Senin, 12 November 2018

PADEPOKAN PETANI NUSANTARA "JAMBE LIMA"

PEMBELAJARAN AGAMA, BUDAYA, KEMAKMURAN









A. Konsepsi ‘Padepokan’ di Jawa
Sebutan ‘padepokan’ pada Bahasa Jawa dalam arti sempit dihubungkan dengan tempat pembelajaran kesenian dan kerajinan. Padepokan tari, padepokan ludruk, padepokan pencak silat, padepokan kriya kayu, padepokan ludruk, padepokan musik tradisi Jawa (gamelan), dsb. adalah sebutan-sebutan yang menunjuk kepada tempat tertentu pada mana kesenian tradisi Jawa dilatihkan (glinaden) atau dibelajarkan, (pinajaran) oleh guru seni kepada pembelajar (siswo, sisya, cantrik). Pengertian yang demikian tidaklah salah, namun materi ajar di suatu padepokan tak hanya sebatas kesenian, melainkan lebih luas, yakni bidang kemasyarakatan, kebudayaan, dan lingkungan fisis-alamiah. Pendek kata, padepokan adalah tempat berlatih dan belajar berbagai hal mengenai serba-serbi kehidupan.
Sebagai istilah lokal dalam Bahasa Jawa, boleh jadi kata ‘padepokan’, yang berkata dasar (lingga) ‘depok (kata jadian: pa+depok+an)’ telah dikenal dalam bahasa Jawa Kuna. Istilah yang mirip dengannya adalah ‘dempok’, yang secara harafiah berarti : geletak (Zoetmuder, 1995: 211), Kata jadian ‘andempok’ misalnya, berarti: menggeletak, sebagaimana tergambar di dalam kalimat ‘andempok ing batur (menggeletak di batur)’ pada teks Kidung Malat (12.95). Pada pengertian ini, kata ‘dempok’ mengarah pada tindakan membaringkan diri (nggletak) untuk pengistirahatan diri. Padempokan adalah semacam ‘tempat peristirahatan’. Dalam bahasa Indonesia juga terdapat kata ‘padepokan’, yang konon berarti: tempat persemadian (pengasingan diri) para raja Jawa, dan kini lebih akrab untuk menyebut tempat olah kreasi seni (sanggar seni tari, seni lukis, seni beladiri, dll.), yang berhubungan dengan budaya bangsa. 
Dalam Bahasa Jawa Baru, kata ‘depok’ memiliki dua kemungkinan arti: 
(a) pendek, dalam hubungan dengan ukuran tubuh; dan 
(b) suatu bangunan kecil di lingkungan rumah tinggal yang luas dan kompleks, yang berada di bagian belakang dari rumah induk, sebagai tempat untuk ‘mensunyikan diri dan berolah diri’. Pengertian yang terakhir itulah yang relevan dengan pengertian umum dari sebutan ‘padepokan’ dalam pembicaraan ini.
Ada pula yang mengartikan padepokan sebagai asrama (srama) atau semacam ‘sekolah’, yang menjadi tempat kegiatan belajar-mengajar beragam macam ilmu. Padepokan lebih dikenal sebagai tempat belajar dan penggemblengan jiwa-raga atau tempat tinggal para pendekar dalam dunia persilatan. Pada mulanya, kata ‘padepokan’ dipergunakan untuk menyebut tempat tinggal para pujangga dalam masyarakat Jawa. Namun, seiring perjalanan waktu, karena pujangga juga menguasai ilmu kanuragan dan kebatinan, maka sebagian besar masyarakat Jawa beranggapan bahwa padepokan merupakan tempat penggemblengan bagi para pendekar. 
Makna sesungguhnya adalah tempat tinggal orang-orang yang punya kelebihan dalam hal olah batin dan kanuragan serta keahlian-keahlian lain. Dahulu para raja maupun pembesar kerajaan di Jawa yang telah memasuki usia tua mengundurkan diri dari hiruk pikuk perpolitikan kerajaan untuk mengasingkan diri ke tempat sepi dengan mendirikan pondok. Lambat laun banyak oang ingin belajar di tempat itu.
Pengertian demikian menyerupai ‘mandala kadewagurwan. atau karsyan (ka-rsi-an)’ pada Masa Hindu-Buddha, yang berlokasi di tempat tepencil, jauh dari keramaian, dipergunakan untuk tempat pembelajaran. Unsur ‘gurwan (guru+an)’ dalam ‘kadewagurwan’ mengingatkan kita pada sebutan ‘pegurom’ dalam istilah yang lebih muda. Areal mandala kadewagurwan (karsyan) acap dilengkapai dengan bangunan semi permanen untuk para siswa (sisya) dan guru (acarya), dengan sebuatan ‘srama (asrama)’. Apabila lokasinya di dalam hutan, maka muncul sebutan ‘wanasrama’. Mandala kadewagurwan tidak hanya mengajarkan ilmu keagamaan, namun juga ilmu, ketrampilan dan sikap hidup bijak sebagai bekal dalam menjalai kehidupan sosial-budaya dan adaptasi terhadap lingkingan. 
Olah pikir, olah seni, olah kanuragan, olah batin, olah trampil, dsb. juga dibelajarkan di tempat ajar yang banyak diberitakan dalam prasasti dan susastra serta divisualkan pada relief candi. Pada relief cerita Parthayajna di teras II candi Jajaghu misalnya, digambarkan wanasrama pada lereng Gunung khusus untuk para pertapa wanita (tapini, tapasi).
Dalam prasasti Pabanyolan yang diketemukan Gubukklah asal masa Majapahit (XIV Masehi), yang berisikan sinopsis cerita Panji, memberi gambaran bahwa di tempat pembelajaran (pajaran – pa+ajar+an, nama ‘Pajaran’ kini masih dijumpai di daerah Malang Timur pada lembah ‘gunung suci’ Semeru), yang sekaligus merupakan tempat bagi para pertapa (dapur), diajarkan pula bidang susustra, baik susastra tekstual maupun susastra lakon dalam bentuk drama-tari berkisah Panji. Para muda, yang tengah memasuki sebuah diantara empat tahapan hidup manusia (catursrama), yakni srama ‘Brahmacari’, banyak melaksanakan pemberjarannya pada mandala kadewagurwan di tempat terpencil dan sunyi pada lereng gunung di dalam hutan.
Karsyan adalah adalah tempat penididikan rokhani para rsi. Banyak diantara merera adalah orang-orang yang telah memasuki usia tua (ngunduri tuwo), manakala anak-anaknya telah mandiri (mentas). Mereka menjalani srama ke-3, yang dinamai ‘wanasrama’, yaitu mengasingkan diri ke dalam hutan, dengan beberapa lama tinggal di asrama untuk menempuh pendalaman rokhani bagi bekal hidup memasuki srama ke-4 (sanyasa, bhiksuka). Tapa adalah ritual pokok yang dijalankan di karsyan, Tempat inilah kiranya yang pada masa lebih muda dinamai ‘tempat persamadian’, yang menjadi cikal-bakal dari padepokan. Demikian pula ‘konsepsi mandala kadewaguruan’ diadaptasi menjadi ‘konsep padepokan’ pada pasca Hindu-Buddha. Oleh karena itu bisa difahami bila konon padepokan banyak berada di tempat-tempat terpencil, jauh dari keramaian.
Pada masa berikutnya padepokan mengalami ‘penciutan arti’, hanya sekedar sanggar seni, Hal demikian antara lain tergambar di dalam kamus ‘Tesaurus Bahasa Indonesia (2006)’ susunan Eko Endarmoko, yang secara harafiah mengartikan kata ‘padepokan’ sebagai atelir, bengkel (seni), sanggar, studio. Menurutnya, padepokan lebih berkait dengan tempat berolah seni. Kebiasaan para raja masa lalu di pedepokan sudah tinggal kenangan. Pengertian yang berkenaan dengan ‘kesenian’ di satu pihak menguat ketimbang dengan ‘samadi’. Namun di pihak lain, pada setengah dasawarsa terakhir muncul kemasan padepokan yang kembali memberi muatan lebih kepada asapek religis atau oleh kejiwaan, dengan disertai balutan simbol-simbol spiritual milik orang-orang mengaku mempunyai karomah, kesaktian, atau bahkan sebagai ‘utusan Tuhan’.
B. Model Pembelajaran Eko-Sosio-Kultura Non-Formal
Padepokan bukan sekedar menunjuk kepada tempat atau bangunan, namun lebih dari itu berkenaan dengan model pembelajaran yang berlangsung di dalamnya. Bila lembaga pendidikan dikategorikan ke dalam: 
(a) lembaga pendidikan formal, dan 
(b) lembaga pendidikan non-formal, 
maka pendidikan padepokan masuk ke dalam ketegori pendidikan non-formal, yang dilaksanakan di luar insttitusi pendidikan formal (sekolah ataupun perguruan tinggi). Aktifitas pembelajaran di padepokan berlangsung di dan bagi masyarakat, sehingga bisa diidentifikasikan dengan ‘pendidikan kemasyarakatan atau pendidikan sosial’, dengan materi ajar bidang eko-sosio-kultura (lingkungan. Kemsyarakatan, dan kebudayaan). Pendek kata, pendidikan pada padepokan merupakan ‘model pembelaran eko-sosio-kultura non-formal’.
Model pendidikan padepokan diinspirasi dan bisa dibilang sebagai ‘tradisi yang berlanjut’ dari model pendidikan pada masyarakat Jawa yang lebih tua, yaitu mandala kadewagrwan ataupun karsyan. Tentu dengan beberapa perubahan seperlunya, sebagai penyesuaian terhadap jiwa zaman (zeitgeist) dan lingkungan setempat. Seiring dengan terjadinya diversifikasi dan spesifikasi ilmu-pengetahuan dan teknologi, terjadi pula spesifikasi bidang ajar dalam padepokan. Ada padepokan yang mengkhusukan diri dalam seni-budaya, kerajian dan ketrapilan khusus, olah kanuragan, olah kerokhanian, bahkan olah pikir. Demikian pula lokasinya, tak musti berada di tempat tepencil yang jauh dari keramaian, namun sekarang terdapat juga padepokan yang berada di tengah permukiman ramai pada areal perkotaan. Kendati berada di permukiman ramai pada perkotaan, namun suasana tenang, nyaman, dan beretika diupayakan untuk dikonsdisikan di dalam padepokan. Oleh karena itu, taidk jarang padepokan dikemas sebagai ‘lingkungan tertutup’, yang dikelilingi pagar beserta gapura-gapuranya. Terlepas dari perubahan-perubahan yang telah dilakukan, cukup alasan untuk menyatakan bahwa model pendidikan padepokan memiliki akar sosio-kurtura dan ekologis dalam perjalanan sejarah Jawa.
Konon, bidang kebudayaan yang diajarkan di padepokan tak hanya sebatas pada kesenian, melainkan meliputi pula anasir kebudayaan lain (kebahasaan, pengetahuan, teknologi, organisasi sosial dan pemerintahan, religi, dan sistem pencaharian). Orang-orang yang tinggal bersama dalam padepokan merupakan sebuah kolektivita atau komunita, yang satu sama lain beriteraksi atas dasar hubungan kekeluargaan – kendati secara ganeologis diantaranya belum tentu bersaudara. Sebutan ‘saudara seperguruan (dulur sapaguron)’ adalah ekspresi kebahasaan tentang bertapa harmoninya hubungan kekeluargaan dalam padepokan (perguruan). Saling menghormati antara lain tergambar pada penggunaan strata bahasa, perilaku yang tepat sesuai lapis usia (unggah-ungguh, totokormo), saling pengertian (teposeliro), seniorita mengasihi-membimbing yuniorita (silih asih-silih asuh), dsb. Dengan perkataan lain, padepokan mengemban fungsi luas sebagai institusi non-formal untuk menyiapkan seseorang sebagai persona agar kelak mampu bersikap-bertindak tepat sesuai dengan kaidah sosial dan budaya (tata nilai, norma, kelaziman) yang berlaku. Sikap maupun tindakan bijak juga berlajarkan dalam rangka berinteraksi dengan lingkungan sekitar, supaya nantinya para murid padepokan menjadi pribadi yang adaptif terhadap lingkungan setempat, baik terhadap lingkungan fisis-alamiah maupun lingkungan-sosial budayanya. Muatan lokal, yakni hal-hal yang nyata-nyata ada di tempat bersangkutan, dibiasakan secara bertahap-berkelanjutan, sehingga bisa difahami bila di masing-masing padepokan hadir produk belajar yang berkakter lokal. Pembeda padepokan satu dan padepokan lain oleh karenanya dapat diidentifikasikan dari karakternya ini.
Pengertian ‘belajar (ajar)’ dalam konteks pembelajaran padepokan bukan hanya sekedar ‘teaching’, namun juga ‘education’. Keduanya tak terpisah dalam model pembelajaran padepokan. Idealnya, model yang demikian berlaku pula pada sekolah hingga perguruan tinggi sebagai intitusi pendidikan formal. Aspek ilmu, pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS) barangkali jauh lebih kuat berada di lembaga pendidikan formal ini ketimbang yang terdapat di lembaga pembelajaran padepokan. Namun, dalam fungsi lain, yakni fungsi sosialisasi, enkultrasi dan adaptasi ekolologis, boleh jadi padepokan mempuyai keunggulan daripadanya. Oleh karena itu, ada baiknya embanan fungsi dan spirit eko-sosio-kultura padepokan sebagaimana telah dipaparkan di atas dinuansakan pada lembaga pendidikan formal, yang sejuah ini terasa ‘kering’ lantaran dianggap tidak sepenting IPTEKS.
terimakasih atas respon anda. admin

Tidak ada komentar:

ERA TASHAWWUF SOCIETY 6.0

Sosialisasi : GENERASI BARU ABAD 21 ERA TASHAWWUF SOCIETY 6.0 (Ki Ageng Sapujagat Al Kajorani Al Jawi) > Revolusi Industri 4.0 mengg...