anugrah.
Sajèn Bebono
Sajen merupakan bahasa Jawa dari sesaji. Tetapi istilah sajen lebih familiar untuk menyebut sesaji yang bukan berupa bancakan. Bentuk sajen biasanya tidak selalu berupa  hidangan yang enak dimakan. Bahkan kadang berupa bahan-bahan yang tidak enak dan tidak mungkin untuk dikonsumsi oleh manusia. Misalnya minyak wangi, kemenyan, dupa, kunyit mentah, dlingo dan bengle dll.  Sajen dalam bahasa kraton lebih familiar disebut sebagai bebonoatau pengorbanan atau kurban. Akan tetapi Anda jangan membayangkan “pengorbanan” atau “kurban” berupa tumbal setan yang menyeramkan. Anda jangan membiasakan diri mengikuti paham “sampah” yang sering ditebarkan melalui sinetron dan film-film murahan yang sering beredar di bioskop dan ditayangkan televisi.  Seringkali mereka membuat opini yang salah kaprah tapi tidak menyadari hal itu telah meracuni otak masyarakat Indonesia. Keadaan ini sungguh memprihatinkan sekali.
Sama dengan bancakan, bebono juga merupakan sedekah. Tujuannya adalah untuk bersedekah kepada seluruh makhluk sesama penghuni planet bumi. Sebagai manusia yang arif dan bijaksana, manusia yang berkesadaran kosmologis, akan menyadari bahwa hidup di dunia ini selalu berdampingan dengan beragam makhluk hidup, yang kasat mata, maupun yang tidak kasat mata. Manusia juga hidup menumpang di antara benda-benda tidak hidup yang ada di planet bumi ini. Dalam filsafat hidup Jawa, berpijak dari fakta-fakta  itu menyadarkan kita bahwa salah satu tujuan utama manusia hidup di planet bumi adalah untuk saling menghormati, saling menghargai, dan saling menyayangi di antara makhluk hidup yang ada. Baik kepada antar sesama manusia maupun terhadap hewan, tumbuhan, dan makhluk halus. Dalam filsafat hidup Jawa, ditanamkan suatu kesadaran kosmologis di mana kita harus menghargai, menghormati, dan memanfaatkan seluruh benda hidup maupun benda-benda tidak hidup dengan cara adil, bijaksana serta penuh kasih sayang. Pada intinya apa maksud dan tujuan dari seseorang membuat sesaji bancakan, sajen atau  bebono, tidak lain untuk mewujudkan rasa menghormati, menghargai, rasa syukur dan sebagai expresi sikap welas asih secara nyata kepada seluruh makhluk penghuni planet bumi. Dapat dianalogikan, seperti apa yang dilakukan orang tua yang menyayangi anak-anak tentu mereka akan bersedia mengorbankan tenaga, pikiran, beaya dan waktu untuk membahagiakan anak-anak mereka. Orang tua telah memberikan bebono kepada anak-anaknya. Dalam konteks bebono, pengorbanan atau sedekah sebagai expresi kasih sayang itu lebih difokuskan kepada bangsa halus. Bangsa halus tidak boleh diperlakukan semena-mena. Mereka juga makhluk hidup yang diciptakan Tuhan, untuk mengisi jagad raya ini dalam fungsinya masing-masing sesuai hukum alam (kodrat) yang berlaku. Bangsa makhluk halus diciptakan bukan untuk dianiaya oleh bangsa manusia, melainkan untuk berperan serta dalam tata hukum keseimbangan alam. Sudah selayaknya bangsa manusia yang kata orang sebagai makhluk paling sempurna, maka sempurnakan pula perilaku yang adil dan bijaksana sebagai bagian dari bangsa makhluk hidup yang beradab dan santun kepada alam semesta dan seluruh penghuninya.
Sajèn Pisungsung
Pisungsung artinya persembahan. Dalam konteks ini pisungsunglebih difokuskan kepada eksistensi supernatural being, misalnya ancesters atau ancient spirit (leluhur) yakni orang-orang yang telah hidup di dimensi yang abadi. Dalam posting saya terdahulu seringkali saya sampaikan bahwa salah satu kunci sukses kehidupan kita adalah seberapa besar bakti kita kepada kedua orang tua, dan para leluhur kita, hingga leluhur perintis bangsa besar ini. Nah, pisungsung merupakan wujud ekspresi nyata bakti kita kepada para leluhur berupa suatu persembahan. Pisungsung tidak terbatas benda fisik. Bisa juga berupa persembahan melalui lisan misalnya doa, ucapan terimakasih, ucapan sembah pangabekti, hingga persembahan berupa tindakan nyata misalnya ziarah kubur, nyekar, ritual menghaturkan aneka ragam uborampe untuk pisungsung, membersihkan pusara dst. Kita perlu mengenang para leluhur, selain sebagai ekspresi rasa terimakasih dan hormat serta berusaha mengambil sisi positif kehidupan masa lampau orang-orang yang telah mendahului kita sebagai suri tauladan. Pisungsung lazimnya pula berupa minuman dan makanan, benda-benda seperti bunga, minyak wangi yang dulunya disukai oleh orang-orang yang mendahului kita. Atau sesuai tradisi yang berlaku di masyarakat. Dengan demikian diharapkan dapat terhubung tali rasa sih-katresnan antara orang yang memberikan pisungsung dengan leluhur.
Sampai di sini, mudah-mudahan para pembaca yang budiman dapat memahami dengan bijaksana. Dengan memahami nilai luhur filsafat dalam sesaji seperti uraian di atas, diharapkan bagi siapapun yang sedang membuat dan berbagi sesaji dapat menanamkan pola pikir (mind set) yang tepat pula. Sehingga sesaji menjadi lebih besar nilai filsafatnya, dan lebih efektif untuk menciptakan perubahan positif dalam kehidupan kita. Junk opinion telah merusak nilai luhur yang terkandung dalam ritual hatur sesaji. Bahkan membeloknya esensi tujuannya. Bahkan junk opinion telah merusak pola pikir serta mengotori kalbu pelakunya. Jika sudah rusak pola pikirnya, kemudian orang menjadikannya sebagai alasan untuk memojokkan dan menjelekkan tradisi hatur sesaji. Bahkan kemudian melarangnya dengan cara menakut-nakutinya sebagai tindakan berdosa. Entah hal ini akibat kebodohan masyarakat atau memang sebuah usaha sistematis melakukan cultural and ethnic cleansing.
Opini Yang Dibelokkan
Untuk membantu pemahaman, saya akan berikan beberapa contoh opini “sampah” mengenai sesaji. Yakni pandangan-pandangan, penilaian, perspektif yang salah kaprah menyoal sesaji.
  1. Sesaji dianggap sebagai bentuk “suap” atau cara untuk merayu mahluk halus, setan dsb agar bersedia membantu manusia. Ini pandangan salah yang paling popular.
  2. Pandangan salah berikutnya adalah, menganggap manusia yang membuat sesaji sebagai orang yang tunduk-patuh, takluk, bahkan menyembah makhluk halus. Pandangan ini lebih ngawur, makin menjauhkan dari nilai esensial yang sesungguhnya dari sesaji itu sendiri.
  3. Pandangan berikutnya lebih parah dan lebih ngawur. Yakni anggapan bahwa memberikan sajen akan membuat makhluk halus menjadi ketagihan dan akan menganggu jika orang tidak lagi memberikan sajen.
Baiklah para pembaca yang budiman. Saya tetap menghargai jika ada pembaca yang bersikukuh berpendapat seperti poin-poin di atas. Tidaklah heran jika fakta-fakta yang saya saksikan di atas juga dianggap sebagai opini “sampah”. Itu disebabkan karena sulitnya membuktikan fakta gaib dengan kesaksian mata kepala sendiri. Tetapi anda juga tidak layak untuk secara subyektif merasa bahwa opini anda paling benar dan factual.
Bagi saya pribadi dan sejauh yang bisa saya saksikan sendiri, kenyataan di atas merupakan suatu fakta yang jelas dan apa adanya. Walau apa yang saya saksikan sulit untuk disaksikan pula oleh orang lain, tetapi setidaknya apa yang saya sampaikan dapat memenuhi kaidah logika atau penalaran yang sehat.
Sesaji Sebagai Harmonisasi Dengan Alam
Sub judul di atas merupakan falsafah Jawa tentang prinsip dasar yang melandasi tindakan seseorang untuk memberikan sesaji atau sedekah. Tetapi akibat kurangnya pemahaman tentang sesaji, hal itu menimbulkan stigma, yakni penilaian negative dan pemahaman yang melenceng jauh dari prinsip dasar, pengertian, maksud dan tujuan sesaji itu sendiri. Kadang muncul stigma sangat tendensius yang menghakimi tindakan memberikan sesaji. Padahal dalam upacara sesaji sesungguhnya memiliki nilai luhur kearifan local masyarakat Indonesia. Tindakan destruktif, brutal dan tidak bertanggungjawab kadang dilakukan sekelompok orang dengan mengatasnamakan pembelaan Tuhan. Itu terjadi karena orang tidak tahu jika dirinya sedang tidak tahu, tidak sadar jika dirinya sedang terbenam dalam ketidaksadaran yang sangat membius.
Seperti telah saya singgung di atas bahwa sesaji merupakan usaha untuk berharmoni dengan hukum alam. Penjelasan singkatnya begini, seseorang memberikan sedekah kepada beragam kehidupan yang ada di lingkungan sekitarnya. Sedekah ini merupakan artikulasi nyata dari kesadaran manusia untuk saling menjaga kelestarian alam, menjaga keharmonisan dan kelangsungan ekosistem dan lingkungan hidup. Rasa welas asih menjadi pondasi melakukan sedekah sesaji. Itu disebut pula urip (hidup) yang murup (menyala), atau hidupnya berguna untuk seluruh kehidupan di planet bumi. Jangankan menyakiti apalagi membunuh orang lain yang beda pendapat, mengumpat dan meledek pun tidak dilakukannya. Perbuatan demikian itu jelas merupakan tindakan melawan hukum alam. Cepat atau lambat pasti akan tergulung oleh mekanisme hukum  keadilan alam.
Tingkatan Sesaji
Sesaji atau sedekah jika mengacu pada kualitasnya, sifatnya bertingkat-tingkat. Dari sesaji yang levelnya paling sederhana (rendah) hingga paling lengkap (tinggi). Dengan demikian, sesaji bukanlah sesuatu yang memberatkan. Tetapi dapat disesuaikan menurut kemampuan masing-masing orang. Orang mau pilih yang sederhana dan ringan atau yang lengkap, yang penting setiap bersedekah atau bersesaji harus dilakukan dengan tulus ikhlas. Jika terpaksa jangan melakukannya. Efeknya pun berbeda tergantung seberapa tinggi kualitas sesaji atau sedekah yang diberikan.
               Sesaji sebagai bentuk kebaikan pasti menimbulkan efek getaran energy positif yang memancar ke segala penjuru. Besaran energy ini ditentukan seberapa besar kualitas sesaji yang diberikan. Energy positif akan beresonansi kemudian membangkitkan energy positif yang berlipat ganda, dan sebaliknya energy negative akan meresonansi kemudian menimbulkan energy negative yang berlipat ganda pula. Oleh sebab itu bagi siapapun yang akan memberikan sesaji hendaknya niat dan pikiran sudah disetel secara tepat semenjak proses membuat sesaji dimulai.  Di situlah saat paling menentukan apakah sesajinya akan menghasilkan respon positif atau malah sebaliknya. Kuncinya terletak pada pengorbanan, persembahan, dan ketulusan yang ditujukan kepada orang-orang, mahluk hidup dan lingkungan yang kita hormati dan sayangi.
               Demikian tadi uraian singkat mengenai sesaji. Semoga tulisan ini dapat membantu para pembaca yang budiman untuk memahami seluk-beluk sesaji secara proporsional dan bijaksana.
Makna dan Arti Sesajen

Pandangan masyarakat tentang sesajen yang terjadi di sekitar masyarakat, khususnya yang terjadi didalam masyarakat yang masih mengandung adat istiadat yang sangat kental. sesajen mengandung arti pemberian sesajian-sesajian sebagai tanda penghormatan atau rasa syukur terhadap semua yang terjadi dimasyarakat sesuai bisikan ghaib yang berasal dari paranormal atau tetuah-tetuah.Sesajen merupakan warisan budaya Hindu dan Budha yang biasa dilakukan untuk memuja para dewa, roh tertentu atau penunggu tempat (pohon, batu, persimpangan) dan lain-lain yang mereka yakini dapat mendatangkan keberuntungan dan menolak kesialan. Seperti : Upacara menjelang panen yang mereka persembahkan kepada Dewi Sri (dewi padi dan kesuburan) yang mungkin masih dipraktekkan di sebagian daerah Jawa, upacara Nglarung (membuang kesialan) ke laut yang masih banyak dilakukan oleh mereka yang tinggal di pesisir pantai selatan pulau Jawa tepatnya di tepian Samudra Indonesia.

Sesajen ini memiliki nilai yang sangat sakral bagi pandangan masyarakat yang masih mempercayainya, tujuan dari pemberian sesajen ini untuk mencari berkah. Pemberian sesajen ini biasanya dilakukan ditempat-tempat yang dianggap keramat dan mempunyai nilai magis yang tinggi.

Prosesi ini terjadi sudah sangat lama, bisa dikatakan sudah berasal dari nenek moyang kita yang mempercayai adanya pemikiran – pemikiran yang religious. Kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat guna mencapai sesuatu keinginan atau terkabulnya sesuatu yang bersifat duniawi.

Saat ini orang beranggapan bahwa menyajikan sesajen adalah suatu kemusyrikan. Tapi sebenarnya ada suatu simbol atau siloka di dalam sesajen yang harus kita pelajari. Siloka, adalah penyampaian dalam bentuk pengandaian atau gambaran yang berbeda (aphorisma). Kearifan lokal yang disimbolkan dalam sesajen perlu dipelajari bukan disalahkan karena itu adalah kearifan budaya lokal yang diturunkan oleh leluhur kita.

MAKNA DAN ARTI YANG TERKANDUNG DALAM SESAJEN MENURUT AJARAN SUNDA

dituliskan oleh Ki Demang Wangsafyudin ( Salah satu Budayawan Sunda yang sekarang menetap di Yogjakarta):

1. Parukuyan dan menyan

Parukuyan adalah:tempat arang/bara api yang terbuat dari tanah=(tempat sari pati/badan sakujur)

Merah =melambangkan api

Kuning=melambangkan angin

Putih =melambangkan air

Hitam =melambangkan tanah

Maknanya :bahwa saripati dari api,angin, air dan tanah adalah asal badan sakujur/penopang hidup.

Membakar kemenyan/ngukus = ngudag Kusumaning Hyang Jati

Maknanya:Mengkaji dan menghayati seta menelusuri hakekat dari nilai-nilai Ke Tuhanan.

Menyan =Temen tur nyaan/nu enyana/sa enya-enyana

Maknanya:Dalam penelusuran/kajian/penghayatannya harus secara sungguh-sungguh dan sebenar-benarnya.

Wangi kemenyan = Silih wawangi=Perbuatan baik.

2. Amparan/Samak/Tikar

Maknanya : Kudu saamparan samaksud satujuan.Sakabeh tujuan jeung maksud kudu di amparan ku :Ka Tuhanan,Ka manusaan,Ka bangsaan,Ka Rahyatan,Ka adilan.

Maknanya : Bahwa sesungguhnya kita harus satu maksud,satu tujuan yg kesemuanya itu hrs di dasari oleh nilai-nilai:Ke Tuhanan,Ke Manusiaan,Ke Bangsaan,Ke Rakyatan,Ke Adilan.

3. Alas lawon Bodas

(Kain putih sebagai alas)Lawon=awon=buruk Bodas=putih=suci bersih

Maknanya:Hendaknya dalam tindakan dan ucapan harus di landasi oleh kebersihan hati fikiran.

4. Kendi di eusi cai make hanjuang

(Kendi di isi air dan di beri daun hanjuang)

Kendi = Taneuh =Tanah Cai = Air Hanjuang = Hana ing Juang (Hana = hirup/aya,Juang = berjoang)

Maknanya: Hirup kudu berjoang gawe pikeun lemah cai babakti ka nagri bebela ka nagara.

Hidup harus berjuang berbakti pada nusa dan bangsa.

5. Sang Saka Dwi Warna

(Sasaka Pusaka Buhun)=Bendera merah putih

Dwi Warna =Dua warna Beureum Bodas =Merah Putih Beureum =Indung/ibu pertiwi

Bodas =Bapa/Rama angkasa Sang saka =Soko=Tiang utama=Patokan Pusaka =Pupuhu Saka-Beh/Cikal-bakal Buhun =kolot/Bahan

Maknanya:Bahwa suatu kewajiban kita menghargai orang tua yang telah melahirkan dan mengurus kita,juga terhadap tanah air yg telah memberi kehidupan.Itu hrs di jadikan yg utama dlm kehidupan(harus di jadikan soko/patokan)

6. Kembang Tujuh Rupa nu Seungit

(7 jenis bunga yg wangi)

Tujuh = Tujuh psngswasa nu aya na diri (Kawasa,Kersa,Uninga,Hirup,Tingali,Ngarungu,Ngandika)=GURU HYANG TUJUH=Tujuh kuasa yg ada pd diri yg berasal dari Tuhan

Kembang seungit = Bunga wangi maknanya :Geura kembangkeun/mekarkeun/daya upayakeun eta pangawasa nu tujuh ku jalan silih seungitan ka sasama hirup. Mengembangkan tujuh kuasa tadi dg jalan belas kasih ke sesama mahluk.

7. Rujak Tujuh Rupa(tujuh macam rujak)

Rujak =rujak (rasa:manis,pahit,asam,keset dll)

Tujuh rupa =tujuh poe/tujuh hari

Maknanya : Dina tujuh poe panggih jeung rupa – rupa kahirupan.dalam tujuh hari kt mengalami berbagai rasa kehidupan

8. Kopi pait,kopi amis jeung cai asak herang di wadahan kana batok

Maknana:Sajeroning lampah hirup pinasti ngaliwatan papait jeung mamanis nu sakuduna di godog,di asakan dina BABATOK (pikiran,elingan)wening ati herang manah.

9. Sangu tumpeng

Manana:Tumpuk tumpang ngajadi hiji sahingga mangpaat keur kahirupan urang, ulah rek pakia kia pagirang girang tampian kawas remeh sumawur teu pararuguh.

10. Bakakak hayam

Manana pasrah sumerah k Gusti(tumamprak lir bakakaka)

11. Puncak manik (congcot nu di luhurna aya endog hayam)

Puncak tina kahirupan nyaeta silih ajenan ka sasama.

Endog teh mamana cita-cita kahirupan nu bakal ngalahirkeun laku lampah hade.

12. Daun jati tilu lambar

Manana:Manusa dina ngajalankeun hirup jeung ka hirupan kudu dumasar kana TEKAD,UCAP jeungLAMPAH nu SAJATINA.

13. Lemareun/seupaheun

Manana:Mun urang rek ngucap,lumaku jeung lumampah ulah rek gurung gusuh tapi kudu di beuweung di utahkeun,persis nu nyeupah.

Ieu kabeh teh simbul siloka keur ajieun urang supaya hirup teu kasasar lampah.

Intinya adalah di dalam sesajen terdapat nilai luhur kearifan lokal yang dijadikan pedoman pandangan hidup agar kita tidak salah dalam melangkah.
terimakasih atas respon anda. admin

Tidak ada komentar:

ERA TASHAWWUF SOCIETY 6.0

Sosialisasi : GENERASI BARU ABAD 21 ERA TASHAWWUF SOCIETY 6.0 (Ki Ageng Sapujagat Al Kajorani Al Jawi) > Revolusi Industri 4.0 mengg...